Staf Publikasi dan Jurnal Ilmiah \xd Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd

Raja Ampat, Surga yang Terluka

Senin, 9 Juni 2025 21:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Raja Ampat
Iklan

Cerpen ini berkisah tentang kegelisahan dan perjuangan warga untuk menghadapi kebijakan tentang Realitas di Raja Ampat

I

Langit pagi di Raja Ampat begitu jernih, seolah hendak membisikkan janji abadi keindahan yang tak tergoyahkan. Tobias berdiri di atas perahu kayunya, menatap hamparan lautan biru yang ia kenal sejak kecil. Angin membawa aroma asin yang bercampur dengan ketakutan—ketakutan akan masa depan yang semakin suram. Di kejauhan, Ayub, pria tua dengan wajah berkerut dan mata yang tajam, duduk di tepi dermaga dengan pipa kayunya. Ia menatap laut dengan kerinduan yang menyakitkan, seolah ingin berbicara dengan gelombang yang terus bergulung tanpa peduli pada kesedihan manusia. "Kita bukan tuan rumah lagi, Tobias," gumamnya lirih. "Kita hanya tamu di tanah yang seharusnya menjadi milik kita." Tobias hanya diam. Kata-kata itu begitu berat, begitu menyesakkan. Ia tahu Ayub tidak sekadar berbicara tentang tanah, tetapi juga tentang identitas, tentang keberadaan mereka yang perlahan tergerus oleh kepentingan besar yang tidak pernah memahami arti kehidupan di sini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

II

Di rumah panggung yang sederhana, Yakobus membentangkan peta wilayah adat di atas meja kayu yang mulai lapuk. Garis-garis yang dulu melambangkan keabadian tanah leluhur kini seolah menjadi batas yang semakin pudar. Wajahnya tegang, jemari gemetar saat menunjuk wilayah yang terancam oleh pertambangan nikel. "Pemerintah memberi izin pertambangan nikel," katanya dengan suara bergetar, seolah setiap kata yang keluar mengikis harapannya. "Mereka bilang ini demi pembangunan, tapi bagi kita, ini kehancuran." Di sudut ruangan, Yakomina duduk dengan kepala tertunduk, memijit pelipisnya dengan gerakan lambat. Mata yang dulu penuh semangat kini redup oleh kecemasan yang terus mengendap. "Mimpi buruk ini tak berujung, Kak," ucapnya lirih. "Ibu selalu berkata bahwa laut ini adalah darah kita, tetapi sekarang yang mengalir bukan kehidupan, melainkan racun." Tobias berdiri di ambang pintu, menyaksikan keputusasaan yang perlahan merayap ke dalam diri mereka. Ia bisa merasakan ketakutan yang menggumpal di udara, kecemasan yang terus menghantui pikiran mereka. Raja Ampat adalah rumah, adalah kehidupan, adalah sejarah yang tak boleh dilupakan begitu saja. Ia mengepalkan tangan, menatap saudara-saudaranya dengan penuh tekad. "Kita tidak bisa hanya diam," katanya. "Kita harus berbuat sesuatu." Di tengah bayang-bayang ancaman yang semakin nyata, harapan masih berusaha bertahan, dan mereka akan memastikan suara tanah ini tidak akan tenggelam tanpa perlawanan.

III

Di malam yang gelap, ketika deburan ombak menjadi satu-satunya musik alam, Tobias berdiri di pesisir, menatap hamparan laut yang telah menjadi saksi kehidupan leluhurnya. Tapi kini, pasir putih mulai bercampur dengan serpihan besi dan minyak yang mengotori perairan. Yakobus menghampirinya. "Kita harus melakukan sesuatu," ujarnya. "Jika kita menyerah, Raja Ampat akan kehilangan suaranya." Mereka berbicara dengan pemuka adat, menggelar pertemuan dengan masyarakat, berusaha menyalakan api perjuangan. Tobias tahu, tak ada yang mudah. Ancaman datang dari berbagai penjuru—dari perusahaan-perusahaan raksasa, dari keputusan yang dibuat tanpa melihat mereka sebagai manusia yang punya hak untuk mempertahankan tanahnya. Hari-hari berjalan dengan ketegangan. Tobias dan kawan-kawannya mengumpulkan data, menyampaikan protes ke pemerintah daerah, hingga menghadapi ancaman yang datang tanpa suara—mata-mata, tekanan sosial, intimidasi. Namun, Raja Ampat tidak pernah diam. Air lautnya yang dulu hanya menjadi saksi, kini menjadi medan perang. Burung-burung Cendrawasih terbang di atas mereka, seolah membawa pesan dari alam.

IV

Suatu sore, Tobias duduk di tepi pantai, membiarkan ombak membasahi kakinya. Ada luka di hatinya, luka yang begitu dalam. Raja Ampat menangis, dan ia merasa air mata surga itu jatuh ke dalam dirinya. Ayub menghampiri, tangannya gemetar. "Perjuangan ini bukan tentang kita saja, Nak. Ini tentang anak-anak kita, tentang udara yang kita hirup, tentang rumah yang harus tetap menjadi rumah." Tobias tersenyum. Ia tahu bahwa di depan, masih banyak hal yang harus diperjuangkan. Tapi ia tak akan mundur. Ia akan tetap berdiri, menjaga Raja Ampat seperti laut menjaga pantainya—tak kenal lelah, tak kenal menyerah. Surga yang terluka itu masih berdoa. Masih berjuang. Dan Tobias, bersama Yakobus, Yakomina, dan Ayub, adalah suara yang tak akan membiarkan doa itu menghilang.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Florentina Ina Wai

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler