Mimpi Dara - Kolaborasi Novel dengan Pagelaran Busana

Senin, 28 April 2025 22:37 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Mimpi Dara
Iklan

Mimpi Dara adalah sebuah novel yang ditulis sebagai bagian pagelaran busana.

Judul: Mimpi Dara

Penulis: Yogi Soegyono

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun terbit: 2008

Penerbit: hdtikarentertainment

Tebal: 312

ISBN:

 

Novel ”Mimpi Dara” adalah sebuah novel yang unik. Sebab novel ini ditulis dan diterbitkan sebagai bagian dari sebuah peragaan busana; sebuah fashion performing art. Yogi Soegyono menulis novel ini untuk memeriahkan peragaan busana yang diselenggarakan oleh Musa Widyatmodjo.

Selain dari lahirnya yang unik, novel ini juga sangat menarik. Sebab novel ini membawa kisah cinta seorang gadis Minang dengan seorang pemuda Tionghoa. Percintaan dari dua budaya yang sepertinya terpisah jauh. Alih-alih menggambarkan perjuangan Dara Manih (tokoh perempuan dalam novel ini) dengan Candra (tokoh lelaki dalam novel ini). Yogi Soegyono malah menggambarkan titik temu dari dua budaya yang seakan terpisah tembok ini. Busana adalah salah satu titik temu tersebut.

Dara Manih yang pulang dari Belanda terlibat cinta dengan Candra, seorang lelaki Tionghoa. Pada awalnya Dara memandang Candra sebagai seorang pemuda yang sombong dan nakal. Sebab dari banyak cerita, termasuk cerita yang didapat dari Flora, sahabat kental Dara dan dari tantenya, Candra sering berganti-ganti pacar. Namun ternyata Candra tidaklah seperti yang digambarkan. Candra difitnah sehingga citranya buruk tanpa bisa membela diri. Setelah melalui proses yang tidak terlalu berliku, Candra bisa mendapatkan Dara. Mereka berdua menjadi pemeran pengantin dalam peragaan busana Minang yang diselenggarakan oleh Oei Ping Hok. Novel ditutup dengan perayaan 50 tahun pernikahan Candra dan Dara yang diselenggarakan oleh anak dan cucunya.

Kisah cinta antara Dara dengan Candra dibelit oleh tokoh Flora, seorang perempuan berkepribadian ganda. Juga ada kisah Tek Minah, tante Dara yang sedang mencari anaknya yang hilang, yang bernama Remon. Serba sedikit juga digambarkan kehidupan Wang dan Lien yang tidak terlalu berbahagia karena perbedaan budaya. Namun Wang dan Lien tetap bisa hidup bersama. Kisah-kisah yang ditambahkan oleh Yogi dalam novel ini membuat ”Mimpi Dara” menjadi lebih berbumbu dan bertambah nikmat.

Dara Manih digambarkan sebagai seorang perempuan Minang yang terbuka. Meski dilahirkan dalam keluarga tradisional, namun Dara yang kuliah di Belanda telah menyerap pandangan-pandangan yang terbuka. Yogi secara menarik memberikan latar belakang Dara melalui kehidupan saudari perempuannya yang tinggal di Jerman dan melalui tantenya yang tinggal di Jakarta. Gadis, kakak perempuan Dara hidup serumah tanpa pernikahan resmi dengan lelaki bule di Jerman. Penggambaran kehidupan Gadis ini memberikan gambaran bahwa Gadis dan Dara telah menyerap nilai-nilai Barat. Hanya saja Dara menyerap keterbukaan pemikiran tanpa harus menyerap pandangan tentang hubungan lawan jenis.

Meski telah menyerap pandangan yang terbuka saat ia kuliah di Belanda, Dara digambarkan sebagai gadis yang mempunyai akar kuat dalam budaya Minang. Dara tetap suka makan jengkol. Ia tetap fasih berbahasa Minang. Ia juga gigih mempertahankan keperawanannya.

Candra adalah anak tunggal dari Wang dan Lien. Lien adalah perempuan Jawa yang bernama Raden Nganten M. J. Soemarlien Kartodipoero sedangkan Huang Tan Wang adalah seorang lelaki Tionghoa asal Medan yang sangat miskin. Namun kerja keras Wang membuat ia diambil menantu oleh Kartopoero, seorang pengusaha batik asal Solo. Meski berdarah Jawa, Lien digambarkan sebagai seorang pengusaha yang ulet dan berhasil. Ia tidak tergantung pada suaminya secara ekonomi.

Novel ini diwarnai dengan banyak perjumpaan budaya. Budaya barat dan budaya tradisional, budaya Tionghoa dengan budaya Minang, dan budaya Tionghoa dengan budaya Jawa. Perjumpaan budaya digambarkan penuh kesejukan, meski tetap ada masalah. Prinsip mencari titik temu sangat kuat diulas dalam novel ini. Bahkan di bagian akhir novel, dituliskan ”Bila perbedaan itu terjadi, ambil saja yang terbaik dari perbedaan itu dan hanya kasih yang bisa menyatukan perbedaan untuk hidup berdampingan tanpa melihat perbedaan lagi.”

Seperti telah saya sampaikan di atas, novel ini ditulis dan diterbitkan sebagai bagian dari sebuah acara peragaan busana. Novel ini menggambarkan bagaimana kesamaan budaya dalam busana ini bisa menjadi titik temu dari dua budaya yang sepertinya terpisah lautan luas.

Selain dari kisah dalam novel yang disusun dalam kalimat-kalimat yang nikmat, novel ini juga dipenuhi dengan foto-foto peragaan busana. Ada foto-foto busana dengan peraganya, ada juga foto-foto detail corak kain yang ditampilkan. Tentu saja foto-foto yang ditampilkan tersebut menggambarkan keagungan dan keelokan busana Minang. 923

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler