Hanifan Yudani Kusumah Latihan Berat Menuju Podium Juara

Selasa, 3 Juni 2025 13:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Pencak Silat. Gambar oleh AgusTriyanto dari Pixabay
Iklan

Artikel ini mengangkat perjalanan Hanifan Yudani Kusumah, seorang pesilat muda Indonesia, dari masa-masa latihan berat hingga meraih medali emas

Oleh: Siti Noor Fathiema Aufa

Keringat, Luka, dan keteguhan hati. Tiga hal itu barangkali paling tepat menggambarkan perjalanan Hanifan Yudani Kusumah menuju puncak prestasi. Nama pencak silat muda asal Bandung ini mencuat ke panggung nasional dan internasional setelah berhasil meraih medali emas di Asian Games 2018.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun jauh sebelum pelukan bersejarahnya dengan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto jadi perbincangan nasional, Hanifan terlebih dulu melewati fase-fase sulit: dari latihan keras, cedera, hingga kegagalan yang membentuk mentak juaranya. 

Awal Perjalanan: dari Padepokan ke Kejuaraan Dunia

Lahir pada 25 Oktober 1997 di Bandung, Hanifan berasal dari keluarga yang sudah lama akrab dengan pencak silat. Ayahnya, Dani Wisnu, adalah pesilat senior, dan ibunya Dewi Yanti Kosasih, juga berkiprah dalam dunia silat. Sejak usia dini, Hanifan sudah diperkenalkan dengan dunia bela diri ini. Tak seperti anak sesusianya yang bermain bebas, Hanifan menghabiskan sore harinya di padepokan, memperbaiki kuda-kuda dan mempelajari jurus demi jurus. 

"Waktu kecil sempat bosen juga, karena latihannya beran dan teman-teman main di luar, Tapi orang tua selalu ingatkan soal tujuan jangka panjang", ujar Hanifan dalam sebuah wawancara. 

Semangat itu terbayar ketika ia mulai menembus panggung nasional. Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, Hanifan berhasil membawa pulang medali emas. Setahun kemudian, ia meraih emas di Kejuaraan Dunia Pencak Silat di Denpasar, sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai salah satu pesilat muda berbakat Indonesia

Asian Games 2018: Momen yang mengubah segalanya

Puncak dari segala jerih payah datang pada tahun 2018, saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Hanifan tampil di kelas C (55-60 kg) dan berhasil mengalahkan pesilat Vietnam, Nguyen Thai Linh, dalam pertandingan final yang menegangkan, Skor tipis 3-2 menjadi saksi bahwa perjuangan menuju podium emas tidaklah mudah. 

Konsistensi dan Perjuangan Setelah Euforia

Pasca Asian Games, kehidupan Hanifan tidak serta-merta jadi mudah. Justru tantangan lebih besar menanti. Seperti banyak atlet lainnya, ia dihadapkan pada persoalan keberlanjutan karier. Ia sempat mengalami penurunan peforma akibat cedera, serta harus beradaptasi dengan tekanan sebagai figur publik. 

Namun, Hanifan memilih bertahan. Ia tetap aktif mengikuti berbagai kejuaraan dan menjaga kedisiplinan latihan. Tak hanya itu, bersama istrinya —Pipiet Kamelia, yang juga pesilat dan peraih emas Asian Games—ia membangun padepokan pencak silat di Soreang, Bandung. 

"Kami tahu betul rasanya berjuang dari bawah. Banyak yang punya potensi besar tapi terbatas di biaya. Di sinilah kami ingin hadir," ujar Pipiet Kamelia

Membangun Masa Depan di Luar Arena

Menyadari bahwa usia atlet terbatas, Hanifan mulai merintis bisnis perlengkapan olahraga dengan merek Alfarel. Ia juga membuka klub pencak silat sendiri, dengan harapan bisa mencetak juara-juara baru dari Tanah Pasundan. 

"Saya ingin hidup dari pencak silat, bukan hanya saat bertanding, tapi juga setelah pensiun. Makan saya mulai menata masa depan lewat wirausaha," tuturnya. 

Langkah itu menjadi bukti bahwa Hanifan tidak hanya mengandalkan pencapaian di lapangan, tetapi juga berupaya membangun fondasi ekonomi yang kuat untuk masa depannya. Semangat itu juga ia tularkan ke murid-muridnua, bahwa menjadi atlet bukanlah akhir. melainkan awal dari jalan panjang sebagai manusia erdaya. 

Penutup: Inspirasi dari Keringat dan Ketulusan

Perjalanan Hanifan Yudani Kusumah dari latihan berat menuju podium juara bukanlah kisah instan. Ia melalu fase jatuh bangun, cedera, tekanan, dan pilihan sulit, Tapi dari semua itu, Hanifan tampil berbagai sosok yang konsisten dan rendah hati. 

Di mata publik, ia adalah atlet yang memeluk dua tokoh politik. Xi mata generasi muda, ia adalah inspirasi—bahwa keberhasilan bukan milik mereka yang cepat, melainkan tak pernah berhenti

 

Dari padepokan sederhana di Bandung, hingga panggung emas Asian Games, Hanufan membuktikan latihan berat bukan penghalang, tapi jembatan menuju podium juara.

Bagikan Artikel Ini
img-content

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler