Melintasi batas yang tak bisa dijangkau suara
Digitalisasi Kehidupan: Privasi, Kriminalisasi, & Konten Negatif Media Sosial
Minggu, 10 Agustus 2025 21:23 WIB
Digitalisasi membawa kemudahan, tapi ada risiko besar. Mari bijak menggunakan media sosial!
***
Bagaimanakah mengurangi paparan ritual bermain gawai berikut ini? Mengecek Instagram, berpindah ke Facebook, lalu ke WhatsApp dan kembali lagi ke Instagram. Siklus tiga putaran ini seperti lingkaran setan. Dari bangun tidur, bersiap-siap ke kantor, saat bekerja, hingga sebelum tidur, semuanya diselingi scroll media sosial.
Namun belakangan, setelah berhasil sedikit mengurangi intensitas, saya merasakan perbedaan: berita viral yang biasanya sudah “saya tuntaskan” kini berebut muncul di beranda media sosial. Isu selebriti, politik, lingkungan, hingga postingan pribadi teman, semuanya berpacu menembus atensi.
Kondisi itu menjadi tanda bahwa ruang digital kini semakin padat dengan informasi yang saling berebut perhatian, yang pada gilirannya menimbulkan tantangan tersendiri, terutama soal bagaimana isu-isu penting diangkat tanpa mengorbankan privasi.
Antara Pengungkapan Isu dan Risiko Privasi: Dilema Konten Kreator
Pengalaman saya sehari-hari terasa makin nyata ketika semalam, perhatian saya terhenti pada sebuah unggahan satir di Instagram. Seorang teman memparodikan kreator konten yang membujuk seorang perempuan, yang belakangan diketahui buronan, untuk bicara tentang ancaman tambang nikel terhadap hidupnya. Dalihnya sederhana namun problematis: “No viral, no justice.”
Perempuan itu awalnya menolak, namun akhirnya bersedia direkam. Ironisnya, rekaman itu justru mengungkap status buronannya. Di akhir video, kreator menyarankan cara “aman” demi privasi: memburamkan wajah, dan memisahkan perangkat perekaman dan unggahan. Kisah ini mengangkat dilema pelik antara kebutuhan untuk mengungkap isu-isu sosial penting dengan risiko privasi yang bisa saja terabaikan dalam prosesnya.
Keesokan paginya, saat sedang bermalas-malasan di akhir pekan, saya kembali disadarkan akan kerentanan privasi digital lewat konten Tirto.id bertajuk Pudarnya Privasi Wajah Kita di Hadapan Kamera Liar. Konten tersebut menggambarkan tren fotografer jalanan yang memotret pelari tanpa izin, lalu mengunggah foto-foto tersebut ke platform seperti FotoYu.
Ironisnya, jika korban ingin menghapus foto yang memuat wajahnya, mereka diwajibkan untuk membuat akun dan menyerahkan data biometrik berupa foto wajah dari berbagai sudut. Artinya, untuk melindungi privasi, kita justru harus mengorbankan lebih banyak data pribadi.
Kisah ini mencerminkan bahaya nyata dari mempublikasikan orang lain tanpa persetujuan, apalagi jika dilakukan dengan paksaan. Ditambah dengan kemajuan teknologi, kini identifikasi lokasi, perangkat, dan berbagai data pribadi lain dapat dilakukan dengan mudah. Penelitian dari Georgetown Law’s Center on Privacy & Technology menunjukkan bahwa teknologi pengenalan wajah berbasis AI tidak hanya mengenali bentuk wajah, tetapi juga mampu mengidentifikasi identitas, gender, ras, usia, bahkan ekspresi emosional seseorang.
Situasi ini mengingatkan saya pada UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang menegaskan hak setiap individu atas data pribadinya dan kewajiban pihak-pihak yang memproses data tersebut untuk memberikan informasi serta meminta persetujuan. Namun, pelaksanaan regulasi ini masih menghadapi banyak tantangan. Kasus seperti ini membuka sisi lain dari persoalan privasi digital yang kian kompleks, sekaligus menunjukkan bahwa teknologi, meskipun bermanfaat, juga dapat memperparah kerentanan individu di dunia maya.
Kriminalisasi Perjuangan Buruh dan Manipulasi Narasi
Namun, persoalan di dunia digital tidak hanya berhenti pada tantangan privasi. Isu ini juga berimplikasi pada perjuangan kolektif dan narasi sosial yang lebih luas. Beberapa minggu lalu, saya bergabung dengan teman-teman yang aktif menaikkan konten terkait isu lokal, sebuah aksi selama dua minggu menuntut hak yang dicuri perusahaan. Namun, perjuangan ini justru berujung kriminalisasi. Ketika ketua serikat dihubungi seorang jurnalis untuk memberikan keterangan, berita yang terbit memuat data dan nama pemberi informasi yang keliru, bahkan menyebut anggota serikat yang tidak pernah memberikan informasi apapun kepada jurnalis tersebut. Perusahaan memanfaatkan hal ini untuk menuduh serikat menyebar berita hoaks dan mengancam akan membawa ke ranah hukum. Ini bukan hanya persoalan digital tapi juga soal pengendalian narasi dan kekuatan politik yang memanfaatkan kesalahan informasi untuk mendiskreditkan perjuangan buruh.
Menurut laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), kriminalisasi terhadap aktivis semakin meningkat. Komnas HAM mencatat peningkatan kasus kriminalisasi serikat pekerja hingga 35% dalam tiga tahun terakhir (Komnas HAM, 2023). Praktik kriminalisasi ini seringkali memanfaatkan kekeliruan pemberitaan atau isu hoaks sebagai senjata hukum.
Pelanggaran Hak Cipta dan Hilangnya Kontrol atas Karya Digital
Di platform seperti Facebook, masalah lain pun muncul. Teman-teman yang aktif menyebarkan konten aksi dua minggu tersebut mendapatkan respons publik yang besar: tayangan, like, dan share meningkat tajam. Namun konsekuensinya, konten mereka di-upload ulang oleh akun lain, bukan lagi dibagikan. Demi monetisasi, identitas pembuat asli hilang, tanpa atribusi, apalagi izin. Seakan berlaku hukum tak tertulis: “Kontenmu adalah konten kita bersama.” Ini bukan hanya masalah pelanggaran hak cipta, tapi juga soal hilangnya kontrol atas karya dan identitas digital yang menjadi milik pribadi dan kolektif sekaligus.
Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), fenomena ini bukan hanya pelanggaran hak cipta, tapi juga bentuk “perampasan data” karena karya digital juga mengandung metadata pembuatnya. Dalam perspektif UU PDP, tindakan mengunggah ulang tanpa izin, terutama jika disertai informasi pribadi bisa melanggar Pasal 65 dan 66 yang mengatur pemrosesan data pribadi tanpa persetujuan. Ironisnya, Katadata Insight Center (2023) mengungkap 61% pengguna internet di Indonesia tidak membaca syarat dan ketentuan sebelum menggunakan platform digital. Ini menandai perlunya kesadaran dan edukasi yang jauh lebih luas.
Menghadapi Konten Pornografi: Pengalaman Pribadi dan Antisipasi
Selain itu, paparan konten negatif lain juga pernah saya alami secara langsung. Akun-akun yang sudah di-hack viral mengupload konten pornografi dan men-tag sebanyak-banyaknya orang, termasuk saya. Beberapa kali saya dikirimi foto berunsur pornografi baik di Facebook maupun WhatsApp. Jika saya hanya menggerutu atau merasa stres sebagai korban, mungkin konten itu akan terus muncul tanpa henti. Namun saya memilih bertindak: ketika di-tag di Facebook, saya melaporkan konten tersebut, bahkan harus berulang kali sampai postingan itu akhirnya hilang.
Begitu pula, ketika menerima konten pornografi via chat, saya langsung memblokir pengirim, melaporkan, lalu melanjutkan aktivitas saya. Meski memuakkan, tidak ada pilihan lain selain menghadapi dengan antisipasi aktif. Menghabiskan waktu berjam-jam memikirkan kenapa orang lain mengirim konten seperti itu atau merasa buruk karena melihatnya hanya menguras energi. Maka, yang harus dilakukan adalah membasmi hal itu bersama. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) 2023 menunjukkan pengaduan terkait konten negatif meningkat signifikan, menandai bahwa perlindungan pengguna digital masih jauh dari ideal.
Batas Kabur antara Kebebasan Berekspresi dan Privasi
Melihat semua ini, saya sering bertanya-tanya: bagaimana kita bisa menjaga hak untuk bersuara sekaligus menghormati hak atas privasi? Kisah perempuan buronan yang dipaksa bicara, pelari yang wajahnya diunggah tanpa izin, perjuangan buruh yang dibungkam lewat kriminalisasi, konten yang dicatut menjadi milik bersama, hingga pelecehan melalui konten pornografi. Semua fenomena ini menyatu dalam satu benang merah: lemahnya batas dan kesadaran akan privasi di ranah digital.
Pergeseran perilaku di era digital ini memperlihatkan sebuah paradoks yang sulit dihindari. Di satu sisi, teknologi membuka ruang luas bagi kita untuk menyuarakan kebenaran dan berekspresi. Namun di sisi lain, celah untuk pelanggaran privasi, hak cipta, dan etika berbagi informasi justru semakin terbuka lebar. Regulasi seperti UU PDP memang menjadi fondasi penting untuk melindungi hak-hak kita di dunia maya.
Akan tetapi, tanpa adanya kesadaran etis dari para kreator dan pengguna media sosial, serta pengawasan yang sungguh-sungguh berjalan, ruang digital bisa tetap menjadi rimba liar, tempat wajah, suara, dan karya kita bebas diambil, dimodifikasi, bahkan dipolitisasi tanpa kontrol yang memadai. Kondisi ini menuntut kita semua untuk terus mengawal dan membangun ruang digital yang manusiawi, etis, dan aman bagi setiap pengguna.

Penulis Indonesiana
3 Pengikut

Digitalisasi Kehidupan: Privasi, Kriminalisasi, & Konten Negatif Media Sosial
Minggu, 10 Agustus 2025 21:23 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler