Perlu Serius Menjaga Integritas Jika Ujian Nasional Kembali Digelar
Kamis, 15 Mei 2025 08:02 WIB
UN bukan tujuan akhir, melainkan sarana
***
Setelah beberapa tahun vakum, pemerintah berencana kembali menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk pelajar tingkat SMA mulai tahun pelajaran 2025/2026. Kabar ini disambut dengan beragam reaksi. Sebagian besar menyambut positif, terutama karena nilai UN ini akan menjadi salah satu syarat masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur prestasi. Artinya, hasil UN juga menentukan masa depan pendidikan lanjutan siswa. Karena itu, pelaksanaan UN harus dilakukan secara serius dan bertanggung jawab.
Ujian memang bukan satu-satunya cara menilai kemampuan siswa, tetapi tetap diperlukan sebagai tolok ukur standar nasional. Apalagi dalam konteks jalur prestasi masuk perguruan tinggi, UN menjadi alat pembanding yang adil di tengah berbagai latar belakang sekolah yang beragam. Namun, agar berfungsi sebagaimana mestinya, UN harus kredibel. Ujian yang bocor atau mudah diakali hanya akan menjadi formalitas yang melelahkan tanpa makna.
Sejarah kelam kebocoran soal UN bukan hal baru di Indonesia. Berkali-kali masyarakat mendengar kasus soal bocor di media sosial, grup chat, atau bahkan dijual oleh oknum tak bertanggung jawab. Hal ini mencoreng niat baik pelaksanaan ujian dan merugikan siswa yang belajar dengan jujur. Bila hal serupa terjadi kembali di UN 2025/2026, kepercayaan publik akan ambruk, dan nilai ujian menjadi tidak sahih sebagai alat seleksi masuk perguruan tinggi.
Maka dari itu, pemerintah dan semua pihak terkait perlu mengubah pola pikir lama soal ujian. UN bukan sekadar kegiatan rutin, tetapi instrumen penting untuk membentuk masa depan. Jika ingin hasil yang berkualitas, maka mekanisme, kualitas soal, keamanan, dan kerahasiaan harus dijaga ketat. Tanpa itu semua, ujian nasional hanya akan menjadi beban tambahan bagi siswa dan guru.
Pertanyaannya, bagaimana menjaga kerahasiaan dan keamanan soal ujian di zaman yang serba digital ini? Apalagi teknologi kini memudahkan orang untuk memotret, merekam, menyebarkan, dan membocorkan informasi dalam hitungan detik. Tantangan ini memerlukan solusi inovatif dan terukur. Beberapa negara telah berhasil menunjukkan bahwa pengamanan digital bisa dilakukan dengan sistem yang tepat.
Di Korea Selatan, misalnya, ujian nasional disebut Suneung dijalankan dengan sistem pengamanan tingkat tinggi. Soal ujian dicetak dan dikunci dalam ruang tertutup, dijaga aparat keamanan, dan baru dibuka sesaat sebelum ujian dimulai. Semua petugas pengawas mendapatkan pelatihan khusus dan harus menandatangani perjanjian kerahasiaan. Selain itu, distribusi soal ke sekolah dilakukan dengan pengawalan polisi, serta larangan penggunaan perangkat elektronik di ruang ujian.
Pendekatan berbeda diterapkan di Finlandia. Negara ini menggunakan sistem ujian berbasis komputer yang terhubung ke server pusat dengan tingkat enkripsi tinggi. Setiap komputer siswa tidak memiliki akses ke internet atau sumber luar selama ujian berlangsung. Guru dan pengawas sudah terlatih menggunakan sistem digital ini, dan penyusunan soal dilakukan secara terpusat melalui sistem terenkripsi yang hanya bisa diakses oleh pihak berwenang. Hasilnya, tidak pernah terdengar kebocoran soal atau kecurangan masif.
Di Indonesia sendiri, pengalaman positif juga pernah terjadi dalam pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) oleh LTMPT. Soal-soal disiapkan oleh tim independen, disimpan di server dengan enkripsi berlapis, dan hanya diakses saat ujian berlangsung. Sistem pengamanan melibatkan kerjasama antara instansi pendidikan, BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), dan pihak kepolisian. Meski ada kekurangan teknis, dari sisi kerahasiaan soal, UTBK relatif aman dan dipercaya publik.
Benar bahwa pengamanan soal digital memerlukan pendekatan teknologi dan manajemen risiko. Sistem enkripsi, otentikasi ganda, dan audit digital harus menjadi standar baru. Tidak hanya teknis, budaya integritas juga penting. Sumber kebocoran sering kali berasal dari kelalaian manusia, bukan teknologi itu sendiri. Maka, pelatihan dan pembinaan integritas bagi petugas juga wajib dilakukan.
Hal serupa diungkapkan oleh Prof. Alan Woodward dari University of Surrey, Inggris, seorang ahli keamanan siber. Dalam wawancaranya dengan BBC Tech, ia mengatakan bahwa “Tidak ada sistem yang 100% aman, tetapi kita bisa mengurangi risiko secara signifikan dengan menggabungkan teknologi dan pengawasan manusia.” Menurutnya, sistem penyimpanan soal harus dilindungi dengan otorisasi berlapis, audit jejak digital, serta sistem pengawasan real-time terhadap aktivitas yang mencurigakan.
Pemerintah juga harus belajar dari pengalaman buruk di masa lalu. Salah satu penyebab utama kebocoran soal adalah terlalu banyak pihak yang memegang dokumen ujian sebelum hari H. Maka, distribusi soal harus dipersempit dan diawasi secara ketat. Idealnya, hanya satu lembaga independen yang bertanggung jawab penuh terhadap penyimpanan, penggandaan, dan distribusi soal. Dan semua proses itu wajib didampingi oleh audit teknologi dari lembaga terpercaya.
Selain itu, penting juga membangun budaya jujur di lingkungan pendidikan. Ujian seharusnya menjadi momen pembuktian usaha, bukan ajang mencari celah curang. Pemerintah dapat menggandeng psikolog pendidikan untuk menyusun pendekatan yang menanamkan nilai-nilai integritas sejak dini. Sekolah bisa mengadakan pelatihan khusus untuk guru, siswa, dan orang tua agar tercipta ekosistem yang mendukung kejujuran akademik.
UN bukan tujuan akhir, melainkan sarana. Jika ujian dilaksanakan dengan niat baik, sistem kuat, dan budaya integritas, maka hasilnya akan bermanfaat bagi siswa dan dunia pendidikan secara keseluruhan. UN bisa menjadi jembatan antara pendidikan menengah dan perguruan tinggi, selama dijaga dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai niat baik ini rusak hanya karena kelalaian dan ketidaksiapan teknis yang sebenarnya bisa dicegah.
Kini saatnya semua pihak bergerak bersama. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan, sekolah sebagai pelaksana, dan masyarakat sebagai pengawas sosial, harus memastikan bahwa UN 2025/2026 berjalan aman, adil, dan bermartabat. Jika sistem sudah kuat, dan nilai-nilai integritas ditanamkan sejak dini, tidak ada lagi yang perlu ditakutkan dari pelaksanaan ujian nasional. Justru, kita bisa bangga punya standar evaluasi yang adil, transparan, dan terpercaya.

Penggiat literasi dan penikmat kopi susu
55 Pengikut

Absennya Integritas dalam Masyarakat Bermuka Dua
Jumat, 30 Mei 2025 13:48 WIB
Dedi Mulyadi dan Krisis Kepemimpinan di Indonesia
Kamis, 29 Mei 2025 07:37 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler