Akan Dikemanakan Orang Tua yang Nakal?
Sabtu, 10 Mei 2025 08:50 WIB
Anak butuh bimbingan, bukan hanya kedisiplinan ala militer. Orang tua yang “nakal” pun perlu dibina.
***
Salah satu fenomena yang cukup viral belakangan ini adalah adanya kepala daerah yang memutuskan untuk mengirim anak-anak nakal di daerahnya ke barak militer. Tujuannya agar mereka menjadi disiplin dan lebih tertata. Barak dianggap sebagai tempat mengubah karakter secara cepat. Namun, apakah solusi ini menyentuh akar persoalan sebenarnya? Sebelum mengarahkan anak ke barak, mari lihat keluarganya. Anak bukan makhluk yang tiba-tiba menjadi nakal atau rusak. Mereka merupakan bentukan dari lingkungan sekitar, terlebih keluarga. Maka pertanyaannya adalah, jika anak nakal dikirim ke barak, akan dikemanakan orang tuanya?
Meskipun efektivitasnya menjadi perdebatan, terdapat beberapa negara telah mencoba pendekatan semimiliter dalam membina anak-anak yang bermasalah. Di Amerika Serikat, program boot camp bergaya militer pernah digunakan untuk remaja pelanggar hukum. Namun demikian, program ini banyak mendapat kritik karena berisiko memicu trauma. Maka, akhirnya banyak ditutup. Korea Selatan juga memiliki kamp disiplin sukarela yang meniru pelatihan militer. China menerapkan kamp militer keras untuk remaja kecanduan internet. Rusia mengirim anak-anak bermasalah ke sekolah semi-militer dan diajari disiplin dan patriotisme. Umumnya, program-program ini bersifat non-wajib dan lebih menekankan rehabilitasi melalui pendekatan kedisiplinan ketat ala militer. Hal itu menuai kontroversi karena dugaan kekerasan.
Sebenarnya, anak-anak tidak lahir dalam keadaan nakal atau jahat. Mereka belajar dari apa yang dilihat dan dengarnya. Lingkungan keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Tingkah laku orang tua menjadi objek pembelajaran yang pertama. Jika rumah dipenuhi amarah, anak belajar membentak. Jika anak terlalu dituntut, ia belajar berbohong. Jika rumah penuh kasih, anak tumbuh dengan empati. Semua tindakan orang tua diamati dan dikonsep oleh anak. Orang tua merupakan role model yang sangat berpengaruh. Oleh karena itu, menyalahkan anak dengan tidak mengoreksi orang tua merupakan kekliruan.
Dikenal ada tiga pola asuh yang utama dalam psikologi. Pola asuh dengan gaya otoriter mengutamakan hukuman dan kontrol keras. Pola asuh dengan gaya permisif cenderung membiarkan anak tanpa batasan dan aturan yang jelas. Dan, pola asuh dengan gaya otoritatif lebih menyeimbangkan kasih sayang dan kedisiplinan. Pola asuh yang salah bisa merusak anak.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa sebanyak 56% kasus kekerasan pada anak terjadi dalam keluarga. Pada umumnya, kasus ini berasal dari keluarga yang disfungsional. Konflik antara orang tua menciptakan trauma bagi anak. Perceraian, pengabaian, dan kekerasan verbal jelas memperburuk keadaan. Anak mencari pelarian dari tekanan emosional di rumah, misalnya masuk geng. Kenakalan remaja sering kali merupakan ekspresi luka batin. Dengan demikian, membenahi keluarga merupakan kunci dalam membenahi kenakalan anak.
Sayangnya, banyak juga orang tua zaman sekarang sulit menerima kritik. Banyak di antara mereka merasa selalu benar karena lebih tua dan berpengalaman. Kalimat seperti "dulu saya juga dipukul dan baik-baik saja" sering dipakai alasan. Padahal, luka batin masa kecil bisa jadi akan diwariskan secara diam-diam. Dari sinilah kekerasan yang dianggap wajar itu berulang lintas generasi sebagai pola toxic parenting. Orang tua merasa berhak marah, memukul, bahkan merendahkan anak. Tanpa sadar, mereka menciptakan siklus kekerasan emosional. Anak yang tumbuh dalam pola ini mudah terjerumus dalam kenakalan. Oleh karena itu, membentuk karakter tak bisa hanya membenahi anak, tapi juga membina orang tua.
Menjadi orang tua membutuhkan ilmu dan keterampilan. Niat dan pengalaman masa lalu tidak cukup. Maka perlu ruang edukasi untuk orang tua lintas generasi. Orang tua di Finlandia misalnya, diberi pelatihan sejak kehamilan. Mereka diajarkan cara mendidik anak yang sehat. Fokusnya pada komunikasi positif dan penguatan emosi anak. Hasilnya, angka kenakalan remaja di sana sangat rendah. Program ini menunjukkan, solusi kenakalan bukan pada barak. Namun pada pemahaman dan dukungan emosional anak oleh keluarga.
Upaya serupa sebenarnya sudah ada di Indonesia. Program Sekolah Orang Tua Hebat dari BKKBN menjadi contoh. Namun, cakupannya masih kecil dan belum merata. Sekolah, desa, dan komunitas bisa mengambil bagian dalam membangun keluarga sehat.
Lantas, jika orang tua juga "nakal", solusinya apa? Tentu bukan dibawa ke barak atau dihukum. Mereka mmerlukan ruang belajar dan refleksi tanpa penghakiman. Pemerintah dan lembaga sosial bisa memfasilitasi proses ini. Pelatihan pengasuhan, diskusi kelompok, dan konseling keluarga tentu akan membantu. Dengan ini diharapkan orang tua memiliki paradigma yang benar dalam mendidik anak, mulai membangun komunikasi yang jujur dan empatik. Dengan begitu, keluarga bisa bertransformasi menjadi ruang nyaman dan aman bagi anak.
Tugas menjadi orang tua adalah tanggung jawab besar. Tidak cukup hanya memberi makan dan pakaian. Orang tua hendaknya menjadi pendidik dan teladan anak setiap hari. Membesarkan anak bukan hanya urusan insting atau naluri. Perlu kesadaran, komitmen, dan ilmu yang terus diperbarui. Apalagi di zaman digital yang penuh tantangan ini. Anak-anak sekarang ini tumbuh dalam dunia yang serba cepat. Anak-anak perlu panduan yang benar, sabar, dan adaptif dari rumah. Untuk itu orang tua perlu terus belajar dan berkembang.
Jika anak nakal dikirim ke barak, itu hanya solusi instan saja. Hal ini tentu tidak menyelesaikan akar masalah yang lebih mendalamdan kompleks. Anak butuh bimbingan, bukan hanya kedisiplinan ala militer. Orang tua yang “nakal” pun perlu dibina. Sebab, perbaikan anak yang nakal harus dimulai dari perbaikan pola asuh orang tuanya.

Penggiat literasi dan penikmat kopi susu
55 Pengikut

Absennya Integritas dalam Masyarakat Bermuka Dua
Jumat, 30 Mei 2025 13:48 WIB
Dedi Mulyadi dan Krisis Kepemimpinan di Indonesia
Kamis, 29 Mei 2025 07:37 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler