Benarkah Green Sukuk Menjadi Primadona Dunia?
Rabu, 20 Agustus 2025 07:00 WIB
Indonesia adalah negara pertama yang meluncurkan obligasi yang sepenuhnya difokuskan untuk pembiayaan aksi iklim.
Bayangkan jika sebagian utang negara tidak hanya dipakai untuk menutup defisit, tetapi juga untuk mengurangi emisi karbon, membangun energi terbarukan, dan melawan krisis iklim. Konsep ini terdengar idealis, bahkan utopis.
Rupanya sejak tahun 2018, Indonesia telah mengubah paradigma anggaran publik dengan memperkenalkan Green Sukuk. Inilah instrumen keuangan syariah nan inovatif yang seluruh hasilnya digunakan membiayai proyek-proyek ramah lingkungan.
Tak berlebihan jika dunia kini menyebut Green Sukuk Indonesia sebagai primadona pasar keuangan hijau global. Sejak pertama kali diluncurkan, Green Sukuk langsung mencuri perhatian.
Melalui penerbitan sukuk hijau sebesar USD 1,25 miliar, Indonesia mencatat sejarah sebagai negara pertama yang meluncurkan obligasi yang sepenuhnya difokuskan untuk pembiayaan aksi iklim, sekaligus dirancang sesuai dengan prinsip syariah Islam.
Perkembangan Green Sukuk di Indonesia
Tidak cukup hanya itu, reputasi Green Sukuk Indonesia terus meroket di kancah global. Pada 2019, tersorot bahwa Green Sukuk Indonesia meraih berbagai penghargaan bergengsi—mulai dari Asia-Pacific Green SRI Bond Deal of the Year, Best ESG Deal, Largest Green Sukuk 2020-2021, hingga pada tahun 2023 berhasil menyandang gelar sebagai Best Sovereign Green Sukuk of the Year oleh Alpha Southeast Asia. Prestasi ini sekaligus menjadi bukti bahwa kombinasi kebijakan publik dan pembiayaan hijau Indonesia patut dibanggakan.
Pemerintah telah berhasil menerbitkan tiga seri Global Green Sukuk dan 2 seri Green Sukuk Ritel. Hingga saat ini, total green global sukuk yang diterbitkan sebesar USD7,7 miliar dengan rincian sebagai berikut.
- 2018: USD 1,25 miliar
- 2019: USD 750 juta
- 2020: USD 750 juta
- 2021: USD 750 juta
- 2022: USD 1,5 miliar
- 2023: USD 1 miliar
- 2024: USD 600 juta
Lalu, kemanakah larinya dana Green Sukuk?
Proyek yang dibiayai oleh Green Sukuk melibatkan penanaman modal pada pembangkit energi terbarukan—dari PLTS hingga panas bumi dan hidro kecil—serta infrastruktur transportasi ramah lingkungan seperti MRT dan LRT. Selain itu, rehabilitasi hutan, pengelolaan limbah, serta fasilitas air bersih turut mendapatkan perhatian, selaras dengan kerangka kerja hijau internasional yang direview oleh CICERO, lembaga independen dari Norwegia yang memberi rating medium green pada sistem ini.
Aliran dana dari Green Sukuk tidak berhenti di ruang finansial semata. Pemerintah menggunakannya untuk membiayai proyek-proyek yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat dan alam. Dari pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di wilayah timur Indonesia, pengembangan panas bumi dan hidro kecil, hingga pembangunan MRT dan LRT yang diharapkan mengurangi emisi di kota besar. Laporan resmi Kementerian Keuangan tahun 2024 juga menyoroti proyek rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial, pengelolaan air bersih, serta program limbah perkotaan yang turut dibiayai dari sukuk hijau ini. Dengan kata lain, Green Sukuk menghadirkan manfaat ganda, yaitu membantu keuangan negara sekaligus menjaga bumi.
Dampaknya pun semakin nyata. Ribuan rumah tangga kini menikmati akses listrik dari energi terbarukan. Masyarakat perkotaan beralih ke transportasi publik yang lebih ramah lingkungan. Di desa-desa pada dataran tinggi, program konservasi yang dibiayai dari Green Sukuk memberi peluang kerja baru bagi masyarakat lokal. Secara sosial, instrumen ini mendorong terciptanya lapangan kerja hijau yang membuka peluang ekonomi baru di sektor energi bersih dan lingkungan.
Tak heran jika Green Sukuk Indonesia sering dijadikan bahan studi kasus di berbagai forum internasional. Di sinilah reputasi Indonesia terangkat. Dunia melihat kita bukan hanya sebagai pengekspor batu bara atau minyak sawit, tetapi juga sebagai negara yang mampu melahirkan inovasi keuangan hijau yang diakui global.
Kendati demikian, status primadona bukan tanpa kontroversi. Meski jumlah yang diterbitkan mencapai miliaran dolar, jumlah tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan kebutuhan transisi energi nasional yang diperkirakan mencapai USD 20–30 miliar per tahun. Dengan kata lain, Green Sukuk baru menutup sebagian kecil kebutuhan pembiayaan. Kedua, distribusi manfaat masih belum merata. Proyek-proyek besar banyak terkonsentrasi di Jawa dan kota-kota besar, sementara masyarakat di daerah penghasil energi seperti Sulawesi atau Maluku belum sepenuhnya merasakan dampaknya secara proporsional.
Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa Green Sukuk telah membawa Indonesia ke panggung global dengan cara yang positif. Instrumen ini membuktikan bahwa pembiayaan utang negara bisa diarahkan untuk mengurangi emisi, memperbaiki lingkungan, dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan. Predikat “primadona dunia” barangkali bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari keberhasilan Indonesia menggabungkan kebutuhan fiskal dengan visi lingkungan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Benarkah Green Sukuk Menjadi Primadona Dunia?
Rabu, 20 Agustus 2025 07:00 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler