Work From Café: Produktif Karena Latte atau Karena Bebas dari Bos?

Selasa, 20 Mei 2025 19:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Work From Cafe
Iklan

Barangkai karena di kafe ada Coffitivity Effect — efek di mana tingkat kebisingan moderat justru merangsang kreativitas dan fokus otak.

Suatu hari, saya duduk di sebuah kafe dengan WiFi pas-pasan dan colokan rebutan. Di depan meja saya, ada seseorang dengan segelas latte yang harganya setara satu porsi nasi padang lengkap rendang dan sayur singkong. Tapi anehnya, dalam satu jam pertama, saya melihat beliau sudah menyelesaikan dua laporan mingguan, satu presentasi, dan membalas semua email yang biasanya saya yakin selalu ditunda sampai akhir zaman.

Saya pun bertanya dalam hati: ini produktif karena kafe-nya, karena latte-nya, atau karena tidak ada bos yang tiba-tiba nanya, "Sudah di-update ke dashboard belum?"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena Work From Café (WFC) memang sedang naik daun. Di timeline media sosial, orang-orang berlomba menunjukkan setup kerja paling estetik: laptop, earphone, kopi susu, dan notes kosong yang difoto dari sudut 45 derajat. Tapi di balik semua itu, ada fakta menarik: banyak orang mengaku lebih produktif saat kerja di kafe dibanding di kantor.

Mari kita selami, kenapa itu bisa terjadi.

Kafe: Distraksi yang Ajaib

Pertama, mari bicara soal suasana. Kafe punya semacam ambience yang unik: suara grinder kopi, pelan-pelan musik indie atau jazz, obrolan samar dari meja sebelah. Anehnya, semua itu malah membantu fokus. Psikolog menyebut ini sebagai Coffitivity Effect — efek di mana tingkat kebisingan moderat justru merangsang kreativitas dan fokus otak.

Beda jauh dengan kantor, tempat di mana gangguan datang dalam bentuk nyata: kolega yang ngajak meeting dadakan, notifikasi Slack yang nggak berhenti, dan tentu saja bos yang bisa muncul tanpa aba-aba.

Kafe Tidak Menuntut Apa-Apa (Selain Minimal Satu Pesanan)

Kantor adalah tempat penuh ekspektasi: harus terlihat sibuk, harus datang tepat waktu, harus stand by walau nggak ada kerjaan. Sementara kafe? Satu-satunya yang diminta adalah kamu memesan sesuatu dan tidak nyolong colokan terlalu lama. Beban mentalnya lebih ringan. Tidak ada yang mengawasi kamu buka YouTube sebentar, atau istirahat lebih dari 15 menit.

Dengan tekanan yang minimal, otak bisa bernapas. Dan ketika otak bernapas, dia bisa bekerja dengan lebih waras. Mungkin itulah alasan kenapa ide-ide cemerlang lebih sering muncul saat kita duduk di pojokan kafe daripada di ruang meeting ber-AC sentral.

WFC dan Fakta Sosial: Laptop Terbuka, Tapi Hati Kosong

Mari kita jujur: sebagian dari kita pergi ke kafe bukan semata demi fokus, tapi juga demi eksistensi. Laptop dibuka, spreadsheet dibiarin idle, tapi Instastory jalan terus. Ini bukan kesalahan, ini kebutuhan emosional. Kadang kita cuma butuh terlihat produktif, walau kenyataannya lagi main game ringan atau nonton video kucing.

Tapi anehnya, dalam proses itu, pekerjaan tetap terselesaikan. Entah karena rasa malu dilihat pengunjung lain, atau karena suasana kafe yang menyuruh kita segera beres lalu pulang, tanpa sadar kita jadi lebih efisien.

WFC Bukan untuk Semua Orang

Tentu saja, tidak semua orang cocok WFC. Ada yang merasa nggak nyaman kerja di tempat umum, ada yang nggak bisa fokus kalau bukan di meja kerja sendiri, ada juga yang dompetnya protes karena seminggu tiga kali ngopi sama dengan sebulan kuota belanja.

Tapi intinya bukan soal tempat. WFC adalah simbol kecil dari sesuatu yang lebih besar: kebutuhan kita akan ruang kerja yang lebih manusiawi, lebih fleksibel, dan tidak dibebani ekspektasi berlebihan. Kadang, cukup diberi kopi dan kebebasan, produktivitas bisa tumbuh sendiri tanpa harus dimonitor setiap saat.

Produktif Karena Apa, Sebenarnya?

Jadi, apakah kita produktif karena latte? Mungkin sebagian. Kafein membantu. Tapi yang lebih penting adalah rasa bebasnya: bebas dari interupsi, bebas dari tekanan sosial kantor, dan bebas dari tatapan judgmental bos saat kita buka YouTube lima menit.

Karena kadang, yang kita butuhkan bukan ruang kerja mewah atau motivasi dari HR, tapi hanya satu kursi dekat jendela, kopi hangat, dan suasana yang membiarkan kita jadi manusia dulu sebelum jadi karyawan.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sonia Putri Sari Simbolon

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler