Tentang Kepercayaan dan Kegelisahan Kolektif

Selasa, 27 Mei 2025 17:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ijazah Jokowi
Iklan

Ketika seseorang mengalami trauma sosial, ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang penuh kecurigaan. Ia merasa dunia memusuhi dirinya.

***

Di tengah hiruk-pikuk informasi dan opin, masyarakat kita sedang menghadapi krisis yang lebih parah dari sekadar berita palsu atau kabar viral. Ini adalah krisis kepercayaan terhadap diri sendiri. Ketika institusi resmi berbicara, masih banyak yang memilih percaya pada sumber luar negeri. Fenomena ini bukan sekadar tentang kebingungan, melainkan sebuah refleksi dari kegelisahan identitas yang belum tuntas. Sebuah masyarakat yang mulai ragu pada kemampuan dan integritasnya sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita  menyaksikan masyarakat lebih percaya pada laboratorium asing daripada institusi negara. Hasil uji ilmiah dari lembaga forensik resmi dipertanyakan, seolah kebenaran hanya sah jika datang dari luar negeri. Ini bukan lagi soal ketidakpuasan terhadap hasil investigasi. Ini soal dalamnya luka kolektif yang membuat kita merasa selalu salah, selalu lebih bodoh, dan tidak layak dipercaya. Luka ini tak terlihat, tapi dampaknya nyata dalam sikap dan pilihan kita sehari-hari.

Dalam keseharian, ketidakpercayaan ini muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, ketika seseorang sakit, dia lebih percaya pada pengobatan dari luar negeri ketimbang rekomendasi dokter lokal. Atau ketika ada informasi penting dari lembaga dalam negeri, orang-orang mencari klarifikasi dari akun media sosial luar negeri. Sikap ini bukan sekadar skeptis sehat, tapi bentuk keraguan mendalam terhadap nilai dan kapabilitas bangsa sendiri. Kita menilai bangsa dari kaca mata yang memihak asing.

Fenomena ini mencerminkan ketegangan antara logika dan emosi. Banyak orang merasa kehilangan kontrol terhadap realitas yang membingungkan. Ketika institusi resmi dianggap tak dapat diandalkan, orang mulai mencari alternatif lain yang memberi rasa nyaman. Ini bukan semata soal bukti, tapi soal perasaan ingin punya kendali. Saat seseorang merasa tak mampu mengubah keadaan, ia akan mudah tergoda untuk percaya pada teori konspirasi atau klaim sensasional. Emosi mengambil alih logika.

Kepercayaan adalah pondasi penting dalam membangun hidup bersama. Tanpa kepercayaan, tidak ada dialog. Tanpa dialog, tidak ada persatuan. Dalam masyarakat yang sehat, kita perlu punya dasar etis bahwa orang lain, termasuk lembaga negara, berniat baik dan bisa dipercaya. Bila tidak, kita terjebak dalam dunia yang penuh kecurigaan, saling tuduh, dan retaknya solidaritas. Bangsa tak akan kuat jika anggotanya saling mencurigai.

Sikap meragukan institusi juga berbahaya bagi sistem hukum. Bayangkan jika setiap keputusan hukum bisa dibantah hanya karena “rasa tidak puas” atau “opini di media sosial”. Maka hukum bukan lagi tempat berpijak, tapi sekadar arena debat yang tiada akhir. Kita perlu menyadari bahwa hukum tak akan bisa bekerja jika warga tak mengakuinya sebagai otoritas. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, ketika tilang elektronik dianggap jebakan atau putusan pengadilan selalu dicurigai sebagai hasil sogokan, kita telah kehilangan kepercayaan kolektif.

Keraguan semacam ini tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, berakar dari pengalaman dikhianati, tidak dihargai, atau tidak diikutsertakan. Di sekolah, misalnya, siswa yang pendapatnya tak pernah dianggap akan cenderung meragukan guru. Di kantor, pegawai yang selalu disalahkan akan sulit mempercayai atasan. Begitu pula dalam masyarakat: jika warga merasa negara tidak mendengar,  mereka akan mencari saluran lain untuk bersuara, bahkan jika saluran itu menyesatkan.

Namun, penting juga diakui bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari pengalaman nyata. Maka, agar lembaga-lembaga negara dipercaya, mereka harus layak dipercaya. Tidak cukup hanya memerintah untuk dipercaya. Institusi ilmiah harus transparan. Institusi hukum harus adil. Dan para pejabat publik harus menunjukkan integritas. Jika tidak, keraguan akan terus membesar, dan kita semua akan menjadi korban dari sikap saling tidak percaya ini.

Ketika seseorang mengalami trauma sosial, ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang penuh kecurigaan. Ia merasa dunia memusuhi dirinya. Gejala ini terlihat saat sebagian masyarakat percaya bahwa semua peristiwa besar pasti penuh rekayasa. Bahkan peristiwa sederhana bisa dicurigai sebagai sandiwara. Ini bukan tanda kritis, tapi gejala rasa tidak aman yang akut. Masyarakat seperti ini tidak butuh debat, melainkan perlu ruang untuk dipulihkan bersama.

Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, penting untuk membangun budaya dialog yang jujur. Bukan dengan marah atau mengejek orang yang ragu, tapi dengan sabar menjelaskan dan mendengarkan. Edukasi bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi membangun kesadaran bersama. Kedua, kita harus aktif menjaga kredibilitas lembaga. Transparansi dan partisipasi publik adalah kunci. Ketiga, kita perlu merawat rasa memiliki terhadap negara. Sebab, hanya dengan rasa memiliki itulah, kita bisa membangun kepercayaan dari bawah.

Di tengah semua kegelisahan ini, mari kita ingat: negara bukan entitas asing. Negara adalah kita. Ketika kita meragukan negara, itu artinya kita sedang meragukan diri sendiri. Dan jika kita tak percaya pada bangsa sendiri, pada akhirnya kita pun akan kehilangan pegangan untuk melangkah bersama. Membangun kepercayaan memang tidak mudah, tapi jika tidak dimulai sekarang, kita hanya akan terjebak dalam lingkaran curiga tanpa akhir. Bangsa yang terus-menerus meragukan dirinya akan sulit melangkah maju.

Krisis kepercayaan ini adalah tantangan zaman. Namun, ini juga bisa jadi titik tolak perubahan. Kita bisa memilih untuk terus mencurigai, atau mulai membangun ulang rasa percaya. Kita bisa mengutuk kegelapan, atau mulai menyalakan lilin kecil lewat tindakan nyata: mempercayai yang patut dipercaya, mendukung yang benar-benar bekerja, dan membangun relasi sosial yang sehat. Karena jika kita ingin bangsa ini maju, semua itu harus dimulai dari satu hal: percaya pada diri sendiri.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mugi Muryadi

Penggiat literasi dan penikmat kopi susu

55 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler