Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Mengupas Piagam Madinah: Model Negara Modern yang Inklusif dan Berkeadilan

Rabu, 5 Maret 2025 08:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Sejarah Awal Tradisi Menulis di Kalangan Ulama Masa Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat
Iklan

Bagaimana Rasulullah menciptakan model negara yang menjunjung pluralitas dan keadilan? Piagam Madinah memberi jawabannya!

Piagam Madinah

Pendahuluan

Piagam Madinah (Covenant of Madinah) merupakan salah satu dokumen penting dalam sejarah peradaban Islam yang disusun oleh Rasulullah ﷺ setelah hijrah ke Madinah. Berdasarkan pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Api Sejarah Jilid I,[1] Piagam Madinah bukan hanya sebuah konstitusi pertama dalam sejarah umat manusia, melainkan juga sebuah model awal dari sistem ketatanegaraan yang modern dengan mengedepankan prinsip pluralitas, keadilan, dan solidaritas sosial dalam kehidupan kemasyarakatan.

Dalam artikel ini, kami membahas Piagam Madinah yang dianggapnya sebagai landasan bagi pembentukan komunitas keagamaan-politik yang inklusif dan transformatif.

Piagam Madinah: Konsep dan Sejarah Singkat

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah pada tahun 622 M, beliau mengubah nama kota tersebut menjadi Madinatun Nabi, yang berarti “Kota Nabi”. Di sini, Rasulullah ﷺ membangun komunitas religio-politik yang tidak hanya terdiri dari umat Muslim, tetapi juga mencakup masyarakat Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Dalam rangka membangun solidaritas di antara kelompok-kelompok yang berbeda ini, disusunlah Piagam Madinah sebagai suatu konstitusi yang mengatur hubungan antarwarga dan kelompok agama.

Piagam Madinah ini mencakup berbagai peraturan yang menegaskan hak dan kewajiban setiap individu dan kelompok, serta prinsip-prinsip dasar dalam menjaga keamanan, kedamaian, dan kerukunan saat hidup bersama di Madinah. Dengan demikian, Piagam Madinah dapat dipahami sebagai cikal-bakal dari konsep negara hukum yang tidak mengedepankan etnosentrisme atau kesukuan, tetapi berlandaskan pada solidaritas yang lebih universal.

Piagam Madinah sebagai Model Konstitusi Dunia

Dalam pandangan Ahmad Mansur Suryanegara, Piagam Madinah merupakan sebuah terobosan yang sangat visioner dan berkemajuan dalam hal sistem pemerintahan dan kekuasaan yang berdasar pada hukum. Menurutnya, Piagam Madinah adalah dokumen pertama di dunia yang merupakan konstitusi tertulis sebagai dasar dalam mengatur kehidupan bersama di dalam suatu komunitas yang plural. Piagam ini mengatur hubungan antarwarga Madinah tanpa membeda-bedakan latar belakang etnis atau agama dan memperkenalkan konsep ummah (komunitas) yang menyatukan berbagai elemen masyarakat yang berbeda-beda.

Lebih lanjut, Suryanegara menyatakan bahwa Piagam Madinah ini juga membuka jalan bagi terbentuknya tatanan sosial-politik yang lebih egaliter. Alih-alih mengutamakan kekuasaan atau hak istimewa berdasarkan keturunan atau suku bangsa, Piagam Madinah memprioritaskan asas persamaan hak dan kewajiban di antara semua pihak, tanpa menghiraukan latar belakang sosial dan keagamaan masing-masing penduduk. Hal ini menunjukkan betapa Rasulullah ﷺ telah menciptakan sebuah sistem politik yang lebih berkeadilan dan inklusif dibandingkan dengan sistem-sistem pemerintahan pada masa itu.

Pilar-pilar Utama dalam Piagam Madinah[2]

1. Koeksistensi Damai dan Perlindungan terhadap Semua Pihak

Piagam Madinah memberikan penekanan besar terhadap pentingnya koeksistensi damai antara berbagai kelompok dalam masyarakat Madinah. Setiap individu, baik Muslim maupun non-Muslim, dijamin perlindungan dan keamanan selama mereka tidak melakukan perbuatan zalim atau melanggar ketertiban. Piagam Madinah secara tegas menyatakan: “Tulisan ini tidak akan memberikan perlindungan kepada siapa saja yang melakukan ketidakadilan atau kejahatan.”

2. Kebebasan Beragama

Piagam Madinah juga menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga Madinah. Di dalamnya terdapat ketentuan yang menjamin bahwa masing-masing kelompok agama—baik Yahudi, Nasrani, maupun Muslim—memiliki hak untuk memeluk agama mereka masing-masing tanpa ada paksaan. Sebagaimana tertulis dalam Piagam Madinah: “Orang Yahudi akan memeluk agama mereka, dan orang Muslim akan memeluk agama mereka.”

3. Partisipasi Politik, Sosial, dan Militer yang Setara

Salah satu aspek penting yang diatur dalam Piagam Madinah adalah partisipasi yang setara bagi semua pihak dalam kehidupan politik, sosial, dan militer. Piagam ini menegaskan bahwa kelompok-kelompok non-Muslim, seperti Yahudi, juga memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi dalam mempertahankan Madinah, terutama ketika berhadapan dengan musuh bersama. Piagam Madinah menyatakan: “Orang Yahudi akan ikut serta bersama orang Muslim ketika berperang melawan musuh bersama.”

4. Prinsip Tanggung Jawab Individu

Piagam Madinah juga menetapkan prinsip tanggung jawab individu, di mana setiap orang harus bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Misalnya, dalam hal perang, tidak ada yang boleh terlibat dalam pertempuran tanpa izin dari Rasulullah ﷺ, tetapi apabila terjadi ketidakadilan atau penganiayaan, maka setiap individu berhak untuk membela diri atau mencari pembalasan yang sah. Piagam Madinah menyatakan: “Tidak ada yang boleh pergi berperang kecuali dengan izin Muhammad, tetapi ini tidak menghalangi siapa pun untuk mencari pembalasan (pembelaan diri) yang sah.”

Penataan Sosial-Politik dan Militer dalam Piagam Madinah

Salah satu aspek menarik dalam Piagam Madinah adalah pembentukan struktur sosial-politik dan organisasi militer yang berdasarkan pada solidaritas umat Muslim. Seiring dengan adanya konflik dengan Quraisy Mekah yang mengancam eksistensi umat Islam, Piagam Madinah memperkenalkan organisasi militer yang didasarkan pada keanggotaan Muslim.

Meskipun demikian, Piagam Madinah tidak semata-mata membatasi hubungan antarwarga pada ikatan agama Islam saja. Piagam ini juga membuka ruang bagi kelompok-kelompok non-Muslim untuk ikut terlibat di dalam pembangunan sosial-politik Madinah yang aman dan damai.

Piagam ini mengatur bahwa umat Islam, Yahudi, Nasrani, dan Majusi di Madinah harus saling bekerja sama dalam menjaga keamanan dan kesejahteraan negara kota ini. Bahkan, menariknya perjanjian dalam Piagam Madinah ini juga menjamin hak perlindungan bagi setiap individu, tanpa memandang agama atau suku. Hal ini mencerminkan konsep pluralitas dalam Islam yang dapat dijadikan referensi dalam membangun masyarakat yang toleran dan inklusif di dunia modern.

Solidaritas dan Kewajiban dalam Membangun Madinah

Ahmad Mansur Suryanegara menyoroti bahwa dalam Piagam Madinah, solidaritas antarwarga dijadikan sebagai landasan dalam membangun negara. Konsep ummah dalam Piagam Madinah mengarah pada pembentukan sebuah masyarakat yang tidak terikat pada ikatan etnis atau kedaerahan yang sempit, tetapi lebih pada kesatuan visi dan misi untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Oleh karena itu, setiap individu atau kelompok di Madinah memiliki kewajiban untuk saling mendukung, menjaga perdamaian, dan bekerja sama dalam mewujudkan kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.

Solidaritas ini juga diwujudkan dalam bentuk pembagian tanggung jawab, baik dalam urusan sosial, ekonomi, maupun politik. Dalam Piagam Madinah, setiap kelompok dan individu memiliki hak untuk hidup dengan damai dan aman, tapi di samping itu mereka juga diwajibkan untuk turut berpartisipasi dalam menjaga stabilitas dan ketertiban di Madinah. Oleh karena itu, Piagam Madinah tidak hanya mengatur hak, tetapi juga kewajiban setiap warga negara, sehingga terbentuklah hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Penegakan Hukum dalam Piagam Madinah

Piagam Madinah juga memberikan perhatian yang besar terhadap penegakan hukum. Dalam pemikiran Suryanegara, hal ini sangat signifikan karena Piagam Madinah menjadi model awal dari sistem hukum yang berbasis pada keadilan dan prinsip-prinsip moral yang tinggi. Setiap tindakan yang melanggar ketentuan dalam Piagam Madinah akan dikenakan sanksi, yang menunjukkan bahwa tidak ada individu atau kelompok yang kebal hukum.

Dalam hal ini, Piagam Madinah menjadi pionir dalam menciptakan sistem hukum yang tidak hanya mengatur hubungan antarwarga, tetapi juga menjamin hak-hak dasar individu, baik dari kelompok Muslim maupun non-Muslim. Dengan demikian, Piagam Madinah mengajarkan pentingnya sistem hukum yang adil dan transparan dalam membangun masyarakat yang aman dan sejahtera.

Pemahaman Mendalam terhadap Piagam Madinah

1. Negara yang Menampung Berbagai Etnis, Agama, dan Budaya

Piagam Madinah membentuk sebuah negara yang menampung beragam suku, agama, dan budaya, dengan berdasarkan prinsip persatuan dalam satu tanah air. Dalam hal ini, Piagam Madinah adalah fondasi bagi negara modern yang dapat menciptakan keberagaman dalam kesatuan. Negara yang dibangun Rasulullah ﷺ, pada faktanya, bukan negara yang eksklusif untuk satu kelompok tertentu, melainkan negara yang inklusif yang mengakui dan menghargai perbedaan.

2. Organisasi Sosial yang Mendorong Kehidupan Bersama yang Damai

Piagam Madinah juga menunjukkan bahwa pengorganisasian hubungan antarwarga sangat penting untuk memastikan kelangsungan hidup bersama yang damai. Sebelum Piagam Madinah, hubungan antarwarga Madinah diatur oleh hubungan darah, agama, atau kepentingan bersama. Dengan adanya Piagam Madinah, semua hubungan tersebut diorganisir dan dikodifikasi menjadi aturan yang lebih formal yang berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali.

3. Pengakuan terhadap Minoritas sebagai Bagian dari Negara

Piagam Madinah dengan jelas mengakui hak-hak minoritas, terutama kaum Yahudi, sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim. Piagam Madinah tidak hanya mengakui mereka sebagai bagian dari negara, tetapi juga menghormati mereka sebagai elemen penting dalam kehidupan negara tersebut.

4. Kedaulatan Milik Allah dan Rasul-Nya

Piagam Madinah juga menegaskan bahwa dalam negara Islam Madinah, kedaulatan hanya milik Allah dan Rasul-Nya. Ini tercermin dalam ketentuan Piagam Madinah yang menyatakan: “Apabila terjadi pelanggaran atau perselisihan yang dapat menimbulkan kejahatan, maka perkara tersebut akan dirujuk kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dengan demikian, Piagam Madinah menekankan bahwa hukum yang berlaku di negara Madinah adalah hukum yang datang dari Allah dan dilaksanakan oleh Rasul-Nya sebagai “pemimpin negara”. Ini menegaskan pentingnya prinsip keadilan yang tidak bergantung pada kekuasaan politik manusia, tetapi pada hukum Allah yang lebih tinggi.

Kesimpulan

Piagam Madinah, dalam pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara, merupakan sebuah konsep revolusioner dalam sejarah peradaban umat manusia. Sebagai konstitusi pertama yang tertulis, Piagam Madinah mengedepankan prinsip-prinsip pluralitas, solidaritas sosial, dan penegakan hukum yang adil.

Dengan menghapuskan ikatan etnosentrisme dan mengedepankan prinsip ummah, Piagam Madinah berhasil menciptakan sebuah masyarakat yang inklusif. Dalam hal ini, setiap individu dan kelompok memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menjaga perdamaian dan kesejahteraan bersama.

Melalui Piagam Madinah, Rasulullah ﷺ telah menunjukkan contoh bagaimana menciptakan sebuah tatanan sosial-politik yang berdasarkan pada prinsip keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian, yang masih relevan diterapkan dalam konteks dunia modern. Piagam Madinah tidak hanya sekadar sebuah dokumen sejarah, tetapi juga menjadi pedoman dalam membangun masyarakat yang plural, adil, dan sejahtera.

Referensi

[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ed. oleh Nia Kurniawati, Anni Rosmayani, dan Rakhmat Gumilar, Rev., Api Sejarah (Bandung: Suryadinasti, 2014), https://books.google.co.id/books?id=0AMxDwAAQBAJ.

[2] Shawky Allam, “What did the Covenant of Medina achieve in terms of religious coexistence?,” Egypt’s Dar Al-Ifta, diakses 30 November 2024, https://www.dar-alifta.org/en/article/details/734/what-did-the-covenant-of-medina-achieve-in-terms-of-religious-coexistence.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler