Tidak Jauh Berbeda Dari Manusia Bumi Lainnya

Suara yang Menetap di Dermaga: Renungan tentang Luka, Laut, dan Ingatan

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Spiritfarer
Iklan

Renungan puitis di dermaga Pasean, tentang luka, laut, dan ingatan yang menetap, menghadirkan keberanian nelayan serta suara-suara yang tak mau

Olle ollang wak lajere etangale.”

Nada itu masih terdengar samar di telinga, seperti tak mau pergi. Ia menjadi latar yang pas untuk perjalanan pulangku dari Pasean, setelah pagi tadi singgah di kampung nelayan Pasongsongan. Aku berangkat sejak matahari baru menyalakan langit, dengan niat sederhana, merawat luka saudara yang tak juga sembuh. Sambil menyetir, aku jadi berpikir, diabetes ini mirip sekali dengan penyakit hati atau mungkin politisi. Luka bisa saja tertutup, tapi sumber sakitnya sering tidak punya obat yang jelas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rasanya lucu memikirkan persamaan itu, diabetes muncul karena kebanyakan gula, penyakit hati karena terlalu sering menyimpan rasa, sedangkan politisi… ah, mereka terlalu banyak lupa. Pikiran itu masih berputar ketika aku masuk ke jalan menuju dermaga. Waktu seperti melipat, membawa potongan kenangan yang lama tertidur pulas. Aku ingat, kakiku pernah menjejak tanah ini. Mataku spontan mencari sebuah rumah di sisi kiri jalan, rumah seorang teman yang dulu sering kudatangi. Tidak jauh dari sana ada gang kecil ke kanan, tempat rumah seorang penyair yang dulu begitu akrab denganku.

Perasaan itu mendekap, sesak sekaligus asing. Rasanya seperti bertemu lagi dengan seorang sahabat lama yang dulu selalu ada, namun kini menghadirkan canggung yang sulit dijelaskan. Angin laut utara menyapu wajah, membawa aroma yang sama, menuntun langkahku ke dermaga.

Sampai di sana, aku melihat sekelompok perempuan duduk berjajar sambil menawarkan ikan segar yang masih basah oleh air laut. Suasana itu menyalakan lagi potongan syair Dzawawi Imron yang dulu sering kubaca bait tentang pelaut muda yang selalu pergi, meninggalkan debur gelombang di dada istrinya. Tentang kepulangan yang hanya jeda sebelum laut kembali memanggil.

Ada keikhlasan yang saya lihat di mata mereka perempuan yang menunggu, laki-laki yang berangkat dengan perahu. Mereka seperti sudah menyerahkan seluruh hidupnya pada laut. Bagaimana saya tidak kagum? Mereka hidup di tengah gelombang dan kecemasan, kisah mereka bahkan terasa lebih mendebarkan daripada cerita Laila dan Qais, lebih lembut dari Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, dan pengorbanannya lebih masuk akal daripada Romeo dan Juliet.

Para nelayan ini mengajarkan saya tentang cinta yang sungguh-sungguh, memberi dan berbuata tanpa jaminan hasil. Walau kenyataan sering tak seindah bayangan saya tentang mereka, kekaguman itu tetap tinggal. Ada keberanian dalam cara mereka memilih hidup, dan cinta yang mereka tawarkan jelas bukan hanya mimpi.

Dalam salah satu puisinya, Mira Lismawati menulis tentang betapa berserakannya hati seorang perempuan. Baitnya seperti ini:

 

“Aku harap kau tak pernah mengingat kenangan

Saat kita bertukar kelamin

Di persimpangan jalan yang menggelisahkan.

Kekasih, jangan kau sentuh lagi dada ini,

Sebab aku telah kehilangan payudara yang kau puja.

Kekasih, rampaslah binatang itu

Dari setiap sudut langitku.

Aku telah mengubur birahiku

Di ladang hati yang membangkai.

 

Cukuplah, kau mewakili ribuan lelaki yang menawarkan mimpi.”

Puisi itu membuatku diam beberapa saat. Ada kepedihan yang begitu dalam, sekaligus keberanian untuk melepaskan segala yang tak lagi sehat untuk hati. Bisa saja ini bukan tentang cinta lawan jenis tapi tentang cintamu pada apapun yang tidak pernah kau buktikan, atau sisi gelap yang selalu terbaca, sedang niat tulus selalu dianggah.

 

Di dermaga itu, di antara aroma asin laut dan teriakan para penjual ikan, kata-kata Mira seolah menyapa batin sendiri. Aku pulang dengan pikiran yang lebih tenang, membawa cerita nelayan, luka saudara, dan suara-suara yang tak pernah benar-benar hilang dari kepala.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler