Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Laudato Si’ dan Kita, Secercah Harapan di Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Kamis, 5 Juni 2025 09:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Ramah Lingkungan
Iklan

Refleksi Hari Lingkungan Sedunia. Merawat bumi bukan sekadar tugas ekologis, tetapi juga perjalanan spiritual menuju harmoni yang lama hilang

Oleh:  Anselmus Dore Woho Atasoge, Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende

 Setiap tanggal 5 Juni, manusia sejagad seakan berhenti sejenak dari arus deras peradaban, menyadari bahwa di balik hiruk-pikuk kehidupan, ada tanah yang merintih, udara yang terbebani, dan laut yang memanggil dalam gelombang sunyi. Di tengah fenomena itu, Laudato Si’ hadir sebagai bisikan lembut di tengah kegaduhan eksploitasi, mengingatkan bahwa bumi bukan sekadar pijakan, tetapi rumah yang bernapas, memberi, dan menunggu tangan yang merawatnya dengan kasih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika manusia mengabaikan seruan alam, bukan hanya hutan yang terbakar atau sungai yang mengering—jiwa kolektif kita pun perlahan terkikis, tenggelam dalam krisis moral yang mengasingkan kita dari keindahan ciptaan. Maka, merawat bumi bukan sekadar tugas ekologis, tetapi juga perjalanan spiritual menuju harmoni yang lama hilang—sebuah penyelarasan kembali antara manusia dan semesta dalam tarian keseimbangan yang kudus.

Paus Fransiskus ensikliknya Laudato Si’ mengajak umat manusia untuk melihat alam sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dilindungi. Ia menyoroti bahwa perubahan iklim dan degradasi lingkungan adalah akibat dari keserakahan manusia yang mengutamakan keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak ekologis. Dalam Laudato Si, ia menegaskan bahwa eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali telah menyebabkan ketimpangan sosial dan penderitaan bagi kaum miskin yang paling rentan terhadap dampak lingkungan.

Salah satu tokoh lingkungan hidup yang mendukung gagasan ini adalah Jane Goodall, seorang primatologis dan aktivis konservasi. Goodall menekankan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem yang menjadi tempat hidup berbagai spesies. Ia percaya bahwa eksploitasi alam yang berlebihan tidak hanya mengancam kehidupan satwa liar, tetapi juga keseimbangan ekologi yang menopang kehidupan manusia.

Selain itu, David Attenborough, seorang naturalis dan pembuat film dokumenter, telah lama memperingatkan tentang dampak buruk eksploitasi lingkungan terhadap planet ini. Dalam berbagai karyanya, ia menunjukkan bagaimana deforestasi, pencemaran, dan perubahan iklim telah mengancam keberlanjutan kehidupan di bumi. Attenborough menekankan bahwa manusia harus bertindak segera untuk mengurangi jejak ekologisnya dan beralih ke gaya hidup yang lebih berkelanjutan.

Paus Fransiskus juga mengkritik sistem ekonomi yang hanya berorientasi pada keuntungan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Ia menyebut bahwa kapitalisme yang tidak terkendali telah menciptakan budaya konsumtif yang merusak alam. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan Greta Thunberg, aktivis muda yang telah menginspirasi jutaan orang untuk bertindak melawan perubahan iklim. Thunberg menegaskan bahwa eksploitasi lingkungan yang dilakukan oleh generasi saat ini akan berdampak buruk bagi generasi mendatang, sehingga diperlukan tindakan nyata untuk mengurangi emisi karbon dan melindungi ekosistem.

Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus juga menyoroti pentingnya pendidikan lingkungan sebagai bagian dari perubahan budaya. Ia mengajak masyarakat untuk mengembangkan kesadaran ekologis dan mengubah pola pikir yang melihat alam sebagai objek eksploitasi. Pendidikan lingkungan harus menjadi bagian dari kurikulum global agar generasi mendatang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.

Hari Lingkungan Hidup Sedunia bukan hanya sekadar peringatan tahunan, tetapi harus menjadi momentum untuk refleksi dan aksi nyata. Paus Fransiskus mengajak semua pihak—pemerintah, perusahaan, dan individu—untuk bekerja sama dalam menciptakan kebijakan yang berkelanjutan dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Ia menekankan bahwa perubahan hanya bisa terjadi jika ada komitmen kolektif untuk merawat bumi sebagai rumah bersama.

Di tanggal 5 Juni ini, baiklah bila kita mengambil jeda dalam hiruk-pikuk peradaban untuk menatap ke dalam diri kita untuk melihat sejenak hubungan manusia dengan rumahnya, bumi. Hari penuh makna ini hendaknya tidak dihadirkan sebagai sekadar seremoni, melainkan sebuah panggilan untuk mengakui bahwa kita bukanlah penguasa semesta, melainkan penjaga yang dipercayakan merawat keindahan yang diberikan sejak awal waktu. Lebih dari sekadar panggilan untuk bertindak, hari ini adalah ajakan untuk meresapi bahwa dalam setiap daun yang gugur, dalam setiap tetes air yang menguap, terdapat kisah tentang keterasingan manusia dari alam yang mestinya ia peluk dengan kasih.

lingkungan

Dan jika eksploitasi lingkungan adalah manifestasi dari krisis etika dan spiritual, maka merawat bumi adalah bentuk pertobatan yang paling hakiki, sebuah perjalanan kembali menuju harmoni, di mana manusia dan alam berdansa dalam keseimbangan yang telah ditentukan oleh semesta sejak awal mula.***

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler