Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.

Apakah Filsafat adalah Ilmu?

Selasa, 22 Juli 2025 16:38 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Mother of Science Fiction \x2013 Nerd Rambles
Iklan

Berfikir filosofid menjadi semakin relevan sebagai pelemgkap terhadap ilmu pengetahuan.

Apakah Filsafat Adalah Ilmu?

Sebuah Analisis Epistemologis tentang Status Ontologis Filsafat dalam Taksonomi Keilmuan

 geotimes Ahmad Wansa Al-faiz, Pengarang GEOTIMES

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz

Pertanyaan mengenai status epistemologis filsafat sebagai ilmu telah menjadi perdebatan fundamental dalam tradisi pemikiran Barat sejak era klasik hingga kontemporer. Esai ini mengkaji dilema epistemologis yang muncul ketika nilai-nilai filosofis diuji berdasarkan persepsi tanpa pemahaman metodologis yang memadai, serta menganalisis posisi liminal filsafat antara ranah akademis-ilmiah dan praktik sosio-kultural. Melalui pendekatan analitis-kritis, penelitian ini mengargumentasikan bahwa filsafat ocupies unique epistemic space sebagai meta-disiplin yang tidak sepenuhnya dapat dikategorikan dalam framework saintifik positivistik, namun memiliki rigor metodologis tersendiri yang legitimate sebagai mode of inquiry.

Filsafat: Pengertian, Tujuan, Karakteristik, dan Manfaatnya

Sejak Aristoteles membedakan antara episteme (pengetahuan ilmiah), techne (keterampilan praktis), dan phronesis (kebijaksanaan praktis) dalam Nicomachean Ethics, pertanyaan tentang status ontologis filsafat dalam taksonomi keilmuan telah menjadi isu sentral dalam tradisi epistemologi Barat (Aristoteles, 1999). Kompleksitas ini semakin menguat dalam era modern ketika positivisme logis, yang dipelopori oleh Vienna Circle, berusaha mereduksi semua pengetahuan valid ke dalam framework empiris-verifikatif (Carnap, 1928). Pertanyaan fundamental yang muncul adalah: apakah filsafat dapat dikategorikan sebagai ilmu dalam pengertian konvensional, atau ia menempati status epistemologis yang berbeda namun tidak kalah legitimate?

Filsafat sebagai Meta Disiplin, antara Scientificity dan Reflektivitas.

ARISTOTELES DAN MURIDNYA;

Filsafat memiliki karakteristik unik sebagai meta-disiplin yang mengkaji fondasi epistemologis dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Sebagaimana diargumentasikan oleh Karl Popper (1963) dalam Conjectures and Refutations, filsafat berfungsi sebagai critical examination terhadap asumsi-asumsi fundamental yang mendasari praktik ilmiah. Dalam konteks ini, filsafat tidak dapat dinilai dengan standar yang sama dengan ilmu empiris karena ia beroperasi pada level yang lebih fundamental - mengkaji presupposisi ontologis dan epistemologis yang membuat praktik ilmiah menjadi possible.

Thomas Kuhn (1962) dalam The Structure of Scientific Revolutions menunjukkan bahwa bahkan sains "normal" didasarkan pada paradigma filosofis tertentu yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Hal ini mengindikasikan bahwa boundary antara filsafat dan sains lebih fluid daripada yang diasumsikan oleh positivisme logis. Filsafat, dalam pengertian ini, bukan competitor terhadap sains, melainkan partner hermeneutik yang mengkaji meaning dan significance dari praktik ilmiah.

Dikotomi Akademis versus Sosio Kultural

Mothers of Science – Barcelona Institute of Science and Technology – BIST

Filsafat mengalami apa yang dapat disebut sebagai "double existence" - ia beroperasi dalam ranah akademis yang tunduk pada standar metodologis tertentu, sekaligus dalam ranah sosio-kultural sebagai wisdom tradition dan worldview formation. Pierre Bourdieu (1988) dalam Homo Academicus menjelaskan bagaimana field akademik memiliki logika tersendiri yang berbeda dari practical logic dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam ranah akademis, filsafat berusaha memenuhi kriteria scientificity melalui rigor argumentatif, systematic coherence, dan intersubjective verification melalui peer review. Namun, berbeda dengan sains empiris, verification dalam filsafat tidak bergantung pada observasi empiris, melainkan pada strength of argument dan logical consistency (Habermas, 1981).

Sementara itu, dalam ranah sosio-kultural, filsafat berfungsi sebagai praktik reflektif yang accessible bagi masyarakat umum. Michel Foucault (1984) dalam "What is Enlightenment?" mengargumentasikan bahwa filsafat memiliki dimensi practical yang tidak dapat direduksi ke dalam framework akademis semata. Bias sosiologis memang memengaruhi bagaimana filsafat dipahami dan dipraktikkan, namun hal ini tidak necessarily mengurangi validitas epistemologisnya.

Filsafat sebagai Hybrid Discipline

Alih-alih mengategorikan filsafat secara rigid sebagai "ilmu" atau "bukan ilmu", lebih produktif untuk memahami filsafat sebagai hybrid discipline yang menggabungkan multiple epistemic modes. John Dewey (1938) dalam Logic: The Theory of Inquiry mengargumentasikan bahwa inquiry philosophy menggunakan scientific method dalam pengertian yang lebih luas - emphasizing pada systematic investigation, critical evaluation of evidence, dan openness to revision.

Filsafat memiliki karakteristik sebagai:

Meta-kompetensi analitik: Kemampuan untuk menganalisis struktur argument, mengidentifikasi fallacies, dan membangun coherent conceptual frameworks (Toulmin, 1958).

Sensitivitas hermeneutik: Kapasitas untuk menginterpretasi meaning, memahami context, dan mengkaji significance dari human experience (Gadamer, 1975).

Praktik sintesis konseptual: Kemampuan untuk mengintegrasikan insights dari berbagai domain knowledge dan membangun comprehensive worldview (Whitehead, 1929).

Dimensi Makro-Mikro dalam Eksistensi Filsafat

Polarisasi makro-mikro dalam eksistensi filsafat mencerminkan kompleksitas fundamental dari nature filosofis itu sendiri. Pada level makro, filsafat beroperasi sebagai intellectual tradition yang membentuk peradaban dan collective consciousness. Alasdair MacIntyre (1981) dalam After Virtue menunjukkan bagaimana tradisi filosofis membentuk moral framework yang mendasari praktik sosial.

Pada level mikro, filsafat manifest sebagai individual cognitive capacity dan personal reflective practice. William James (1907) dalam Pragmatism mengargumentasikan bahwa filosofi ultimately adalah personal matter yang berkaitan dengan "temperament" dan lived experience individual.

Kedua dimensi ini saling constitutive dalam dialectical relationship - tradisi makro membentuk disposisi mikro, sementara praktik mikro individual meregenerate dan mentransformasi tradisi makro melalui creative interpretation dan critical engagement (Ricoeur, 1981).

Filsafat sebagai Legitimate Mode of Inquiry.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Marcus Tullius Cicero Quote: “Philosophy is the true mother of science.”

Kritik terhadap positivisme logis dari berbagai philosopher seperti W.V.O. Quine (1951) dalam "Two Dogmas of Empiricism" dan Wilfrid Sellars (1956) dalam "Empiricism and the Philosophy of Mind" telah membuka ruang untuk understanding yang lebih nuanced tentang nature of knowledge. Post-positivist epistemology mengakui bahwa tidak ada sharp boundary antara analytic dan synthetic truth, serta antara observational dan theoretical terms.

Dalam framework post-positivist, filsafat dapat dipahami sebagai legitimate mode of inquiry yang memiliki methodological rigor tersendiri. Hilary Putnam (1981) dalam Reason, Truth and History mengargumentasikan bahwa philosophical inquiry menggunakan "wide reflective equilibrium" - proses iterative antara particular intuitions dan general principles yang analog dengan scientific method namun tidak identical dengannya.

Pertanyaan "apakah filsafat adalah ilmu?".

Pertanyaan "apakah filsafat adalah ilmu?" tidak dapat dijawab dengan simple yes or no. Filsafat occupies unique epistemic space sebagai transdisciplinary practice yang beroperasi pada multiple levels dan menggunakan distinctive methodological approach. Ia tidak sepenuhnya scientific dalam pengertian positivistik, namun juga bukan merely subjective atau speculative.

Status ambiguous ini justru menjadi strength filsafat - kemampuannya untuk memediasi antara scientific rationality dan lived experience, antara systematic thinking dan existential wisdom, antara academic rigor dan cultural relevance. Filsafat adalah legitimate form of inquiry yang essential bagi human understanding, meskipun ia tidak conform dengan narrow conception of science yang diadopsi oleh positivisme logis.

Dalam era contemporary dimana complexity dan uncertainty semakin meningkat, philosophical thinking menjadi semakin relevant sebagai complement terhadap scientific knowledge. Alih-alih competing dengan sains, filsafat berperan sebagai critical partner yang membantu mengkaji meaning, value, dan significance dari scientific discoveries dalam broader context of human experience.


Referensi

Aristoteles. (1999). Nicomachean Ethics. Terj. T. Irwin. Indianapolis: Hackett Publishing.

Bourdieu, P. (1988). Homo Academicus. Stanford: Stanford University Press.

Carnap, R. (1928). Der logische Aufbau der Welt. Berlin: Weltkreis-Verlag.

Dewey, J. (1938). Logic: The Theory of Inquiry. New York: Henry Holt and Company.

Foucault, M. (1984). "What is Enlightenment?" Dalam P. Rabinow (Ed.), The Foucault Reader (pp. 32-50). New York: Pantheon Books.

Gadamer, H.G. (1975). Truth and Method. New York: Seabury Press.

Habermas, J. (1981). The Theory of Communicative Action. Boston: Beacon Press.

James, W. (1907). Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green and Co.

Kuhn, T.S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.

MacIntyre, A. (1981). After Virtue. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Popper, K. (1963). Conjectures and Refutations. London: Routledge and Kegan Paul.

Putnam, H. (1981). Reason, Truth and History. Cambridge: Cambridge University Press.

Quine, W.V.O. (1951). "Two Dogmas of Empiricism". The Philosophical Review, 60(1), 20-43.

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press.

Sellars, W. (1956). "Empiricism and the Philosophy of Mind". Minnesota Studies in the Philosophy of Science, 1, 253-329.

Toulmin, S. (1958). The Uses of Argument. Cambridge: Cambridge University Press.

Whitehead, A.N. (1929). Process and Reality. New York: Macmillan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kontributor Pojok Desa

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Parau

Senin, 1 September 2025 14:51 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler