Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Analisis Novel Robohnya Surau Kami

Senin, 9 Juni 2025 20:55 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Robohnya surau kami
Iklan

Kisah Kakek penjaga surau yang taat ibadah, namun terancam neraka karena abaikan hidup duniawi. Kritik tajam A.A. Navis tentang makna iman

Cerpen monumental Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis bukan sekadar kritik terhadap praktik keagamaan yang kering, melainkan sebuah refleksi tajam tentang bagaimana individu beroperasi dalam medan (field) sosial yang kompleks, di mana habitus mereka membentuk pandangan dunia dan tindakan, serta bagaimana modal (capital) yang mereka miliki (atau tidak miliki) menentukan posisi dan nasib. Melalui kacamata sosiologi sastra Pierre Bourdieu, kita dapat membongkar struktur tersembunyi yang membentuk tragedi Kakek dan pesan moral cerpen ini.

1. Habitus: Konstruksi Kakek dan Surau

Habitus adalah sistem disposisi yang diinternalisasi, yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Ia adalah hasil dari pengalaman sosial masa lalu yang mengendap dalam diri individu, membentuk pola perilaku yang cenderung stabil namun dapat beradaptasi. Kakek dalam cerpen ini adalah representasi jelas dari habitus yang terbentuk dari lingkungan tradisional dan pemahaman agama yang cenderung formalistik dan asketis.

Habitus Kakek membuatnya percaya bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang didedikasikan sepenuhnya untuk ibadah ritual di surau. Bagi Kakek, surau adalah pusat dunianya, tempat ia membangun modal simbolik sebagai seorang yang alim dan saleh. Ia bersembahyang lima waktu, mengaji, dan memelihara surau, tanpa memedulikan kebutuhan material atau sosial lainnya.

"Kerjanya hanya memuji Tuhan, memuji Tuhan, memuji Tuhan." (Narator tentang Kakek)

Kutipan ini secara ringkas menggambarkan habitus Kakek. Seluruh orientasi hidupnya terpusat pada aktivitas keagamaan di surau, yang ia yakini akan mengantarkannya ke surga. Habitus ini begitu kuat sehingga ia tidak melihat pentingnya kerja duniawi atau tanggung jawab sosial kepada keluarganya.

2. Medan (Field): Surau, Kampung, dan "Akhirat"

Medan (field) adalah ruang sosial yang terstruktur, di mana individu-individu (agen) berinteraksi dan bersaing untuk mengumpulkan dan mempertahankan berbagai bentuk modal. Dalam "Robohnya Surau Kami," ada beberapa medan yang tumpang tindih dan berinteraksi:

  • Medan Lokal (Dukuh/Kampung): Di sini, Kakek memiliki modal simbolik yang tinggi sebagai seorang pemuka agama. Ia dihormati karena kesalehannya. Namun, medan ini juga memiliki nilai-nilai pragmatis di mana kerja keras dan kontribusi ekonomi (modal ekonomi) juga dihargai. Kakek gagal mengumpulkan modal ekonomi ini, bahkan menjadi beban bagi masyarakatnya.

    "Ia tidak pernah beranjak dari suraunya, tidak mencari nafkah, dan hanya menunggu sedekah dari orang-orang." (Gambaran narator tentang Kakek)

    Kutipan ini menunjukkan bagaimana Kakek tidak berpartisipasi dalam "medan ekonomi" kampung, memilih untuk mengisolasi diri di "medan keagamaan" yang ia kuasai. Akibatnya, modal ekonominya nol.

  • Medan Ilahi/Akhirat: Cerpen ini secara alegoris menciptakan medan "akhirat" di mana ada sistem nilai dan modal yang berbeda. Di sini, Kakek berhadapan dengan Tuhan dan Malaikat yang memiliki kriteria penilaian yang berbeda dari habitus Kakek. Modal spiritual yang Kakek kumpulkan di dunia (salat, mengaji) ternyata tidak cukup karena ia tidak memiliki modal sosial (membantu sesama) atau modal ekonomi (berkontribusi pada kesejahteraan).

    "Engkau lebih suka tinggal di surauku, sedang di kampungmu sendiri tak kau hiraukan. Anak cucumu kelaparan, tak kau beri makan. Itu kewajibanmu!" (Perkataan Tuhan kepada Kakek di akhirat)

    Perkataan Tuhan ini adalah representasi dari penilaian medan ilahi/akhirat. Modal simbolik yang Kakek banggakan di dunianya ternyata tidak relevan di medan yang lebih tinggi ini karena ia mengabaikan bentuk-bentuk modal lain yang juga esensial bagi kehidupan bermasyarakat.

3. Modal: Konflik Bentuk Modal

Bourdieu mengidentifikasi beberapa jenis modal:

  • Modal Ekonomi: Sumber daya material dan finansial. Kakek jelas kekurangan modal ini, bahkan menjadi parasit.
  • Modal Budaya: Pengetahuan, keterampilan, pendidikan, selera. Kakek memiliki modal budaya religius (kemampuan mengaji, hafalan ayat), tetapi ia kurang dalam modal budaya pragmatis untuk bertahan hidup.
  • Modal Sosial: Jaringan hubungan dan koneksi sosial yang dapat dimanfaatkan. Kakek mengisolasi diri, sehingga modal sosialnya terbatas.
  • Modal Simbolik: Bentuk modal lain yang diakui dan dihargai dalam medan tertentu. Kakek memiliki modal simbolik yang tinggi sebagai orang saleh di lingkungan suraunya. Namun, modal ini roboh ketika ia dihadapkan pada standar di medan yang lebih besar.

Tragedi Kakek adalah tragedi konflik antara bentuk-bentuk modal yang berbeda. Ia menginvestasikan seluruh hidupnya untuk mengakumulasi modal simbolik dalam "medan surau" yang sempit, mengabaikan modal ekonomi dan sosial yang diperlukan untuk bertahan hidup di "medan duniawi." Ironisnya, bahkan di "medan akhirat" sekalipun, modal simboliknya tidak dihargai karena tidak disertai dengan kontribusi nyata dalam kehidupan sosial.

Kesimpulan: Robohnya Habitus yang Keliru

"Robohnya Surau Kami" dapat diinterpretasikan sebagai narasi tentang konsekuensi dari habitus yang terlalu kaku dan sempit, yang gagal beradaptasi dengan tuntutan berbagai medan kehidupan. Kakek gagal menyadari bahwa medan kehidupan tidak hanya terbatas pada surau, dan bahwa ada berbagai bentuk modal yang harus diakui dan dikembangkan. Kegagalannya untuk mengelola modalnya secara seimbang, berinvestasi hanya pada satu jenis modal (simbolik religius) dan mengabaikan yang lain (ekonomi dan sosial), akhirnya membawa kehancuran eksistensinya.

Melalui cerpen ini, A.A. Navis mengkritik sebuah habitus sosial yang melihat ibadah ritual sebagai tujuan akhir, tanpa menyertakannya dengan tanggung jawab sosial dan produktivitas. Ini adalah kritik terhadap individu yang gagal beradaptasi dengan dinamika medan sosial yang lebih luas, di mana keseimbangan antara dimensi vertikal (ibadah) dan horizontal (hubungan sosial dan ekonomi) adalah kunci keberlangsungan hidup dan keberhasilan di mata Tuhan dan manusia. Kakek, dengan suraunya yang roboh, menjadi simbol dari habitus yang hancur karena ketidakmampuannya beradaptasi dalam medan kehidupan yang lebih kompleks.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Syaifullah Almahdi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler