Seorang ASN yang menulis agar tetap berpikir dan tetap merasa.
Yang Diam-diam (Harus) Kita Maklumi: Soal Ordal, Orang Lama dan Orang Dekat
Minggu, 11 Mei 2025 14:52 WIB
Kesaksian dan renungan seorang ASN soal birokrasi yang menuntut patuh, tapi sering tak memberi ruang untuk berpikir.
Tulisan ini lahir bukan semata-mata karena pengalaman pribadi, tetapi karena saya percaya banyak ASN lain yang juga menyimpan kegelisahan serupa, dan tidak selalu memiliki ruang aman untuk menyuarakannya. Kadang suara itu muncul lewat tawa. Kadang hanya lewat diam. Tapi kali ini, saya memilih menyampaikannya dalam bentuk tulisan.
Beberapa waktu lalu, seorang sahabat mengirimkan sebuah video pendek ke WhatsApp saya. Isinya menampilkan seorang ASN yang memerankan petugas hotline internal, seolah-olah sedang menerima keluhan dari seorang pegawai fiktif bernama "Bella Negara".
Keluhan yang disampaikan ringan di permukaan: meriang, berkunang-kunang, panik. Namun respons petugas dalam video itu dibungkus dengan kalimat-kalimat jenaka yang sarat ironi. Ia menyarankan agar si pegawai tak perlu memaksakan diri, cukup datang ke kantor dengan niat baik, menjadi penyeimbang ekosistem, dan tentu saja tidak lupa mengisi presensi agar tunjangan tidak dipotong. Lalu ditutup dengan kalimat yang menohok. "Sekeras apa pun Ibu berusaha, pemenangnya tetap cuma tiga: orang dalam, orang lama, dan orang dekat."
Saya bisa memahami kenapa banyak orang merasa terhibur oleh video itu. Ia ditampilkan dengan cerdas, ringan, dan penuh satire. Cara yang aman dan efektif untuk menyampaikan keresahan tanpa harus berkonfrontasi secara langsung. Jika benar dibuat oleh ASN muda, saya mengapresiasi keberanian dan kreativitasnya. Tapi pada saat yang sama, video itu juga membuat saya terdiam.
Mungkin saya menanggapi video itu dengan sensitivitas yang lebih tinggi daripada sebagian orang. Bukan karena ingin membantah atau menolak pesan-pesan di dalamnya, melainkan karena saya menyadari bahwa dalam realitas birokrasi yang kompleks dan tak selalu adil, saran-saran yang terdengar sederhana bisa terasa ganjil. Di titik tertentu, nasihat seperti “easy going saja” tak lagi memberi ketenangan, melainkan justru mempertajam kesadaran bahwa ada hal-hal yang terlalu serius untuk disikapi dengan ringan. Dan mungkin, perasaan terusik itu muncul bukan karena video itu salah, tapi karena terlalu dekat dengan kenyataan yang selama ini diam-diam kita maklumi.
Birokrasi, pada idealnya, dibangun di atas sistem merit, transparansi, dan pengakuan terhadap kinerja. Namun yang terjadi di banyak tempat adalah dominasi relasi informal, senioritas semu, dan kecenderungan untuk menyamarkan ketimpangan sebagai kewajaran. Dalam lanskap seperti itu, bertahan sering kali berarti berkompromi: mengendurkan idealisme, meredam inisiatif, dan menganggap rutinitas sebagai capaian.
Itulah mengapa saya terusik ketika mendengar kalimat seperti "jadilah penyeimbang ekosistem kantor." Kalimat ini terdengar damai, tapi juga samar. Apakah maknanya adalah bertahan di tengah ketimpangan? Menyesuaikan diri dengan sistem yang tidak adil? Menghadiri rapat dan mengisi absen sebagai bentuk kontribusi?
Dalam kenyataan yang saya saksikan sendiri, banyak ASN justru tenggelam dalam kegiatan-kegiatan seremonial yang tidak berdampak, laporan yang tidak dibaca, dan pengeluaran anggaran yang lebih mementingkan pelaporan visual ketimbang hasil nyata. Jika semua itu dijalankan dengan penuh kesadaran, mungkin kita bisa menyebutnya pengabdian. Tapi jika dijalani sekadar untuk memenuhi formalitas, lalu diakhiri dengan saran "easy going saja," saya pikir kita perlu bertanya: apa yang sedang kita normalisasi?
Ibarat berjalan di tengah lumpur, sepatu paling tinggi pun tak menjamin kita bebas dari cipratan. Bahkan saat berusaha menjaga pijakan, sistem yang keruh tetap meninggalkan bekas. Maka ketika seseorang berkata "bekerja dengan baik saja sudah cukup," saya bertanya kembali: dalam ekosistem seperti apa? Dalam nilai seperti apa? Dan untuk tujuan seperti apa?
Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun, termasuk sahabat saya yang mengirimkan video itu. Barangkali ia hanya ingin berbagi keresahan dengan cara yang ringan. Tapi justru karena saya tahu keresahan itu nyata, saya merasa perlu menyampaikannya dengan cara yang lain: bukan untuk menyindir balik, tetapi untuk memperluas ruang refleksi kita bersama.
Karena bagi saya, easy going bukan lagi sekadar sikap adaptif. Ia bisa menjadi mekanisme bertahan yang membius. Ia tampak damai, padahal bisa menumpulkan kepekaan. Dan jika dilakukan terus-menerus, ia berisiko membuat kita hadir secara fisik, tapi menghilang secara batin.
Saya tidak sedang mengajak siapa pun untuk bersikap keras kepala, apalagi menolak segala bentuk kompromi. Setiap orang punya caranya sendiri dalam menghadapi kenyataan.
Ini hanyalah catatan dari seorang ASN yang percaya bahwa kesadaran harus terus dirawat, bahkan ketika sistem seolah ingin mematikannya pelan-pelan. Kita boleh tenang, tapi bukan berarti harus mati rasa. Karena jika kita terlalu sering menertawakan kenyataan yang menyakitkan, dan berhenti merasa terganggu, bisa jadi bukan sistemnya yang membaik, melainkan kesadaran kita yang perlahan padam.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Dilema Kecil di Dunia ASN
5 jam lalu
Yang Diam-diam (Harus) Kita Maklumi: Soal Ordal, Orang Lama dan Orang Dekat
Minggu, 11 Mei 2025 14:52 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler