Mahasiswa STAI Al Anwar Sarang Rembang

Tragedi Dua TKI di Kamboja, Demokrasi pun Abai pada Hak Rakyat di Negeri Orang

Jumat, 27 Juni 2025 10:19 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
jenazah
Iklan

Tragedi TKI di Kamboja ungkap lemahnya perlindungan negara bagi pahlawan devisa Indonesia.

Kabar duka datang dari Kamboja. Dua tenaga kerja Indonesia (TKI), Rizal Sampurna dan Iwan Sahab, meninggal dunia di negeri itu. Lagi-lagi, nyawa TKI melayang di luar negeri. Tragis dan ironis sebab peristiwa semacam ini terus berulang.

Sudah puluhan tahun Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di Asia Tenggara. Kontribusi mereka bagi perekonomian nasional tidak bisa diremehkan. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa remitansi TKI setiap tahunnya menyumbang triliunan rupiah bagi devisa negara. Namun, di balik angka-angka itu, perlindungan terhadap TKI masih jauh dari sempurna. Banyak yang berangkat tanpa informasi memadai, terjebak dalam skema perekrutan gelap, lalu menghadapi kondisi kerja yang buruk di negara tujuan.

Padahal, hak-hak dasar mereka dilindungi konstitusi. Hak hidup, hak atas perlindungan hukum, serta hak atas pekerjaan yang layak dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28A dan 28I. Tapi kenyataannya, hak-hak tersebut sering tidak terwujud, terutama bagi TKI yang bekerja di negara-negara dengan sistem perlindungan buruh yang lemah.

Didalam buku Hak Asasi Manusia dalam Demokrasi karya Dr.Ramlani Lina Sinaulan, SH. MH. mengingatkan, negara demokratis bukan hanya tentang pemilu. Negara yang benar-benar demokratis harus hadir melindungi seluruh rakyatnya, terutama yang paling rentan — termasuk para TKI.

Tragedi Rizal dan Iwan menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya mampu hadir melindungi. Apakah mereka sudah mendapatkan perlindungan hukum yang layak dari perwakilan diplomatik kita? Apakah proses perekrutan dan penempatan mereka dilakukan sesuai standar HAM? Ini pertanyaan yang wajib dijawab.

Sayangnya, kasus seperti ini bukan yang pertama, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Hingga hari ini, praktik perdagangan manusia berkedok perekrutan TKI masih marak. Banyak calon pekerja migran yang dimanfaatkan oleh agen-agen tidak bertanggung jawab. Tak sedikit pula yang berangkat lewat jalur tidak resmi, karena tergiur iming-iming gaji besar.

Menurut Migrant CARE, sepanjang 2023 saja, ratusan kasus kekerasan, penganiayaan, bahkan kematian TKI dilaporkan dari berbagai negara. Ironisnya, ketika tragedi seperti ini terjadi, respons negara sering terlambat. Padahal, negara seharusnya proaktif — tidak sekadar bereaksi saat sudah ada korban.

Sudah saatnya perlindungan TKI diperbaiki total. Pemerintah harus lebih tegas menindak agen perekrutan yang nakal. Jangan beri ruang bagi sindikat perdagangan manusia berkedok perekrutan. KBRI dan perwakilan Indonesia di luar negeri harus benar-benar menjalankan fungsi perlindungan. Jangan hanya menunggu laporan, tapi lakukan pengawasan aktif dan pendekatan langsung ke komunitas TKI.

Tak kalah penting, calon TKI wajib dibekali pelatihan dan pemahaman HAM. Mereka harus tahu apa saja hak-hak yang melekat pada mereka sebagai manusia dan sebagai pekerja. Jangan sampai ada lagi yang berangkat dengan pengetahuan minim, hanya bermodalkan janji manis agen.

Selain itu, penguatan regulasi perlindungan TKI juga mendesak dilakukan. Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia perlu ditegakkan dengan sungguh-sungguh di semua lini. Jangan sampai aturan yang ada hanya menjadi dokumen formal tanpa implementasi nyata.

Kita sering menyebut TKI sebagai "pahlawan devisa". Sumbangan mereka bagi perekonomian nasional jelas besar. Tapi sebutan itu akan terasa hampa bila negara masih gagal melindungi mereka. Pahlawan seharusnya dihormati dan dilindungi — bukan dibiarkan berjuang sendiri di negeri orang.
Tragedi yang menimpa Rizal dan Iwan adalah pengingat pahit bahwa perlindungan HAM bagi TKI masih jauh dari ideal.

Jangan biarkan tragedi serupa terus berulang. Negara mesti hadir — bukan hanya sebagai slogan, tetapi lewat kebijakan nyata yang melindungi rakyatnya, di manapun mereka berada.

Karena sejatinya, martabat bangsa bukan diukur dari seberapa besar devisa yang dihasilkan rakyatnya, melainkan dari seberapa besar negara melindungi mereka, bahkan saat mereka berjuang jauh dari tanah air.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Luthfy Baihaqi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler