Perjuangan Mengajar Saban hari di Sekolah Jauh dari Kediaman
Minggu, 15 Juni 2025 21:38 WIB
Saya tahu dalam hati istri hanya bisa memikirkan perjalanan 83 kilometer yang harus kutempuh setiap hari. Ini sungguh ujian kesabaran.
***
Jam di dinding menunjukkan pukul 04.30 WIB. Dingin menusuk tulang, tapi saya sudah terbangun dan segera bergegas mandi. Bukan karena mimpi buruk, melainkan panggilan tugas yang tak pernah ingkar janji. Di sudut ruangan, istri hanya menyiapkan teh hangat dan setiap hari tak pernah meraskana nikmatnya sarapan pagi, Matanya yang sayu selalu menyimpan kekhawatiran yang tak terucap.
"Bismilllah keluar dari pintu rumah untuk memeluai berangkat pagi," itu hanya kata yang bisa ku bisakan kepada sang pencipta agar diberi kemudah dan kelancaran dalam perjalanan. Saya tahu dalam hati, Istri hanya bisa memikirkan perjalanan 83 kilometer yang harus saya tempuh setiap hari, membelah kabut pagi dan jalanan desa dengan sentuhan aspal tua yang sudah rusak.
Motor butut itu menderu, memecah kesunyian subuh. Dalam gelap, saya melaju melewati hutan jati yang masih diselimuti embun, yang berjajar rapi, dan rumah-rumah penduduk yang masih terlelap. Setiap lubang di jalan, setiap tikungan tajam, adalah saksi bisu perjuangan saya. Pernah suatu ketika, ban motor saya bocor di tengah hutan saat hujan deras. Sendirian, tanpa sinyal ponsel, saya hanya bisa menangis dalam diam, bertanya pada diri sendiri, "Sampai kapan begini?"
Namun, bayangan wajah-wajah mungil itu selalu hadir. Demi sibuah hati kembar saya dan masa depannya yang masih kecil-kecil
Sore harinya, saat matahari mulai condong ke barat, saya kembali mengarungi jalanan yang sama. Sepanjang jalan, saya membayangkan senyum putra kemabar kami yang sudah menunggu dirumah, dan tatapan penuh harap. 83 kilometer itu terasa seperti jembatan yang menghubungkan dunia mereka dengan harapan. Tubuh saya mungkin lelah, mata saya mungkin perih, tapi jiwa saya akan mengeluh kepada siapa?
Setibanya di rumah, putra kembar saya membukakan pintu dan membawakan tas, memijat bahu saya yang kaku. "Pasti capek sekali, ya yah," katanya dengan suara bergetar. Saya hanya tersenyum, mencoba menahan air mata. Bagaimana bisa saya mengeluh, jika senyum anak-anak itu adalah cahaya yang menerangi setiap langkah saya?
Ini adalah kisah saya. Kisah saya menjadi seorang guru SMK yang setiap hari menempuh 83 kilometer, bukan untuk mencari kekayaan, melainkan untuk merajut mimpi anak-anak bangsa yang jauh di sana. Sebuah perjuangan yang mungkin tak terlihat oleh dunia, tapi terukir abadi di hati setiap murid yang saya sentuh. Selama senyum mereka menunggu, 83 kilometer ini akan selalu saya tempuh, dengan segenap jiwa dan raga. Kapan saya bisa pindah dekat dengan rumah, pertanyaan sampai saat ini belum bisa terjawab dan belum terwujud sampai saat ini sudah 10 tahun?

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Perjuangan Mengajar Saban hari di Sekolah Jauh dari Kediaman
Minggu, 15 Juni 2025 21:38 WIB
Dari SMK untuk Semua
Rabu, 11 Juni 2025 21:29 WIBArtikel Terpopuler