Nasib Perempuan dalam Novel Salah Asuhan

Kamis, 12 Juni 2025 11:22 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Salah Asuhan
Iklan

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya hidup sebagai perempuan di masa kolonial?

Ketika kekuasaan laki-laki dan bangsa penjajah berpadu menciptakan sistem penindasan berlapis? Novel "Salah Asuhan" karya Abdoel Moeis yang terbit pada 1928 memberikan gambaran nyata tentang kondisi tersebut melalui dua tokoh perempuan yang nasibnya sangat berbeda namun sama-sama menderita: Corrie dan Rapiah.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

1. Dua Perempuan, Satu Nasib Tragis

Corrie du Bussee, seorang perempuan Indo keturunan Prancis-pribumi, dan Rapiah, perempuan pribumi asli Minangkabau, mewakili dua sisi mata uang diskriminasi di era kolonial. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, keduanya terjebak dalam sistem yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang paling rentan.

Hanafi, tokoh utama pria dalam novel ini, menjadi representasi kaum terdidik pribumi yang mengalami krisis identitas. Pendidikan Barat yang diterimanya justru membuatnya merendahkan budaya sendiri dan menganggap rendah perempuan pribumi seperti Rapiah.

 

2. Rapiah: Korban Ganda Patriarki dan Kolonialisme

Rapiah, istri Hanafi yang dipaksa menikah melalui perjodohan, mengalami penderitaan berlapis. Ia tidak hanya tertindas sebagai perempuan dalam sistem patriarki, tetapi juga sebagai pribumi dalam struktur kolonial. Hanafi bahkan memandangnya bukan sebagai istri, melainkan "babu yang diberikan kepadanya dengan paksa."

Kutipan dalam novel menggambarkan betapa rendahnya posisi Rapiah:

"Bagaimanakah ibu hendak membanding-bandingkan anak kampung dengan anak Belanda!"

Hanafi memandang istrinya sebagai perempuan yang hanya pantas berada di dapur, tidak berani berinteraksi dengan orang Belanda, dan tidak mengikuti perkembangan zaman.

Kondisi ini mencerminkan hierarki kolonial yang menempatkan perempuan pribumi di posisi paling bawah: dijajah sebagai warga negeri jajahan dan dimarjinalkan sebagai perempuan.

 

3. Corrie: Terjebak di Antara Dua Dunia

Sementara itu, Corrie menghadapi dilema berbeda. Sebagai perempuan Indo, ia berada di posisi yang ambigu dan tidak sepenuhnya diterima sebagai orang Eropa, namun juga tidak sepenuhnya menjadi pribumi. Ketika menjalin hubungan dengan Hanafi, ia bahkan harus menghadapi tuduhan berzina dan dicap sebagai "perempuan jalang" oleh masyarakat.

Tragisnya, Corrie menyadari bahwa pilihannya untuk bersama Hanafi justru membuatnya kehilangan identitas dan tempat di masyarakat. Seperti yang ia katakan:

"Seorang nona Eropa bersuamikan orang Melayu—itu namanya membuang diri."

 

4. Suara yang Terbungkam

Yang paling memprihatinkan adalah kenyataan bahwa baik Corrie maupun Rapiah tidak memiliki ruang untuk menyuarakan penderitaan mereka. Mereka menjadi korban bisu dalam struktur kekuasaan yang didominasi laki-laki dan sistem kolonial. Kondisi ini sejalan dengan konsep "subaltern" yang dikemukakan oleh pemikir postkolonial Gayatri Spivak yaitu kelompok yang tidak memiliki suara dan posisinya dibungkam oleh sistem yang menindas.

 

5. Refleksi untuk Masa Kini

Novel "Salah Asuhan" bukan sekadar karya sastra klasik, tetapi juga cermin sejarah yang mengingatkan kita akan kompleksitas diskriminasi yang dialami perempuan di masa lalu. Abdoel Moeis, melalui karyanya, tidak hanya mengkritik sistem kolonial tetapi juga mempertanyakan nilai-nilai patriarki yang mengakar dalam masyarakat.

Pesan novel ini tetap relevan hingga kini: pendidikan dan kemajuan tidak seharusnya membuat seseorang melupakan akar budayanya, apalagi sampai merendahkan dan menindas sesama. Corrie dan Rapiah mengingatkan kita bahwa diskriminasi tidak hanya terjadi karena perbedaan ras atau kelas, tetapi juga gender dan perempuan seringkali menjadi korban yang paling rentan dalam sistem penindasan berlapis.

Melalui analisis feminisme postkolonial, kita bisa memahami bahwa perjuangan melawan diskriminasi memerlukan kesadaran akan berbagai bentuk penindasan yang saling bersinggungan. Hanya dengan memahami kompleksitas masalah ini, kita bisa membangun masyarakat yang lebih adil dan setara untuk semua.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Annisa Insani

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler