Demokrasi Modern untuk Rakyat atau Elit Politik?

Kamis, 19 Juni 2025 20:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Politisi
Iklan

Setelah terpilih banyak wakil rakyat bekerja dalam logika politik transaksional. Kepentingan konstituen diabaikan!

***

Demokrasi saat ini sering didefinisikan sebagai sistem politik terbesar yang mengusung prinsip "wakil rakyat". Melalui pemilu dan multilateralisasi partai, rakyat diberi saluran untuk memilih. Namun, apakah suara rakyat benar-benar diwakilkan dalam kebijakan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Indonesia, kendati proses pemilihan berjalan secara prosedural, secara substansial representasi rakyat acapkali pupus oleh logika oligarki, modal politik, dan dominasi partai. Untuk menelisik ini lebih dalam, kerangka demokrasi deliberatif ala Jürgen Habermas sangat relevan. Demokrasi tak hanya soal siapa memegang kursi, tapi bagaimana rakyat bisa berpartisipasi secara rasional, setara, dan bebas dominasi dalam membentuk kebijakan.

Demokrasi Modern di Indonesia: Representasi atau Reproduksi Kuasa?

Secara formal, demokrasi Indonesia tampak berkembang. Kita memiliki pemilu langsung, banyak partai, desentralisasi, dan media yang relatif bebas. Namun di balik prosedur ini, substansi demokrasi justru menghadapi tantangan yang makin serius. Pemilu lebih sering menjadi kontestasi elite, sementara partai politik kerap gagal menjadi perantara yang efektif antara rakyat dan kekuasaan. Proses pencalonan di internal partai tidak transparan, sering kali berbiaya mahal, dan lebih ditentukan oleh kedekatan dengan elite atau kekuatan modal ketimbang keberpihakan pada masyarakat.

Setelah terpilih, banyak wakil rakyat justru bekerja dalam logika politik transaksional. Kepentingan konstituen kerap dikalahkan oleh tekanan donor, fraksi, atau kepentingan jangka pendek partai. Akibatnya, terjadi jurang antara legalitas representasi yang didapat lewat pemilu dan legitimasi substantif yang lahir dari keterwakilan aspirasi rakyat. Banyak kebijakan disusun di balik meja, tanpa proses konsultasi publik yang terbuka dan bermakna. Situasi ini menempatkan rakyat sebagai objek pasif dalam sistem demokrasi, bukan sebagai subjek aktif yang terlibat dalam perumusan arah negara.

Media yang seharusnya menjadi ruang publik inklusif juga banyak dipengaruhi kepentingan komersial dan politik identitas. Debat publik sering terseret ke dalam polarisasi yang dangkal, hoaks yang menyebar luas, dan narasi-narasi mainstream yang tidak memberi ruang bagi keberagaman suara. Kondisi ini menyebabkan diskursus publik kehilangan kualitas deliberatifnya.

Dalam kerangka teori Habermas, ruang publik yang sehat seharusnya memungkinkan warga negara untuk berdiskusi secara rasional, setara, dan bebas dari dominasi, baik ekonomi, politik, maupun budaya. Namun kenyataannya, ruang seperti ini justru semakin menyempit. Dominasi elite dalam politik, rendahnya literasi politik, serta minimnya kanal dialog publik yang bermutu menjadikan suara rakyat tidak benar-benar terdengar dalam proses kebijakan.

Krisis Legitimasi dan Harapan Deliberatif

Kasus pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi contoh nyata bagaimana proses legislasi kerap jauh dari prinsip keterlibatan rakyat. Alih-alih dibahas secara terbuka dan partisipatif, UU ini disusun dalam waktu yang singkat dan minim transparansi. Aspirasi masyarakat sipil, serikat buruh, dan kelompok akademisi yang menolak pengesahan sering kali diabaikan. Demonstrasi besar yang berlangsung di berbagai daerah justru direspons dengan pendekatan keamanan alih-alih dialog substantif. Padahal, dalam kerangka deliberatif, kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak seharusnya dibentuk melalui diskursus publik yang melibatkan semua pihak secara setara.

Di tingkat lokal, praktik serupa juga kerap ditemukan. Banyak DPRD tidak menjalankan fungsi serap aspirasi secara optimal. Forum dengar pendapat publik jarang diadakan secara terbuka, dan kebijakan daerah sering lahir dari pertemuan tertutup antara kepala daerah dan elite partai. Hal ini makin memperlebar jarak antara rakyat dengan lembaga perwakilan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap parlemen terus menurun. Masyarakat mulai melihat lembaga perwakilan bukan sebagai jembatan aspirasi, melainkan bagian dari lingkaran kekuasaan yang eksklusif.

Jürgen Habermas dalam gagasannya tentang demokrasi deliberatif menekankan bahwa legitimasi politik harus lahir dari komunikasi yang rasional dan inklusif. Demokrasi tidak cukup hanya beroperasi dalam kerangka prosedural seperti pemilu dan partai, tetapi harus memberi ruang pada partisipasi publik yang bermakna. Dalam konteks Indonesia, adanya pembukaan ruang-ruang diskusi baru, baik melalui forum komunitas, kanal digital, maupun inisiatif warga yang mampu memproduksi wacana alternatif secara otonom. Partisipasi tidak boleh berhenti pada kotak suara. Ia harus hidup dalam keseharian warga, di musyawarah desa, ruang kelas, media sosial, dan forum kebijakan.

Untuk memperkuat demokrasi yang deliberatif, negara perlu mendorong reformasi kelembagaan yang menjamin transparansi dan keterlibatan publik dalam setiap proses kebijakan. Partai politik harus dibuka agar lebih inklusif dan akuntabel. Pendidikan politik warga perlu diperluas, agar warga bisa mengakses dan memahami proses legislasi secara kritis. Sementara media, sebagai aktor penting dalam ruang publik, perlu dikembalikan pada fungsinya sebagai arena artikulasi kepentingan rakyat, bukan sekadar alat propaganda elite atau mesin bisnis.

Demokrasi Sebagai Proses Dialogis

Demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang terus bergerak. Ia menuntut keterlibatan, kesetaraan, dan keterbukaan. Demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi juga soal mendengar dan didengar. Dalam semangat Habermas, demokrasi akan sehat jika semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembentukan kehendak kolektif. Namun jika ruang diskusi dibungkam, suara rakyat diabaikan, dan keputusan publik ditentukan oleh segelintir elite, maka demokrasi hanya tinggal simbol tanpa substansi.

Sudah saatnya kita bertanya ulang, apakah sistem representasi kita benar-benar mencerminkan suara rakyat, atau hanya menggugurkan kewajiban prosedural? Demokrasi sejati adalah demokrasi yang hidup dalam percakapan publik yang jujur dan setara. Hanya ketika rakyat tidak lagi dianggap sebagai beban, melainkan mitra berpikir, maka cita-cita demokrasi bisa benar-benar dirasakan. Demokrasi bukan sekadar memilih siapa yang memerintah, tapi menciptakan ruang di mana semua orang bisa turut membentuk masa depan bersama.

Referensi

  • Dahl, R. A. (1989). Democracy and Its Critics. Yale University Press.
  • Dryzek, J. S. (2000). Deliberative Democracy and Beyond: Liberals, Critics, Contestations. Oxford University Press.
  • Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. MIT Press.
  • Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). (2021). Evaluasi Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi UU Cipta Kerja.
  • Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). (2022). Peta Pola Hubungan Kepala Daerah dan Elite Politik Lokal.
  • Kuskridho Ambardi, dkk. (2021). Biaya Politik Pemilu dan Kecenderungan Oligarki di Indonesia. LIPI Press.
  • Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). (2022). Survei Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Politik.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fahrizal Afriansyah

Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler