Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Luka Itu Mengajariku Cara Mencintai

Sabtu, 2 Agustus 2025 21:10 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Persahabatan
Iklan

Kini aku paham. Luka itu bukan penghalang cinta. Tetapi jalan menuju cinta yang tidak pernah berkhianat.

Aku pernah mencintai seseorang sebagaimana aku mencintai hidupku sendiri. Seorang sahabat yang kukira akan menetap hingga akhir hayat. Doanya menyejukkan, tawanya menguatkan, dan pelukannya seolah mampu menyembuhkan luka dunia. Aku menaruh harapan, mungkin terlalu dalam. Dan dari sanalah segalanya bermula, kisah tentang seorang sahabat yang dihadirkan Allah dalam relung hatiku.

Aku yakin, pertemuan kami bukan kebetulan. Aku percaya, aku menemukannya karena Allah. Ia datang di saat aku hampir kehilangan arah. Melaluinya, aku belajar shalat lebih khusyuk, belajar sabar lebih tenang. Ia membawaku lebih dekat kepada Allah, dan aku bersyukur karena itu. Persahabatan kami seperti lentera yang memantulkan cahaya iman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi aku lupa, lentera tetaplah lentera. Sumber cahayanya bukan dari dirinya sendiri, melainkan dari cahaya Ilahi. Dan saat lentera itu padam, aku pun gelap gulita. Hari itu datang. Hari ketika ia tiba-tiba menjauh, marah, dan sangat membenciku, karena bisikan hasutan dari seorang teman. Kepercayaan runtuh, keyakinan koyak, dan cinta itu seketika lenyap.

Pengkhianatan itu bukan hanya menyayat, tetapi merobohkan seluruh dunia kecil yang kupikir akan selamanya berdiri tegak. Ia menginjak harga diriku, seakan aku bukan siapa-siapa, padahal aku pernah percaya aku adalah segalanya baginya. Aku hancur. Bukan hanya karena ditinggalkan, tetapi karena aku merasa kehilangan Allah bersama kepergiannya.

Aku lupa jalan pulang. Aku terlalu sibuk membangun rumah di hati manusia, sampai lupa tempat tinggal utamaku adalah hati yang terpaut pada Allah. Malam-malam sunyi mengajakku berdamai dengan luka. Ia menjadi guru yang tegas, memaksaku bertanya: Siapa yang selama ini sebenarnya kucintai? Manusia atau Allah?

Lalu hidayah itu datang. Tidak dalam bentuk pelukan, tetapi dalam kesunyian yang penuh isak tangis. Dalam sepi itu, aku merasakan pelukan yang lebih lembut dari apapun, pelukan dari Allah yang tidak pernah pergi. Ternyata, meski sahabatku meninggalkanku, Allah tidak pernah meninggalkanku. Bahkan saat aku melupakan-Nya, Dia tetap tinggal.

Aku sadar, mencintai manusia tidaklah salah. Tetapi ketika cinta itu melebihi cinta kita pada Allah, maka itu bukan cinta, itu penjara. Aku telah menempatkan sahabatku di tempat yang bukan miliknya: singgasana hati yang seharusnya hanya milik Allah. Maka ketika ia pergi, hancurlah segalanya. Karena bukan Allah yang menjadi pondasi, melainkan perasaan yang fana.

Luka ini bukan hukuman. Tetapi peringatan penuh cinta. Allah mengajarkanku mencintai tanpa kehilangan arah. Mencintai tanpa mendewakan. Mencintai manusia sebagai wasilah, bukan tujuan akhir. Dan dalam kehilangan itulah, aku benar-benar menemukan cinta baru yang utuh, cinta yang tidak menuntut untuk dimiliki, hanya dimaknai.

Aku masih mengingat sahabatku. Tetapi ingatan itu kini seperti senja yang tenang, bukan badai yang mengguncang. Rindu itu bukan lagi jeritan, melainkan doa diam-diam. Aku tidak berharap ia kembali menambal hatiku. Karena hatiku kini sedang diperbaiki oleh Sang Pemiliknya, bukan oleh manusia yang bahkan tidak bisa menjaga dirinya sendiri.

Aku belajar banyak. Tentang cinta yang tidak boleh menyaingi cinta pada Allah. Tentang persahabatan yang tidak boleh menggeser keyakinan. Tentang hati yang harus selalu menyisakan ruang suci, ruang di mana hanya Allah yang berhak duduk di singgasana tertinggi.

Luka ini tidak kubenci. Justru dari sinilah aku kembali mengenali diriku sendiri. Aku pernah buta karena terlalu percaya pada cahaya lentera, bukan pada sumber cahayanya. Tetapi kini aku belajar melihat dengan terang yang datang dari dalam, dari iman yang dibangunkan kembali oleh rasa kehilangan.

Mungkin suatu saat nanti aku akan mencintai lagi. Mungkin juga bersahabat lagi. Tetapi tidak akan sama. Bukan karena aku takut terluka, tetapi karena sekarang aku telah mengerti: mencintai itu harus dimulai dari mencintai Allah lebih dulu. Jika tidak, cinta itu akan menuntut lebih banyak dari apa yang sanggup kita beri, dan ia akan pergi tanpa pamit.

Kepada sahabatku yang pernah kuletakkan terlalu tinggi di hatiku, aku telah memaafkanmu. Terima kasih karena kau pernah menjadi jembatan emas yang membawaku mendekat kepada Allah. Meski akhirnya kau meninggalkanku, namun Allah tetap bersamaku. Kau hilang, tetapi Allah tidak.

Dan kepada diriku yang dulu mencintai tanpa arah, aku kini menguatkanmu. Kau tidak gagal. Kau sedang belajar. Dan belajar itu tidak pernah salah. Karena dari kegagalan itulah kau tahu: cinta yang paling menyembuhkan adalah cinta yang membuatmu semakin mengenal Allah.

Kini aku paham. Luka itu bukan penghalang cinta. Tetapi jalan menuju cinta suci yang tidak pernah berkhianat. Jadi, jika engkau hari ini sedang lelah dan patah karena cinta manusia, ketahuilah: mungkin itu bukan kutukan, tetapi anugerah. Karena dari situlah, engkau mulai bisa menemukan cinta sejati yang tidak pernah meninggalkanmu selamanya. Cinta yang kekal. Cinta dari Allahmu.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indrato Sumantoro

Pemerhati Aspal Buton

6 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler