Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Membongkar Konstruksi Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Senin, 9 Juni 2025 20:43 WIB
Srintil si ronggeng jadi ikon sekaligus korban. Kisah cinta, tragedi, dan pencarian jati diri di tengah prahara politik Indonesi
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah mahakarya yang menyoroti kehidupan pedesaan Jawa dengan segala kompleksitasnya. Lebih dari sekadar kisah romansa atau tragedi politik, novel ini secara implisit menghadirkan sebuah analisis mendalam tentang posisi perempuan dalam masyarakat patriarkal.
Melalui lensa teori feminisme Simone de Beauvoir, khususnya konsep "Yang Lain" (The Other), kita dapat membongkar bagaimana identitas perempuan, diwakili oleh Srintil si ronggeng, dikonstruksi, dieksploitasi, dan diposisikan dalam relasi kekuasaan gender.
Perempuan sebagai "Yang Lain": Srintil dan Eksistensi yang Terobjektifikasi
Menurut Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, laki-laki merepresentasikan diri mereka sebagai subjek atau Yang Absolut, sementara perempuan secara historis dikonstruksi sebagai Yang Lain atau Yang Kedua. Keberadaan perempuan didefinisikan dalam kaitannya dengan laki-laki, bukan sebagai entitas mandiri. Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil adalah personifikasi sempurna dari konsep ini.
Sejak kecil, nasib Srintil sudah terpatri pada peran yang ditentukan oleh masyarakat Dukuh Paruk: menjadi ronggeng. Ia tidak memilih peran ini, melainkan "ditunjuk" oleh takdir dan tradisi. Statusnya sebagai ronggeng memberinya keunikan dan daya tarik, tetapi juga menjadikannya objek. Tubuhnya, tarian, dan bahkan esensinya sebagai perempuan, sepenuhnya dipertukarkan, ditonton, dan dimiliki oleh laki-laki.
"Srintil adalah milik Dukuh Paruk. Milik laki-laki Dukuh Paruk, begitu juga seluruh tubuhnya." (kutipan yang menggambarkan kepemilikan komunal atas tubuh Srintil)
Kutipan ini secara telanjang mengungkapkan bagaimana Srintil, sebagai individu, kehilangan otonominya. Tubuhnya, yang seharusnya menjadi ruang eksistensi pribadinya, direduksi menjadi properti komunal, sebuah alat hiburan dan pemuas hasrat. Dia adalah Yang Lain yang keberadaannya sepenuhnya terdefinisi oleh fungsi dan keinginan subjek (laki-laki dan masyarakat patriarkal).
Mitos dan Citra: Konstruksi Ideal Ronggeng
Beauvoir juga membahas bagaimana masyarakat menciptakan mitos dan citra tentang perempuan yang membelenggu mereka. Dalam konteks Dukuh Paruk, ronggeng adalah sebuah mitos. Ia adalah simbol kesuburan, keberuntungan, dan hiburan. Namun, mitos ini juga memenjarakan Srintil. Ia harus memenuhi ekspektasi dari citra "ronggeng ideal" yang diciptakan masyarakat, yang seringkali bertentangan dengan kemanusiaan dan kebebasan individunya.
Proses bukak klambu adalah puncak dari objektifikasi ini. Ritual tersebut bukan hanya inisiasi Srintil sebagai ronggeng sejati, tetapi juga simbol penyerahan total tubuhnya kepada publik. Ia menjadi simbol, bukan lagi manusia yang utuh.
"Pada malam bukak klambu itu, Srintil bukan lagi gadis biasa. Ia adalah kembang desa yang harumnya menguar ke setiap penjuru angin, siap dipetik siapa saja yang mampu membayar mahal." (kutipan yang merujuk pada proses bukak klambu)
Kutipan ini menggambarkan transformasi Srintil dari seorang gadis menjadi sosok kembang desa yang di-objek-kan, siap dikomersialkan. Identitasnya sebagai individu lenyap, digantikan oleh citra yang diciptakan dan dikomodifikasi oleh masyarakat.
Transendensi yang Terhambat: Srintil dan Batasan Kebebasan
Beauvoir berpendapat bahwa manusia memiliki dorongan untuk transendensi, yaitu kemampuan untuk melampaui situasi yang diberikan dan membentuk masa depan mereka sendiri. Namun, bagi perempuan, seringkali transendensi ini terhambat oleh kondisi mereka sebagai Yang Lain" Srintil mencoba untuk transenden dalam beberapa hal, misalnya melalui cintanya kepada Rasus atau keinginannya untuk hidup normal. Namun, ia selalu ditarik kembali oleh peran dan takdirnya sebagai ronggeng.
Ketika peristiwa G30S/PKI terjadi dan Srintil dipenjara dengan tuduhan terlibat, ia mengalami kehancuran identitas yang parah. Ia bukan lagi ronggeng yang diagung-agungkan, tetapi "bekas tapol" (tahanan politik), seorang yang terbuang. Ini adalah bentuk penghancuran eksistensi Yang Lain yang bahkan tidak lagi memiliki fungsi atau nilai dalam konstruksi sosial.
"Aku tak tahu lagi siapa diriku. Ronggeng bukan, manusia biasa pun tak diterima." (ungkapan keputusasaan Srintil setelah dipenjara)
Kutipan ini menunjukkan krisis identitas Srintil yang akut. Ia telah kehilangan fungsi dan citra yang mendefinisikan dirinya sebagai ronggeng, namun ia juga tidak diterima kembali sebagai manusia biasa. Kebebasan dan kemampuannya untuk transenden sepenuhnya terenggut. Ia terjebak dalam limbo eksistensial, tidak menjadi subjek maupun Yang Lain yang berfungsi.
Kesimpulan: Refleksi Eksistensi Perempuan dalam Ronggeng Dukuh Paruk
Melalui kacamata feminisme Simone de Beauvoir, Ronggeng Dukuh Paruk bukan hanya kisah romansa atau tragedi sosial, melainkan sebuah studi kasus yang kuat tentang bagaimana perempuan dikonstruksi sebagai Yang Lain dalam masyarakat patriarkal. Srintil adalah simbol dari perempuan yang terjebak dalam peran dan ekspektasi yang ditentukan oleh laki-laki dan tradisi, di mana tubuh dan identitasnya menjadi objek.
Novel ini menyoroti betapa sulitnya bagi perempuan untuk mencapai transendensi dan otonomi ketika eksistensi mereka didefinisikan oleh yang lain. Kisah Srintil adalah pengingat yang menyakitkan tentang bagaimana sistem patriarki dapat merenggut kebebasan dan kemanusiaan perempuan, bahkan dalam konteks budaya yang sangat menghargai seni dan ritual. Pada akhirnya, Ronggeng Dukuh Paruk mengundang kita untuk merenungkan kembali posisi perempuan dalam masyarakat dan perjuangan abadi mereka untuk menjadi Subjek yang utuh, bukan hanya Yang Lain.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Analisis Novel Robohnya Surau Kami
Senin, 9 Juni 2025 20:55 WIB
Membongkar Konstruksi Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Senin, 9 Juni 2025 20:43 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler