Mendamba Pemimpin Tunjangan Wajar, Kinerja Luar Biasa

15 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi: Mencari pemimpin
Iklan

Pemimpin negeri menuntut tunjangan lebih, namun rakyat menilai kinerja tak sepadan, adakah pemimpin tunjangannya secukupnya, kinerja luar biasa?

***

Saat ini banyak dijumpai kemunculan unggahan bernuansa warna hijau dan merah muda yang memuat “17+8 Tuntutan Rakyat”. Dua warna tersebut bukan perpaduan warna biasa, akan tetapi warna hijau dimaknai sebagai aksi solidaritas kepada Afan Kurniawan seorang pengemudi ojek online (ojol) yang tewas dilindas oleh aparat dalam rangkulan jaket hijaunya. Sementara itu, merah muda terinspirasi oleh aksi ikonik ibu paruh baya berkerudung merah muda di hadapan aparat yang menghalangi peserta unjuk rasa.

Unjuk rasa yang terjadi sejak akhir Agustus adalah reaksi masyarakat terhadap wacana pemerintah untuk menyediakan tunjangan perumahan puluhan juta kepada anggota dewan perwakilan rakyat (DPR). Padahal, masyarakatlah yang selama ini membayar pajak dan hasil dari pemungutan pajak tersebut sebagiannya digunakan untuk menggaji dan memberi tunjangan pada anggota dewan. Pengamat menilai kebijakan tersebut tidak bijak di tengah kelesuan ekonomi dan turunnya daya beli masyarakat. Rakyat menilai bahwa aspirasi mereka tidak didengar, seperti misalnya dahulu sudah ada aksi unjuk rasa menolak pengesahan UU Omnibus Law pada 2019 dan UU Minerba tahun 2020 silam. Muncul pula wacana menaikkan pajak ppn yang semula 11 persen menjadi 12 persen. Meski akhirnya batal, atas semua yang telah terjadi, rakyat menilai kinerja penguasa tak sebanding lurus dengan gaji dan tunjangan para anggota dewan. Aksi ini adalah buntut dari berbagai kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Itulah akibat dari menyerahkan kedaulatan kepada manusia. Akalnya terbatas berakibat pada ketidakmampuan membuat hukum yang mengakomodir kebutuhan seluruh manusia. Ditambah lagi, manusia cenderung menuruti hawa nafsu. Walhasil manusia yang berkuasa membuat hukum terbatas menguntungkan bagi pihaknya saja. Apalagi, untuk menjadi penguasa dalam sistem demokrasi membutuhkan banyak modal untuk kampanye dan pencitraan. Biaya milyaran tersebut digunakan untuk pasang spanduk, cetak kaos, undang artis, membayar juru kampanye hingga serangan fajar. Akhirnya, setelah berkuasa mereka berusaha untuk balik modal, baik itu dengan cara membuat aturan bahwa gaji beserta tunjangan mereka sekian ratus juta ataupun korupsi. Ada pula orang yang dengan modal popularitas tiba-tiba mengikuti kontestasi politik meski tak pernah mengenyam pendidikan politik, kampanyenya dibiayai pengusaha. Tidak ada makanan gratis, mutualisme antara penguasa dan pengusaha pada akhirnya menjadikan demokrasi sebagai kuda troya oligarki.

Sungguh ironi, sistem demokrasi yang digadang-gadang dapat mengakomodir aspirasi rakyat melalui ajang pemilihan wakil rakyat nyatanya justru menciptakan perselisihan antara rakyat dan penguasa. Trias politika yaitu eksekutif dan yudikatif juga tidak mampu jadi penengah sebab rakyat juga tidak puas dengan kinerja mereka. Para penguasa justru berkoalisi dalam orkestrasi kepentingan yang sama dan saling tukar guling kepentingan. Ini membuktikan bahwa manusia tak kan mampu membuat aturan yang adil dan memuaskan semua pihak. Oleh karenanya, kedaulatan semestinya tidak diserahkan kepada manusia melainkan diserahkan kepada Dzat yang Maha Pengatur dan Maha Adil. Ialah Allah ta’ala, tuhannya manusia.

Allah mengutus Rasulullah yang membawa firman-Nya yakni Al-Quran. Setiap tindak tanduk beliau adalah teladan. Al-Quran dan Assunnah adalah pedoman hidup manusia yang menjadi sumber untuk memecahkan segala masalah yang dihadapi manusia dalam peradabannya. Islam menonjolkan syariat sebagai pengaturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia baik dengan dirinya sendiri, dengan tuhannya, serta dengan sesama manusia. Penerapan Islam secara menyeluruh ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah saat mendirikan daulah islamiyah di Madinah yang penduduknya majemuk dari berbagai suku dan agama. Melalui piagam madinah Rasulullah bersepakat dengan non muslim ahlu dzimmah untuk mengatur urusan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Posisi Rasulullah bukan hanya sebagai utusan Allah tapi juga kepala negara.

Islam memandang bahwa politik Islam adalah pengurus urusan umat dengan syariat Islam. Islam juga memandang penguasa adalah sosok yang mengurusi urusan umat dan mengayomi mereka sebagaimana Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah, sistem negara yang digunakan untuk memimpin dan mengatur manusia disebut Khilafah. Pemimpinnya diberi gelar kholifah atau Amiirul Mukminin.

Islam telah mengatasi problematika terkait gaji dan tunjangan ini. Ada perbedaan yang signifikan antara gaji dan tunjangan dalam sistem demokrasi dibanding dengan sistem Khilafah. Perbedaan pertama ialah fungsi pemimpin. Di dalam sistem Khilafah, pemimpin tidak dipilih untuk membuat aturan sebagaimana di sistem demokrasi dengan trias politikanya. Akan tetapi, kekuasaan digunakan untuk menegakkan Islam dengan menerapkan syariat dan menyebarkan dakwah. Sehingga mempersempit celah untuk para penguasa mengutak-atik aturan agar sesuai kepentingan mereka. Tapi tidak dipungkiri bahwa khilafah adalah negaranya manusia, maka jika muncul kezhaliman penguasa, maka umat akan melakukan muhasabah dan kasusnya akan diseret ke mahkamah mazholim.

Perbedaan kedua ialah tidak ada gaji bagi pemimpin/penguasa kaum muslimin. Jajaran penguasa yang dimaksud disini ialah Kholifah yang memimpin negara, Wali yang diangkat Kholifah untuk memimpin wilayah setara provinsi, dan Amil yang diangkat oleh Kholifah dengan cakupan wilayah yang lebih kecil. Para penguasa tidak digaji, tapi diberi tunjangan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya. Hal demikian itu agar para penguasa dapat memusatkan diri untuk menjalankan amanah mengurusi rakyat tanpa harus melakukan kewajiban lain seperti mencari nafkah untuk keluarga. Sehingga tidak ada alasan bagi para penguasa mengatakan kebutuhannya tidak terpenuhi karena tunjangannya kurang lalu melakukan praktik korupsi.

Tunjangan diberikan bukan untuk hidup mewah dan megah. Kholifah yang memiliki sifat menjaga diri (wara’) dalam balutan ketaqwaannya akan memilih hidup zuhud (tidak tertarik dengan hal duniawi nan materialistik) sehingga mereka akan menempuh hidup dalam sahaja, sederhana dan sewajarnya. Sebagai kepala keluarga ia akan mengingatkan keluarganya juga untuk menjaga diri. Fasilitas juga diberikan semata untuk melaksanakan tugas sebagai kepala negara. Ketaqwaan individu menjadi pondasinya, dan sistem Islam menjadi pencegahnya untuk melakukan kezhaliman.

Sikap hidup yang bersahaja itu dicontoh oleh para khalifah Abu Bakar, Umar bin Khothob, Umar bin Abdul Aziz dan banyak lagi dalam kisah-kisah yang masyhur. Terkait tunjangan Kholifah Abu Bakar menerima 2 dirham/ hari. Jika dikurskan dengan emas saat ini maka setara dengan 20-50 ribu per hari. Jadi sekadar kebutuhan pokok saja. Adapun Umar bin Khothob, ia menerima 4000 dirham per tahun. Artinya 300 dirham perbulan alias berkisar 8-10 juta rupiah. Kalau dibandingkan dengan penguasa era ini dan di negeri ini maka perbandingannya 200x lipat. Dengan tunjangan secukupnya, kinerja para kholifah luar biasa. Ada banyak kisah yang telah masyhur tentang betapa serius pengurusan para kholifah terhadap urusan rakyatnya.

Perbedaan yang ketiga adalah sumbernya. Dalam sistem demokrasi, gaji dan tunjangan penguasa dan pejabat diambil dari pajak rakyat. Sementara itu dalam Islam, keuangan negara diurus oleh Kholifah dalam baytul mal. Di baytul mal, sumber pemasukan negara ada banyak. Antara lain ialah zakat, jizyah, khuruj, fai, dan sumber daya alam. Pajak adalah alternatif terakhir jika kas negara mengalami defisit akibat ujian paceklik misalnya. Pajak hanya dipungut dari laki-laki muslim yang kaya. Pajak bersifat sementara, tidak paten sebagaimana sumber pemasukan negara saat ini. Nah, penggajian pegawai negara serta tunjangan penguasa diambil dari baytul mal dengan ketentuan yang diputuskan oleh Kholifah berdasarkan syara’.

Jadi, dengan ketentuan baytul mal demikian maka rakyat takkan terbebani dengan pajak mencekik padahal kesejahteraan tak terjamin. Hal itu memungkinkan diterapkan di Indonesia yang kaya raya sumber daya alamnya. Hanya saja penerapan aturan yang berdasarkan syara membutuhkan Khilafah. Untuk mewujudkan itu dibutuhkan kesadaran umum dari semua lapisan masyarakat dari akar rumput hingga elit penguasa untuk bersedia menerapkan syariah dan Khilafah. Kesadaran itu bisa diwujudkan melalui dakwah. Butuh waktu, memang itulah harga dari sebuah kesadaran sahih yang mampu menavigasi kehidupan individu, bermasyarakat dan bernegara dalam naungan ridho Ilahi. Wallahu a’lam bishshowab. []

Bagikan Artikel Ini
img-content
Salsaayeesha

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler