Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Otoritarianisme dan Risiko Ekonomi: Politik Tarif dalam Pemerintahan Trump 2.0

Rabu, 9 April 2025 12:37 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Donald Trump
Iklan

Pemerintahan Trump jilid kedua bergeser ke otoritarianisme, memicu gejolak global lewat kebijakan tarif ekstrem yang mengguncang ekonomi AS.

Latar Konteks Politik Pascainaugurasi: Jalan Menuju Konsolidasi Kekuasaan

Sejak pelantikan Donald Trump untuk masa jabatan kedua pada 20 Januari 2025, dinamika politik Amerika Serikat mengalami percepatan yang luar biasa dalam hal pergeseran kekuasaan eksekutif.

Dalam beberapa pekan pertama, kebijakan-kebijakan yang diluncurkan dari Gedung Putih menunjukkan pola pemerintahan AS yang ditandai oleh konsolidasi kekuasaan secara personalistik dan minim kontrol institusional. Sejumlah pengamat bahkan menggarisbawahi bahwa langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan keberlanjutan dari gaya pemerintahan Trump sebelumnya, tetapi justru mengalami eskalasi menuju bentuk pemerintahan yang semakin otoriter.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keberanian Trump dalam mengukuhkan supremasi lembaga eksekutif tidak terlepas dari tingkat dukungan publik yang relatif stabil kepada dirinya. Dalam situasi yang penuh guncangan, tingkat keterpilihan dan persetujuan terhadap Trump tetap berada pada kisaran 47–48 persen. Fenomena ini mencerminkan adanya toleransi atau bahkan penerimaan diam-diam dari sebagian besar pendukung, simpatisan, dan pemilih Partai Republik terhadap langkah-langkah yang dianggap mengancam keseimbangan demokratis di Amerika.

“Hari Pembebasan” dan Tarik-Menarik Legitimasi Ekonomi

Perubahan signifikan dalam arah pemerintahan AS terjadi pada saat Presiden Trump mengumumkan kebijakan tarif balasan dalam skala yang cukup masif pada hari yang kemudian disebut sebagai “Hari Pembebasan.”

Kebijakan ini, yang jauh melampaui garis proteksionisme dari para pejabat paling konservatif sekalipun dalam kabinet Trump, menjadi titik balik bukan hanya dalam strategi ekonomi Amerika, melainkan juga dalam kalkulasi politik kekuasaan.

Kebijakan tarif yang begitu luas dan mendadak, segera menyebabkan gejolak pasar global dan memicu kehancuran pasar saham domestik di Amerika Serikat. Dalam hitungan dua hari, nilai pasar yang hilang mencapai triliunan dolar AS, yang menimbulkan kekhawatiran serius akan potensi resesi yang mendalam.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa Trump bukan hanya menggunakan kebijakan luar negeri sebagai alat negosiasi. Dalam konteks ekonomi-politik internasional, ia juga menjadikannya sebagai alat pembentukan kembali lanskap ekonomi global secara sepihak, dengan risiko besar bagi stabilitas dalam negeri.

Polarisasi Internal dan Ancaman Resesi: Krisis Legitimasi Ganda

Sementara faksi MAGA (Make America Great Again) dalam Partai Republik tetap teguh di belakang Trump, gejala keretakan di dalamnya mulai tampak. Pemilih-pemilih yang sebelumnya mendukung Trump secara transaksional—mereka yang termotivasi oleh nostalgia terhadap pertumbuhan ekonomi pra-pandemi—berpotensi berpaling apabila krisis perekonomian AS, bahkan dunia, semakin dalam. Keterpurukan nilai investasi, ancaman terjadinya pengangguran massal, dan kontraksi dalam perekonomian berisiko menurunkan basis dukungan yang selama ini menjadi fondasi kekuatan politik Trump.

Penurunan dalam hasil jajak pendapat pasca-pengumuman tarif mencerminkan potensi pergeseran lanskap elektoral di pemilu berikutnya. Dalam konteks ini, pemerintahan Trump menghadapi dilema yang serius: mempertahankan otoritas personalistik di tengah merosotnya dukungan publik, atau menghadapi tekanan politik yang dapat menggoyahkan legitimasi kekuasaan secara keseluruhan.

Menuju Persimpangan: Otoritarianisme yang Rawan Guncangan

Situasi saat ini memperlihatkan paradoks besar dalam sejarah politik kontemporer Amerika Serikat. Di satu sisi, terdapat upaya intens untuk memperkuat pola kepemimpinan satu arah yang otoriter; di sisi lain, basis dukungan terhadap kepemimpinan semacam ini mulai tergerus oleh dampak nyata kebijakan ekonomi yang destruktif.

Hal ini menciptakan dua skenario utama bagi masa depan politik AS: Pertama, pelemahan kekuasaan eksekutif melalui delegitimasi publik dan tekanan oposisi; Kedua, penguatan rezim otoriter melalui represi dan retorika nasionalistik untuk meredam krisis.

Keduanya membawa risiko yang besar terhadap demokrasi, tetapi juga membuka kemungkinan perlawanan institusional dan masyarakat sipil di Amerika terhadap konsolidasi kekuasaan yang bersifat koersif.

Oleh karena itu, perkembangan politik pasca-“Hari Pembebasan” akan menjadi parameter penting dalam menilai apakah pemerintahan Trump 2.0 akan menjadi model kemunduran demokrasi, atau justru menjadi titik balik bagi kebangkitan kelompok oposisi yang demokratis di Amerika Serikat.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler