Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dirty Vote II o3, Kritik Politik dan Tarik Ulur Kohesi Sosial

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Sutradara film dokumenter Dirty Vote Dandhy Dwi Laksono. Dok. Pribadi
Iklan

Dirty Vote II o3 sebagai film dokumenter melukiskan manipulasi kekuasaan, krisis demokrasi, dan dampaknya terhadap kohesi sosial Indonesia.

Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge_Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende

Film dokumenter Dirty Vote II o3 merupakan sebuah karya ‘kritik politik’. Ia menggugah kesadaran publik tentang ancaman serius terhadap integritas demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2024. Disampaikan secara lugas dan sistematis oleh tiga pakar hukum tata negara yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari, film ini membongkar berbagai bentuk penyimpangan konstitusional dan etika yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, termasuk Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Salah satu sorotan utama dalam film ini adalah putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden. Narasi film menunjukkan bagaimana perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden dilakukan secara ‘tiba-tiba dan tidak transparan’, serta melibatkan konflik kepentingan yang mencederai prinsip keadilan dan netralitas lembaga peradilan. Film ini juga menyoroti keterlibatan Presiden dalam proses elektoral, termasuk dugaan intervensi terhadap aparat negara dan penggunaan bantuan sosial sebagai alat kampanye terselubung.

Dirty Vote II o3 mengungkap lemahnya pengawasan oleh KPU dan Bawaslu terhadap pelanggaran pemilu, serta bagaimana praktik-praktik manipulatif seperti mobilisasi ASN, politisasi bansos, dan penyalahgunaan fasilitas negara menjadi bagian dari strategi pemenangan yang ‘tidak sehat’. Dengan gaya penyampaian yang berbasis data hukum dan analisis konstitusional, film ini juga menjadi ‘seruan moral’ bagi masyarakat untuk bersikap kritis dan aktif menjaga demokrasi.

Melalui dokumentasi visual yang kuat dan narasi yang tajam, film ini mengajak penonton untuk tidak tinggal diam terhadap penyimpangan yang terjadi. Ia menegaskan bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem nilai yang harus dijaga bersama. "Dirty Vote II o3" menjadi pengingat bahwa suara rakyat harus dilindungi dari segala bentuk manipulasi, dan bahwa pemilu yang bersih adalah fondasi bagi masa depan bangsa yang adil dan bermartabat.

Bagi saya, Dirty Vote II o3 merupakan potret tajam tentang bagaimana struktur sosial dan budaya politik Indonesia membentuk ‘praktik kekuasaan’ dalam pemilu. Dari sudut pandang sosiologi, film ini mengungkap pelanggaran hukum, serentak juga memperlihatkan bagaimana relasi sosial, ketimpangan akses, dan normalisasi penyimpangan menjadi bagian dari sistem demokrasi yang rapuh. Ketika Mahkamah Konstitusi, KPU, dan Bawaslu gagal menjalankan fungsi normatifnya, maka yang terjadi adalah krisis hukum di satu sisi dan di sisi lain lahir pula ‘krisis legitimasi sosial’. Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara, dan ini menciptakan ‘kondisi anomie’ yakni kekosongan norma yang berbahaya bagi stabilitas demokrasi.

Film ini menunjukkan pula bagaimana kekuasaan direproduksi melalui praktik patrimonialisme dan clientelisme, di mana bantuan sosial dan mobilisasi aparat negara digunakan sebagai alat politik. Dalam konteks ini, warga miskin bukanlah subjek demokrasi, melainkan objek manipulasi. Ketimpangan modal sosial dan politik menjadi nyata, sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Bourdieu, di mana elite memiliki akses terhadap institusi dan wacana, sementara rakyat hanya menjadi penerima kebijakan tanpa daya tawar. Budaya politik yang permisif terhadap pelanggaran etika dan hukum memperkuat struktur dominasi ini, menciptakan kondisi di mana deviasi tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan, tetapi sebagai bagian dari permainan politik yang lumrah.

Namun, film ini juga membuka ruang bagi ‘resistensi simbolik dan kesadaran kritis’. Dengan menyajikan narasi hukum yang dapat diakses publik, ia berfungsi sebagai counter-narrative terhadap dominasi wacana resmi. Dalam perspektif sosiologi kritis, ini adalah bentuk pendidikan politik yang membangkitkan ‘agency masyarakat sipil’. Film ini menjadi alat refleksi sosial yang mengajak warga untuk tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga menjadi penjaga nilai dan pelaku perubahan. Demokrasi, dalam pengertian sosiologisnya, bukan hanya soal prosedur elektoral, tetapi tentang pembentukan relasi sosial yang adil, inklusif, dan bermartabat.

Namun, Dirty Vote II o3 berpotensi memberikan dampak ambivalen terhadap kohesi sosial masyarakat. Di satu sisi, ia dapat memperkuat solidaritas horizontal antarwarga yang memiliki kesadaran kritis terhadap praktik manipulatif dalam pemilu. Ketika masyarakat menyaksikan bersama-sama bagaimana lembaga negara diduga menyalahgunakan kekuasaan, muncul rasa senasib dan keinginan kolektif untuk memperjuangkan demokrasi yang lebih adil. Dalam konteks ini, film menjadi pemicu kesadaran kolektif dan memperkuat ikatan sosial berbasis nilai keadilan dan transparansi. Kohesi sosial tumbuh melalui diskusi, refleksi, dan partisipasi aktif dalam ruang publik yang rasional.

Di sisi lain, film ini juga dapat memicu fragmentasi sosial, terutama jika diterima secara berbeda oleh kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki afiliasi politik atau kepentingan yang bertentangan. Ketika narasi film dianggap menyerang figur atau institusi tertentu, maka respons yang muncul bisa berupa polarisasi, saling curiga, dan bahkan konflik identitas. Kohesi sosial yang semula stabil bisa terganggu oleh ketegangan antara kelompok yang mendukung narasi film dan kelompok yang menolaknya. Dalam masyarakat yang belum terbiasa dengan budaya kritik dan diskursus terbuka, film semacam ini bisa menjadi pemicu disintegrasi simbolik.

Dampak terhadap kohesi sosial juga bergantung pada bagaimana film ini dimediasi oleh tokoh masyarakat, media, dan institusi pendidikan. Jika film dijadikan bahan edukasi politik yang inklusif dan dialogis, maka ia dapat memperkuat kohesi sosial melalui peningkatan literasi demokrasi. Sebaliknya, jika film dimanfaatkan untuk propaganda atau pembingkaian yang eksklusif, maka ia berisiko memperdalam jurang sosial dan memperlemah kepercayaan antarwarga.

Sampai di titik ini dapatlah dikatakan Dirty Vote II o3 merupakan sebuah ‘lukisan sosial keindonesiaan’. Ia bisa hadir sebagai ‘alat pemersatu atau pemecah’. Itu tergantung pada bagaimana masyarakat memaknainya. Film ini membuka ruang bagi keduanya, konflik dan solidaritas, dan menantang kita untuk memilih jalan yang memperkuat demokrasi sebagai ruang hidup bersama.***

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler