Content writer sekaligus penikmat budaya digital. Blog ini saya buat sebagai wadah menulis opini, analisis, dan catatan pribadi tentang komunikasi, media, dan tren masyarakat.

Framing Media, Pernyataan Menag, dan Luka yang Tak Semestinya Dikecilkan

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Menteri Agama, Nasaruddin Umar. Dok. Baznas
Iklan

Framing media dan pernyataan pejabat soal pesantren menunjukkan bagaimana narasi bisa menormalkan luka dan menenggelamkan suara korban.

***

Isu tentang pesantren kembali menjadi sorotan publik. Bermula dari tayangan salah satu program di Xpose Uncensored dengan judul “ Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” yang dianggap menghina kiai dan lembaga pesantren, gelombang reaksi bermunculan — dari media sosial hingga unjuk rasa di depan gedung Transmedia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tayangan yang dimaksud sejatinya tidak secara eksplisit menyinggung kekerasan seksual, namun framing-nya memunculkan kesan merendahkan simbol pesantren dan ulama. Dalam masyarakat yang memiliki kedekatan emosional dengan institusi keagamaan, kesalahan semacam ini bisa menimbulkan luka kolektif yang dalam.

Namun, persoalan ini kemudian bergerak lebih jauh. Di tengah sorotan publik terhadap citra pesantren, Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan pernyataan di kantor Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PM), bahwa “kasus kejahatan seksual di pesantren dibesar-besarkan media, padahal jumlahnya hanya sedikit.” mengutip dari Tempo.co (14/10/25)

Pernyataan tersebut sontak menimbulkan perdebatan baru, bukan hanya tentang data, tetapi juga tentang empati dan tanggung jawab moral seorang pejabat publik.

Dalam data Komnas Perempuan (2015–2021), kekerasan berbasis gender di lembaga pendidikan berbasis agama Islam mencapai sekitar 16 persen dari total kasus, dan 87 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Angka ini memang tidak bisa digeneralisasi pada seluruh pesantren, namun juga tidak pantas dianggap “sedikit.” Sebab di balik setiap angka, ada tubuh dan jiwa yang terluka.

Pernyataan yang menormalisasi atau mengecilkan kasus kekerasan seksual,  betapapun kecilnya secara statistik berisiko mengikis kepekaan sosial kita terhadap penderitaan korban. Lebih dari itu, ia bisa memunculkan rasa takut baru di kalangan korban potensial yang akhirnya memilih diam. Dalam konteks kekuasaan, kalimat semacam itu bisa terdengar seperti pembenaran, meski mungkin tidak dimaksudkan demikian.

Sementara itu, media pun memiliki tanggung jawab etis yang sama besar. Framing yang berlebihan terhadap “kasus di pesantren” bisa menimbulkan generalisasi yang merugikan ribuan lembaga pendidikan Islam yang sebenarnya berperan besar dalam mencetak generasi berakhlak. Ketika media terlalu menyoroti aspek sensasional atau mengaitkan individu pelaku dengan lembaga secara utuh, yang muncul bukan lagi kesadaran, tapi stigma.

Di satu sisi, publik berhak tahu dan menuntut transparansi. Tapi di sisi lain, media perlu memastikan bahwa cara mereka menyampaikan fakta tidak menimbulkan luka sosial baru. Representasi pesantren yang semata dilihat dari kacamata pelaku kejahatan membuat publik kehilangan kemampuan untuk memisahkan antara institusi dan penyimpangan individu.

Maka, di tengah pusaran wacana ini, ada dua hal yang seharusnya berjalan berdampingan yakni kepekaan media dan tanggung jawab pejabat publik.

Media perlu lebih berhati-hati dalam membingkai isu sensitif yang menyangkut simbol keagamaan. Sementara pejabat publik perlu menimbang setiap kata yang keluar dari mulutnya, karena narasi yang keliru bisa memengaruhi cara masyarakat memahami realitas.

Kekerasan seksual, sekecil apa pun jumlahnya, tetaplah kejahatan yang menuntut penanganan serius bukan perdebatan tentang seberapa besar media memberitakannya.

Sebab dalam ruang publik yang semakin bising oleh opini dan framing, yang paling sering kali terlupakan adalah suara korban. Dan suara itu, seharusnya, tak pernah dianggap “dibesar-besarkan" ataupun berlebihan.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler