Beragam Cara Melawan Oligarki Politik
Sabtu, 16 Agustus 2025 06:27 WIB
Melawan oligarki berarti menghadapi konsentrasi kekuasaan dan kekayaan di tangan segelintir orang atau kelompok yang memengaruhi kebijakan
***
Menurut salah seorang Filsuf Yunani Kuno, Aristoteles (384-322 SM), istilah oligarki menunjukkan pemerintahan dikendalikan oleh segelintir orang. Muridnya Plato itu menggolongkan pemerintahan oligarki sebagai salah satu bentuk pemerintahan yang buruk (Ridha, 2020).
Oligarki berasal dari kata oligoi memiliki arti “beberapa orang”, atau pemerintahan dari segelintir orang yang mengutamakan kepentingan sempit, kelompok atau golongannya sendiri. Oligarki tidak mementingkan kepentingan orang banyak (Syafhendry, 2024).
Bentuk pemerintahan oligarki merupakan suatu kekuasaan despotik dijalankan sekelompok kecil orang. Mereka itu memiliki keistimewaan berupa kekayaan melimpah, dengan tujuan politik bersifat egois untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Oligarki dikendalikan para penguasa kaya yang menggunakan kekuasaan melalui kekayaan (Asshiddiqie, 2022).
Pemerintahan oligarki bisa hadir di berbagai sistem politik, termasuk di dalam sistem demokrasi terutama yang bercorak liberal. Keberadaan aktor oligarki yang biasa disebut oligark, berawal dari kontestasi politik (pemilu). Kelompok oligark banyak menginvestasikan modal politik dan modal ekonomi, kepada para kandidat yang bertarung memperebutkan kursi di lembaga formal. Keberadaan para oligark di bawah atmosfer sistem politik berbiaya tinggi, membuat eksistensi mereka sangat dibutuhkan oleh para politisi bermental pragmatis dan transaksional.
Modal politik yang dimiliki aktor oligark bisa berupa jaringan sosial, kontrol atas informasi (media), dan modal simbolik berupa reputasi. Sedangkan modal ekonomi meliputi kekuatan finansial, monopoli distribusi produk strategis, dan akses ke sumber daya ekonomi. Kedua modal itu menjadi tiket masuk para oligark untuk mempengaruhi kebijakan dari dalam pemerintahan. Hal itu dilakukan melalui tangan para politisi transaksional yang telah di dukung secara politik dan ekonomi ketika pemilu.
Selain dari luar pemerintahan, aktor oligark bisa datang dari dalam pemerintahan. Mereka bisa berasal dari kalangan elit politik, memimpin partai yang menentukan arah pembentukan koalisi, serta mempengaruhi pengisian jabatan-jabatan publik di tingkat pusat sampai daerah. Kelompok oligark memanfaatkan jabatan pada struktur pemerintahan untuk mengakses berbagai sumber daya ekonomi. Mereka juga membangun jaringan patronase ke sektor bisnis dan kaum birokrat. Kelompok oligark dapat menyalahgunakan keuangan negara, yang digunakan mengokohkan kekuasaan kelompoknya.
Narasi Populisme
Dominasi aktor oligark di dalam tubuh pemerintahan ini biasanya memunculkan perlawanan baik dari kelompok masyarakat sipil (civil society) atau kelompok oligark lain, yang menjadi rival politik ketika berkontestasi meraih kekuasaan di berbagai institusi formal. Kelompok atau faksi oligark di luar kekuasaan biasanya menggunakan narasi populisme untuk menghantam dominasi aktor oligark di dalam pemerintahan. Harapannya adalah bisa menggantikan pemerintahan oligarki, dari kelompok yang lain, jatuh ke tangan kelompoknya (Robet 2020).
Di dalam narasi populisme masyarakat itu terbagi ke dalam dua kelompok yang berhadap-hadapan, yaitu rakyat melawan elit. Populisme mengidentifikasi kelompok rakyat sebagai anti elit dan anti kemapanan. Sedangkan segelintir elit oligark merupakan aktor manipulatif dan sangat korup. Melalui jaringan media para agensi yang mengklaim diri populis, mereka menyebarkan retorika tentang pentingnya melawan kelompok elit yang berkuasa. Mereka juga memobilisasi massa besar-besaran untuk turun ke jalan menyuarakan pergantian kekuasaan (Kansong, 2024).
Populisme memiliki daya tarik bagi sebagian besar rakyat dikarenakan orang banyak yang turun ke jalan, dinilai lebih baik dari pada elit pemerintah. Ppulisme lahir dari rahim ketimpangan dan ketidakpercayaan kepada para politisi, demokrasi dan kapitalisme, semangat dari populisme menolak konsensus politik, serta menggabungkan etnosentrisme dan anti elit (Hardiman, 2017).
Aktor oligark memanfaatkan narasi populisme karena narasi ini menekankan kehendak rakyat yang diwakili satu figur kuat. Ketika para agensi populisme berhasil meraih kekuasaan serta figur kuat itu berkuasa, biasanya pemerintahan baru itu memiliki kecenderungan memusatkan kekuasaan di lingkaran orang-orang dekatnya. Akhirnya sang pemimpin populis berpeluang menciptakan oligarki baru di dalam tubuh pemerintahan.
Perlawanan Alternatif
Anomali oligarki di dalam sistem demokrasi harus dihindari, karena kalau dibiarkan akan menjadi monster. Leviathan akan memorak-porandakan bangunan demokrasi yang telah susah payah dibangun dan diperjuangkan.
Terdapat contoh perlawanan kepada aktor oligark, yakni di negara Polandia pada tahun 1982. Kekuatan masyarakat saat itu bangkit melakukan perlawanan pada narasi media (televisi) yang dimiliki pemerintah.
Pada setiap petang di kota kecil Swidnik bagian Timur Polandia, ketika pesawat televisi menyiarkan berita-berita resmi dari pemerintah, hampir semua warga di kota itu memilih memenuhi jalan-jalan. Mereka melakukan aktivitas bercengkrama satu sama lain, membicarakan berbagai hal termasuk berbagai masalah politik.
Menariknya sebelum mereka beraktivitas keluar rumah itu, warga meletakan televisi yang sudah dimatikan di jendela dengan posisi layar menghadap ke luar. Di jalan-jalan terlihat hanya layar televisi yang gelap tanpa suara dan gambar,
Tindakan ini merupakan bentuk perlawanan dari rakyat pada narasi dominan versi pemerintah yang mengendalikan persepsi warga melalui informasi satu arah. Saat itu upaya mencari alternatif berita tertutup rapat. Warga lalu membuat narasi informasi tandingan melalui aktivitas mengobrol lewat bercengkrama. (Jackson dan Crawshaw, 2015).
Bentuk perlawanan ini merepresentasikan kekuatan dari masyarakat sipil (civil society) memiliki karakteristik kritis, mandiri, dan berdaya. Mereka berani mengambil sikap menolak hegemoni informasi dari para aktor oligark, dengan menciptakan ruang-ruang publik baru sebagai media kontra hegemoni menghadapi sumber berita tunggal dari negara.
Sedangkan di negara Amerika Serikat, terdapat politisi berhaluan progresif, Bernie Sanders, ketika berkampanye sebagai kandidat calon presiden dari Partai Demokrat pada tahun 2016 sampai 2019. Dia berkomitmen tidak menerima dana kampanye dari korporasi dan elit oligarki dan memilih hanya menerima bantuan dana dari masyarakat kelas bawah atau orang per orang. Mereka betul-betul mendukung program politik yang Bernie Sanders tawarkan.
Pilihan politik menggalang dana dari kelompok kelas bawah, dipilih guna menghindari politik balas budi dari korporasi besar. Dia ingin independen ketika berpolitik, tidak memberikan kebijakan sesuai arahan pihak pendonor waktu pemilu (Ardiyanto, 2023).
Kehadiran sosok politisi progresif seperti Bernie Sanders, tentu tidak bisa berdiri sendiri, terdapat dukungan sangat kuat dari civil society, yang bersedia memberikan tenaga, pikiran, dan finansial. Warga menyokong program-progam politik anti oligarki ditawarkan oleh Bernie Sanders.
Kekuatan civil society diperlukan untuk membendung kelompok oligarki. Mereka bisa melakukan pengawasan kepada pemerintah, agar setiap kebijakan yang dibuat tidak hanya menguntungkan segelintir elit. Kemudian memberdayakan masyarakat sipil agar melek politik, mengetahui hak politik dan hak ekonomi mereka, serta bisa tumbuh kesadaran kritisnya.
Masyarakat sipil juga harus aktif mengorganisir aksi-aksi kolektif, seperti membuat dan menandatangani petisi, melakukan demonstrasi massa, dan kampanye digital, untuk menolak kebijakan pemerintah yang pro-oligarki.
Untuk menghadapi dominasi oligarki, keberadaan civil society menjadi keniscsyaan, benteng terakhir demokrasi, memastikan kekuasaan tetap berpihak pada rakyat, bukan kepada aktor oligark.
Referensi Artikel
- Ardiyanto, Erik. 2023. Komunikasi Politik Aktivisme dan Sosialisme dari Bernie Sanders, Alexandria Ocasio-Cortez hingga Jeremy Corbyn (Jakarta, Penerbit GDN).
- Asshiddiqie, Jimly. 2022. Oligarki dan Totalitarianisme Baru. (Depok, LP3ES).
- Hardiman, F. Budi. 2017. Kebangkitan Populisme Kanan dalam Negara Hukum Demokratis (JURNAL PRISMA, Edisi Volume 36, 2017).
- Jackson, John dan Crawshaw, Steve. 2015. Tindakan-Tindakan Kecil Perlawanan : Bagaimana Keberanian, Ketegaran, dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia. (Yogyakarta, Insist Press).
- Kansong, Usman. 2024. Populisme Islam di Indonesia. (Jakarta, Penerbit Buku Kompas).
- Robet, Robertus. 2020. Oligarki Politik dan “Res Republica”. dalam Mudhoffir, Abdil Mughis dan Pontoh, Coen Husain. 2020. Oligarki Teori dan Praktek (Tanggerang, Marjin Kiri).
- Ridha, Muhammad. 2020. Kekhususan Oligarki : Pemikiran Jeffrey Winters Mengenai Oligarki. dalam Mudhoffir, Abdil Mughis dan Pontoh, Coen Husain. 2020. Oligarki Teori dan Praktek (Tanggerang, Marjin Kiri).
- Syafhendry. 2024. Pengantar Ilmu Politik. (Depok, Rajawali Pers).

Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
0 Pengikut

Civil Society jadi Model Relasi NGO dengan Pemerintah
Rabu, 3 September 2025 09:07 WIB
Beragam Cara Melawan Oligarki Politik
Sabtu, 16 Agustus 2025 06:27 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler