Praktisi ISO Management System and Compliance. Blog tentang ISO 9001, SIO 14001, ISO 45001 dan ISO 45001 pada https://www.effiqiso.com/. Menulis Buku :Best Practice for Maintaining ISO 50001 Certification, \xd\xd ISO 9001:2015 A Practical Storytelling Guide for Newcomers, \xd\xd Maintaining Mental Health in the Digital Era.

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Catatan Hijau untuk Sampah dan Perubahan Iklim

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Sampah plastik
Iklan

Satu tahun Prabowo-Gibran berjalan. Apa capaian nyata di bidang lingkungan? Simak analisis kebijakan sampah, energi, dan iklim.

Oleh Bambang RIYADI


Di sebuah tempat pembuangan akhir (TPA) di pinggiran Bekasi, asap tebal mengepul dari tumpukan sampah yang terus membakar secara alami. Bau menyengat menusuk hidung, burung-burung pemangsa beterbangan di atas timbunan plastik setinggi gedung dua lantai. Di sekitarnya, warga setempat masih mencari barang rongsokan — tanpa pelindung, tanpa jaminan kesehatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

TPA ini, seperti ratusan lainnya di Indonesia, adalah wajah nyata dari krisis pengelolaan sampah yang belum terselesaikan, meski sudah satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjalan.

Dalam pidato-pidato awal, Prabowo menjanjikan komitmen kuat terhadap lingkungan: “Kita harus selamatkan bumi.” Namun, di lapangan, pertanyaannya tetap menggantung: Apakah janji hijau itu telah menjadi kebijakan nyata? Atau masih terjebak dalam retorika?

 

Target Ambisius, Realitas yang Menantang

Pada awal masa jabatannya, pemerintahan Prabowo-Gibran memperkuat komitmen nasional terhadap penurunan emisi GRK dan pengurangan sampah laut. Beberapa target diperbarui:

  • Penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 32% dengan upaya sendiri dan 43% dengan bantuan internasional pada 2030.
  • Pengurangan sampah plastik laut sebesar 70% pada 2025.
  • Transisi energi menuju EBT (Energi Baru Terbarukan) minimal 23% pada 2029.

Tapi satu tahun kemudian, catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan progres yang masih setengah hati.

“Ada gerakan, tapi belum sistemik,” kata Dr. Lina Nurmalia, peneliti iklim dari WALHI. “Kita melihat banyak deklarasi, sedikit aksi.”

 

Sampah: Dari ‘Gerakan Nasional’ hingga TPA yang Meluap

Salah satu program andalan pemerintah adalah Gerakan Nasional Pengurangan Sampah Plastik (GNPSP), yang digencarkan sejak era sebelumnya dan dilanjutkan dengan semangat baru.

Beberapa langkah positif terlihat:

  • Larangan kantong plastik berbayar di pasar tradisional diperluas ke 25 kota besar.
  • Program zero waste mulai diujicobakan di sekolah dan kantor pemerintahan.
  • Kota seperti Banjarmasin dan Yogyakarta melaporkan penurunan volume sampah plastik hingga 30%.

Namun, tantangan struktural masih menghambat:

  • Hanya 12% dari 673 TPA di Indonesia yang berstandar sanitasi. Sisanya masih open dumping.
  • Kapasitas daur ulang hanya menjangkau 15% dari total sampah.
  • Sistem pemilahan di tingkat rumah tangga masih sangat rendah, karena minimnya edukasi dan insentif.

“Di sini, sampah dibuang begitu saja. Kalau tidak dibakar, banjir datang,” kata Pak Joko, warga sekitar TPA Cileungsi.

Padahal, UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah mengamanatkan bahwa pengelolaan sampah dimulai dari sumber. Tapi implementasinya mandek karena kurangnya anggaran, SDM, dan koordinasi antarlembaga.


Perubahan Iklim: Janji Transisi Energi vs Ketergantungan Batubara

Pemerintahan Prabowo juga mewarisi agenda besar: Just Energy Transition Partnership (JETP), komitmen global senilai $20 miliar untuk membantu Indonesia meninggalkan batubara secara bertahap.

Targetnya ambisius: menghentikan pembangunan PLTU batubara baru dan mempercepat kapasitas energi surya, angin, dan geotermal.

Tapi data KLHK 2025 menunjukkan kontradiksi:

  • Pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) baru naik 8%, jauh di bawah target 15% per tahun.
  • Proyek geotermal tersendat karena regulasi tumpang-tindih dan izin yang lambat.
  • Beberapa PLTU batubara tetap beroperasi melebihi usia pakai, dengan alasan "keandalan pasokan listrik".

Ironisnya, ekspor batubara masih menjadi andalan devisa negara. Tahun ini, nilai ekspor batubara diproyeksikan mencapai $28 miliar, lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

“Ada tarik-menarik antara kepentingan fiskal dan komitmen iklim,” ujar Arya Dwi Reza, analis energi dari IESR. “Pemerintah ingin transisi, tapi takut kehilangan pendapatan besar dari sektor konvensional.”

 

Hutan dan Restorasi: Langkah Maju, Tapi Masih Rapuh

Di bidang kehutanan, ada catatan positif:

  • Deforestasi turun 18% dibanding tahun lalu, menurut pantauan KLHK menggunakan satelit LAPAN.
  • Restorasi lahan gambut dan mangrove berjalan di 12 provinsi, termasuk Riau, Papua, dan Kalimantan Tengah.
  • Program penanaman 1 miliar pohon diluncurkan secara simbolis oleh Presiden Prabowo di Bogor.

Namun, ancaman masih mengintai:

  • Alih fungsi lahan ilegal masih marak, terutama untuk perkebunan sawit dan tambang.
  • Konflik agraria antara masyarakat adat dan korporasi belum terselesaikan.
  • Anggaran restorasi lingkungan hanya 0,7% dari total APBN, jauh di bawah kebutuhan riil.

“Kami sudah ajukan izin pengelolaan hutan adat selama lima tahun, belum keluar juga,” keluh kepala desa di pedalaman Sumatera.

 

Solusi yang Harus Dipercepat

Untuk menjadikan janji hijau sebagai realitas, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu mengambil langkah strategis:

  1. Percepat Penutupan TPA Open Dumping
    Alihkan ke model sanitary landfill atau waste to energy, didukung dana pemulihan ekonomi hijau.

  2. Berlakukan Ekstensi Produsen (EPR) Secara Ketat
    Wajibkan produsen plastik dan kemasan bertanggung jawab atas daur ulang produk mereka.

  3. Percepat Proyek Energi Terbarukan Skala Besar
    Perpendek proses izin, libatkan swasta dan komunitas, dan pastikan transparansi alokasi dana JETP.

  4. Integrasikan Isu Iklim ke Sektor Lain
    Libatkan Kemenhub, KemenPUPR, dan Kemendagri dalam kebijakan transportasi rendah karbon, tata ruang ramah iklim, dan adaptasi daerah pesisir.

  5. Libatkan Masyarakat secara Nyata
    Bukan hanya kampanye, tapi beri insentif langsung: bayar untuk sampah terpilah, subsidi panel surya rumah tangga, dukungan bagi petani agroforestri.

 

Penutup: Satu Tahun Bukan Waktu yang Lama, Tapi Sudah Saatnya Ada Arah

Satu tahun pemerintahan bukan waktu yang cukup untuk mengubah arah kapal besar bernama Indonesia. Tapi ini adalah waktu yang tepat untuk menetapkan kompas yang jelas.

Saat ini, kebijakan lingkungan masih terasa seperti pecahan-pecahan yang belum menyatu: ada gerakan pengurangan sampah di kota, tapi TPA tetap meluap; ada deklarasi transisi energi, tapi batubara masih jadi primadona; ada penanaman pohon, tapi hutan adat masih direbut.

Negara kita sedang diuji oleh perubahan iklim: banjir lebih sering, suhu lebih panas, musim kemarau lebih panjang. Masyarakat butuh lebih dari janji. Mereka butuh aksi nyata, terukur, dan inklusif.

Karena lingkungan bukan soal estetika. Ia soal kelangsungan hidup.

Dan ketika anak-anak di Jakarta belajar daring dalam ruangan yang panas karena AC mati karena listrik tak stabil, atau nelayan di Flores melaut lebih jauh karena terumbu karang rusak, maka krisis iklim bukan lagi isu jauh di utara.

Ia sudah di depan mata.

Satu tahun telah berlalu. Saatnya pemerintahan Prabowo-Gibran tidak hanya berbicara hijau, tapi benar-benar menjadi hijau.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler