Divisi PDD: Lingkaran Setan yang Tak Pernah Bisa Didobrak

Jumat, 9 Mei 2025 08:43 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
\x200e3 Cara Membangun Kepercayaan Diri Sebelum Wawancara Kerja\x200e
Iklan

Anak PDD (Publikasi, Dokumentasi, dan Desain) selalu kerja di balik layar. Tanpa mereka, layar itu nggak akan ada isinya.

***

Menjadi anak PDD (Publikasi, Dokumentasi, dan Desain) dalam organisasi kampus itu semacam jadi karakter latar dalam film: kita nggak muncul di layar utama, tapi kalau kita nggak ada, jalan cerita jadi kosong.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang-orang sibuk debat konsep acara, narasumber, rundown, dan logistik, tapi pas udah jalan,  yang harus kerja dari pra sampai pasca? Ya PDD. Kita bikin konten pra-event, mendokumentasikan saat event, dan mendesain laporan pasca-event. Kita adalah titik-titik kecil yang membentuk garis besar—dan garis itulah yang bikin organisasi kelihatan rapi, estetik, dan (pura-pura) profesional.

Saking seringnya kerja tanpa panggung, lama-lama kita jadi kebal pujian, tahan banting kritik, dan kebiasa kerja diam-diam. Tapi ada satu hal yang terus mengganggu: kenapa semua ini muter-muter aja kayak lingkaran setan?

1. Kreativitas yang Dicekik Deadline dan Brief Aneh-Aneh

Setiap program kerja baru dimulai, anak PDD langsung ditodong: “Konten publikasi ya, ditunggu H-3. Desainnya yang fun tapi tetap formal, font-nya kekinian, dan jangan terlalu rame ya.”
Permintaan yang terdengar sederhana, padahal ambigu setengah mati.

Bayangkan, gimana caranya bikin desain yang fun tapi formal? Harus elegan tapi ngejreng, minimalis tapi kaya makna. Ini bukan desain, ini filsafat postmodern.

Saya sering banget duduk depan laptop, buka Canva, dan bengong 30 menit. Bukan karena males, tapi karena kehabisan ide. Ide udah dipakai semua. Konten kuis udah, tips belajar udah, fun fact udah, quotes motivasi juga udah. Yang belum tinggal konten curhat.

Tapi ya gitu, ujung-ujungnya tetap dibikin juga. Karena kalau nggak, siapa lagi? Kita ini bukan sekadar tim desain. Kita ini ATM ide. Nggak keluar? Diketok. Nggak ada saldo? Tetap ditagih.

Dan walau kadang kesal karena semua serba dadakan, semua serba "tolong yaaa" tanpa "makasih yaaa", ada rasa puas tiap karya kita muncul di feed IG dan orang-orang repost dengan bangga.

2. Dokumentasi: Tukang Potret yang Tak Pernah Terpotret

Salah satu bagian paling pahit dari jadi anak PDD adalah saat dokumentasi. Kita datang paling awal, pulang paling akhir, dan kerja sepanjang acara. Tapi giliran dokumentasi dishare, muka kita nggak ada.

Saya terlalu sering buka folder foto hasil event, scroll satu-satu, dan sadar bahwa saya eksis di 0 dari 300 foto. Kalaupun ada, itu cuma pantulan di kaca atau bayangan buram di pojokan.
Pernah iseng nanya ke teman:

“Fotoku ada gak sih?”
Dijawab, “Lah kamu kan yang moto...”

Rasanya pengen jawab, “Terus aku harus motret diri sendiri sambil salto gitu?”

Dan parahnya, gak semua orang sadar betapa ribetnya dokumentasi. Kita bukan cuma asal jepret. Kita mikir angle, pencahayaan, momen. Harus sigap nangkep ekspresi, kudu gesit ambil candid, dan tetap jaga kamera jangan sampai jatuh karena harga sewa mahal.

Kadang sambil motret, saya juga multitasking: jadi tukang nyusun banner, tukang pegang tripod, bahkan operator zoom. Semua dikerjakan sambil menelan fakta: saya nggak akan punya foto kenang-kenangan.

3. Desain dan Upload: Dari Caption Chaos sampai Revisi Tanpa Henti

Desain konten udah jadi. Tinggal upload. Tapi tunggu—caption-nya mana?
“Oh iya ya, lupa. Nih aku ketik sekarang...”

Seketika masuklah caption dadakan, diketik pakai jempol, penuh typo, tanpa struktur, dan kadang kayak puisi bebas.

“Bisa diedit dikit gak? Biar tone-nya lebih hangat, tapi jangan terlalu lebay. Terus mention semua akun yaa, tapi jangan terlalu ramai juga.”

Upload konten itu nggak semudah klik tombol. Ada ukuran yang harus disesuaikan, resolusi yang dijaga, tone warna biar gak merusak feed. Dan kalau caption atau desain dianggap kurang, siap-siap revisi.
Lagi enak-enak makan mie, dapat chat:

“Flyer yang tadi bisa diganti warna kuningnya jadi mustard? Tapi jangan terlalu mustard. Lebih ke mustard pastel soft...”

Lah, saya ini anak PDD apa juru masak?

Walau lelah, momen paling menyenangkan adalah saat desain kita muncul di timeline dan dapat komentar:

“Keren banget ini siapa yang bikin?”
Saat itulah dada mengembang, walau cuma diam-diam.
Karena tidak semua pahlawan pakai jubah. Kadang mereka cuma pakai hoodie, headset, dan tab Chrome yang isinya template Canva.

 

4. Evaluasi, Lelah, Tapi Tetap Lanjut Lagi

Acara selesai. Dokumentasi beres. Feed penuh. Laporan sudah dikirim.
Akhirnya bisa istirahat?

Haha, tentu tidak.
Baru dua hari lewat, masuk undangan rapat program selanjutnya. “Flyer pra-event ditunggu akhir minggu yaa!”
Saya bahkan belum sempat uninstall Canva.

Lingkaran setannya terus berputar. Desain → dokumentasi → caption → upload → evaluasi → repeat. Dan anehnya, kita semua tetap bertahan. Mungkin karena kita sadar:
Kita boleh capek, tapi kita punya pengaruh yang tak terlihat. Kita bukan cuma bikin konten. Kita membangun wajah organisasi.

Saya pernah dapat pujian:

“Desainmu selalu menarik dan bikin acara kelihatan keren.”
Dan walau itu ucapan singkat, rasanya kayak vitamin penambah semangat.

Mungkin itu alasan kenapa saya, dan banyak anak PDD lainnya, tetap bertahan. Karena sekalipun tak terlihat, kita tahu kita berperan. Bahkan mungkin, lebih besar dari yang orang kira.

Kita Tak Selalu Diingat, Tapi Kita Selalu Ada

Jadi anak PDD itu seperti jadi soundtrack film: gak kelihatan, tapi bikin semuanya terasa hidup. Kita bekerja dalam diam, berkarya dalam deadline, dan tetap berusaha estetik walau kepala rasanya mau pecah.

Kita gak butuh panggung. Karena kita yang ngatur lampunya.
Kita gak butuh sorotan. Karena kita yang bikin desain panggungnya.
Dan meski kita jarang masuk dokumentasi, kita tahu: feed yang rapi, konten yang menarik, dan wajah organisasi yang terlihat profesional—semuanya ada karena kerja keras kita.

Jadi, kalau kamu sekarang sedang di posisi ini, capek, lelah, ngerasa nggak dianggap... percaya deh:
Kamu bukan sekadar anak desain.
Kamu adalah jantung visual organisasi.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sonia Putri Sari Simbolon

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler