Menelusuri Jejak Kolonial Belanda di Kota Sintang
Selasa, 15 April 2025 10:12 WIB
Menelusuri atau mencari jejak-jejak kolonial Belanda yang ada di kota Sintang, termasuk peninggalan, Peneliti, sejarawan, atau individu.
***
***
Terletak di sungai di atas Sungai kapuas. Sungai Kapuas dan Melawi memainkan peran penting dalam pemerintahan, bisnis, dan pemukiman di wilayah tersebut. Dua titik pertemuan sungai memiliki kepentingan strategis sebagai pusat pemerintah, bisnis dan pertahanan. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kendali atas Sintang Sultan, yang ditempatkan Sintang di bawah rezim kolonial. Sintang dibagi menjadi Sintang Affdeling dan Melaya Subaferring. Belanda telah membangunnya untuk terus memantau lalu lintas sungai. Sintang abad ke -19 dan ke -20.
Pada awal abad ke -19, Sintang memiliki populasi yang beragam sintang terdiri dari 75 kampung daya dan 10 kampung melayu, menurut hasil keseluruhan dari gronovius sintang adalah 1832 total keseluruhan penduduk sintang adalah 73.566,16.900 masyarakat bermukim didaerah 16.900 masyarakat bermukim di daerah perkotaan yaitu 16.000 orang Melayu dan 900 orang Tionghoa.
Diperkirakan orang-orang Dayak dalam masyarakat dipimpin oleh penambahan atau raja yang menjalankan kekuasaan bersama dengan keluarga kerajaan umumnya seperti saudara lelaki atau paman mereka. Masyarakat Dayak dikenakan pajak, pajak adalah sumber pemasukan utama mereka. Terdapat bermacam bentuk pajak, misalnya yaitu dagang paksa. Petani harus menjual beras kepada kerajaan tukar dengan garam dan besi. Harga jual beli ditentukan oleh pihak kerajaan yang menyebabkan pihak kerajaan selalu mendapatkan keuntungan.
Belanda berusaha memperbaiki sistem pajak di Sintang namun malah menimbulkan konflik. Kampung-kampung Dayak sudah tidak dipimpin oleh pihak kerajaan karena sudah dijalankan oleh kepala kampung setempat. Pada awalnya pemilihan kepala kampung adalah hak istimewa raja, kepala kampung biasanya adalah anak dari kepala kampung sebelumnya namun lambat-laun Kepala kampung ini dipilih oleh penduduk setempat. Tetapi tidak sembarang orang dapat menjadi kepala kampung, calon kepala kampung harus memenuhi beberapa persyaratan seperti harus seorang yang kaya, fasih berbicara dan memiliki wawasan tentang adat atau hukum masyarakat Dayak.
Masyarakat Dayak tinggal di rumah Betang yang didalamnya terdiri atas 5 sampai 30 keluarga. Rumah betang terdiri dari satu ruang umum yaitu digunakan untuk kegiatan sehari-hari, pertemuan resmi dan sosialisasi. Bagian kedua dari rumah betang adalah tempat terbuka untuk mengeringkan padi. Bagian depan yaitu dipakai untuk tempat laki- laki, empat bagian dalam atau bilik yaitu para wanita tinggal di bagian dalam sepanjang waktu.
Masyarakat dari suku Melayu tidak dikenakan pajak, namun ketika terjadi perang atau bencana mereka harus memberikan pelayanan kepada pihak kerajaan. Masyarakat Melayu terbagi ke dalam dua jenis yaitu orang bebas dan orang kerajaan. Masyarakat Tionghoa adalah penduduk bebas yang dibebani pajak yang tinggi. Orang Eropa menempati posisi paling atas berdasarkan perjanjian tahun 1822 tetapi mereka tidak benar-benar berkuasa. Orang-orang
Selama periode kolonial Belanda, daerah itu dibagi menjadi tiga zona: karaton Al Mukaromah (penduduk pemimpin Sintang dan Melayu), di paling kiri Sungai Kapua, pemukiman Eropa di paling kiri sungai Melawi (Belanda), dan pemukiman Cina di ujung kanan Sungai Melawi.
Ekonomi Sintang didukung oleh sumber daya hutan yang berlimpah. Dealer Cina memainkan peran penting dalam perdagangan, menggunakan aliran kapuas untuk mengangkut barang. Produk hutan seperti karet, rotan, kayu dan resin diperdagangkan dan diekspor oleh Singapura. Sungai kapuas bertindak sebagai rute transportasi dan mempengaruhi pola pemukiman banyak orang yang hidup di samping kondisi masyarakat pada abad ke-20 ini untuk Sebagian besar masyarakat tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya namun modernisasi mulai melakukan.
Petani tetap menjadi mata pencarian utama masyarakat Dayak yang terdapat bebarapa perindustrian skala kecil. Pada tahun 1930 sekitar 2,5 juta pohon karet ditanam karena perkebunan karet menjadi menjadi sumber pendapatan baru yang cukup menjanjikan pada masyarakat itu. Sebagian besar Perkebunan adalah milik orang melayu dan orang jawa kecil. Masyarakat Tionghoa bermata pencarian sebagai perdagang pada masa ini pertambangan emas tidak produktif lagi sehingga meraka membutuhkan sumber pendapatan lain.
Meskipun masyarakat memiliki sumber pendapatan namun kondisi ekonomi masyarakat tidak terlalu baik, hal ini diakibatkan banjir sering melanda sintang. Banjir ini menyebabkan kegagalan panen dan sintang kehilangan fungsinya sebagai pusat pada produk-produk hutan. Belanda beberapa kali mencoba memperkenalkannya jenis tanaman baru namun gagasan.
Referensi
Firmansyah, A. (2023). Sejarah Kota Sintang Dari 1822 – 1900-an. HISTORIS : Jurnal Kajian, Penelitian & Pengembangan Pendidikan Sejarah, 8(1), 15– 21.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Menelusuri Jejak Kolonial Belanda di Kota Sintang
Selasa, 15 April 2025 10:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler