Praktisi ISO Management System and Compliance. Blog tentang ISO 9001, SIO 14001, ISO 45001 dan ISO 45001 pada https://www.effiqiso.com/. Menulis Buku :Best Practice for Maintaining ISO 50001 Certification, \xd\xd ISO 9001:2015 A Practical Storytelling Guide for Newcomers, \xd\xd Maintaining Mental Health in the Digital Era.

Satu Tahun Prabowo-Gibran: Petani Diuntungkan, Mengapa Harga Beras Masih Mahal?

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Mentan Janji Penuhi Stok Beras Desember 2022 Untuk Bulog
Iklan

Produksi beras melimpah, petani diuntungkan, tapi harga di pasar tetap tinggi. Simak analisis kenapa rakyat kecil masih kesulitan beli beras.

Oleh Bambang RIYADI


Di sebuah warung nasi kecil di Pasar Minggu, Ibu Rini menimbang dua bungkus beras dengan wajah ragu. Satu berlabel SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan), harganya Rp14.500/kg. Yang lain, beras medium biasa, Rp18.000/kg. “Saya dulu beli beras Rp12 ribu, sekarang yang murah aja lebih mahal dari harga dulu,” keluhnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia bukan satu-satunya. Setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjalan, harga beras di tingkat konsumen masih bertengger di level tinggi, meski produksi nasional melimpah dan stok aman.

Paradoks ini menyisakan pertanyaan besar: Jika panen surplus, mengapa rakyat kecil tetap merasa ‘lapar’ oleh harga?


Dari Sawah ke Pasar: Mengapa Harga Beras Tak Kunjung Turun?

Fakta di lapangan jelas: Indonesia kembali mencatat produksi beras surplus pada musim panen 2025. BPS mencatat, produksi beras nasional mencapai 31,4 juta ton — cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan dengan cadangan strategis.

Tapi di pasar, harga tidak mencerminkan keseimbangan pasokan. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, rata-rata harga beras medium di Jakarta dan sekitarnya berkisar antara Rp16.000–Rp19.000 per kg, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Menurut Eliza Mardian, pengamat pertanian dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, kenaikan harga ini bukan semata karena kelangkaan, tapi akumulasi dari struktur biaya yang membengkak sejak di hulu.

“Harga beras naik karena ada penyesuaian harga gabah kering panen (GKP) menjadi Rp6.500 per kg. Ini kebijakan berpihak kepada petani — dan itu penting.”

Namun, ia menambahkan, konsekuensinya harus dihadapi: konsumen akhir membayar lebih mahal.

“Selama dua dekade, hidup petani pangan selalu marginal. Sekarang ada keberpihakan agar minat menanam meningkat. Tapi tanpa reformasi sistemik, beban itu akan langsung ditransfer ke masyarakat menengah bawah,” ujarnya.

 

Struktur Biaya yang Rapuh: 2,5 Kali Lebih Mahal dari Vietnam

Salah satu akar masalah terletak pada efisiensi produksi. Menurut Core, biaya produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dibanding Vietnam.

Apa penyebabnya?

  1. Biaya Tenaga Kerja yang Tinggi
    Kontribusi tenaga kerja terhadap total biaya produksi mencapai lebih dari 50%. Ini disebabkan minimnya mekanisasi, terutama di kalangan petani skala kecil. Traktor dan alat panen modern jarang tersedia untuk lahan sempit.

    Belum lagi kelangkaan buruh tani. “Petani susah cari pekerja, sehingga upah harian terus naik. Itu otomatis menaikkan cost structure,” jelas Eliza.

  2. Sewa Lahan yang Tak Terkendali
    Biaya sewa lahan juga membengkak tanpa regulasi. Tidak adanya reforma agraria yang komprehensif membuat harga sewa naik setiap tahun, seringkali jauh di atas inflasi.

  3. Rantai Distribusi yang Panjang dan Rentan Spekulasi
    Dari sawah ke konsumen, beras melewati banyak tangan: tengkulak, penggilingan swasta, distributor, pedagang besar, hingga pengecer. Di tiap titik, harga dimark-up.

“Petani sering hanya dapat 30–40% dari harga jual akhir. Sisanya habis di tengah,” kata seorang petani di Karawang.

 

Program SPHP: Solusi yang Tertahan di Gudang

Pemerintah sebenarnya telah mengambil langkah: program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Melalui Bulog, pemerintah menyerap 12,5% dari total produksi beras untuk dijual murah ke masyarakat.

Tapi implementasinya bermasalah.

  • Kemasan tidak ramah masyarakat miskin: Beras SPHP umumnya dikemas 5 kg, padahal banyak keluarga miskin butuh pembelian eceran harian atau 1 kg.
  • Distribusi lambat: Stok menumpuk di gudang, tidak cepat sampai ke pasar tradisional.
  • Lokasi penjualan terbatas: Hanya tersedia di pasar murah atau kios resmi, yang sulit dijangkau warga pinggiran.

Akibatnya, masyarakat tetap bergantung pada beras komersial yang harganya dipengaruhi spekulasi dan markup rantai pasok.

“Seharusnya kemasan 1 kg, bisa diwarung-warung kecil, bahkan di sekolah atau posyandu. Kalau tidak, program ini hanya simbolik,” tegas Eliza.


Dilema Keadilan: Antara Petani dan Konsumen

Pemerintahan Prabowo-Gibran tampaknya sengaja memilih kebijakan pro-petani. Kenaikan harga dasar gabah adalah bentuk pengakuan bahwa selama ini, petani yang bekerja keras justru mendapat nilai terendah dalam rantai pangan.

Tapi di sisi lain, daya beli masyarakat menengah-bawah semakin tertekan. Untuk mereka, beras bukan barang mewah — ia adalah oksigen. Kenaikan Rp2.000 saja sudah bisa mengubah pola makan, mengurangi protein, bahkan memicu kemiskinan baru.

“Konsumen kelas atas tidak masalah dengan kenaikan harga. Yang perlu kita jaga adalah masyarakat menengah bawah,” kata Eliza.

Ini bukan soal memilih antara petani atau rakyat. Ini soal menciptakan sistem yang adil bagi keduanya.

 

Solusi yang Butuh Keberanian Politik

Untuk keluar dari jerat ini, dibutuhkan lebih dari operasi pasar. Diperlukan reformasi struktural pertanian:

  1. Dorong Mekanisasi Skala Kecil
    Subsidi alat pertanian yang sesuai dengan karakteristik lahan petani mikro. Koperasi atau gapoktan bisa jadi pusat persewaan traktor mini dan mesin panen.

  2. Bangun Penggilingan Padi Lokal (Rice Milling Unit)
    Agar petani bisa mengolah sendiri gabahnya jadi beras, lalu menjual langsung ke konsumen. Keuntungan maksimal di petani, harga lebih terkendali di pasar.

  3. Perbaiki Irigasi & Kurangi Ketergantungan Pompa
    Banyak petani menghabiskan biaya besar untuk pompa listrik/diesel. Perbaikan saluran irigasi bisa turunkan biaya produksi secara signifikan.

  4. Reformasi Rantai Distribusi
    Potong peran middleman dengan platform digital yang menghubungkan petani langsung ke pasar atau UMKM.

  5. Ubah Pola Distribusi SPHP
    Gunakan kemasan eceran (1 kg), distribusi lewat warung kelontong, dan integrasikan dengan program sembako non-tunai.

  6. Investasi pada Riset & Inovasi
    Kembangkan varietas unggul yang tahan hama, produktivitas tinggi, dan cocok dengan perubahan iklim.

 

Penutup: Swasembada Harus Berkelanjutan, Bukan Sekadar Angka

Indonesia memang masih swasembada beras — 90% kebutuhan dipenuhi dari dalam negeri. Tapi swasembada yang tidak berdampak pada kesejahteraan petani dan keterjangkauan bagi rakyat, hanyalah prestasi kosmetik.

Kita butuh sistem pangan yang berkeadilan, efisien, dan tangguh.

Karena ketika seorang ibu harus memilih antara membeli beras atau obat untuk anaknya, maka negara telah gagal melindungi hak dasar warganya.

Satu tahun pemerintahan baru telah berlalu. Saatnya kebijakan pangan tidak hanya berpihak, tapi juga menyentuh nyawa rakyat di ujung meja makan.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler