Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Agama, Mentalitas Algoritma dan Kesalehan Digital
4 jam lalu
Praktik keagamaan mengalami pergeseran besar akibat pengaruh algoritma media sosial yang menentukan cara umat memahami ajaran agamanya.
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge_Stipar Ende
Di era digital saat ini, praktik keagamaan mengalami transformasi yang signifikan. Salah satu fenomena yang mencuat adalah munculnya mentalitas algoritma dalam beragama. Cara berpikir dan berinteraksi dengan ajaran agama dipengaruhi oleh logika algoritma media sosial. Algoritma tidak hanya mengatur konten yang muncul di layar pengguna. Ia juga membentuk cara umat beragama memahami, mengekspresikan, dan menghayati spiritualitas mereka.
Mentalitas algoritma mendorong umat beragama untuk mengonsumsi konten keagamaan yang populer dan mudah dicerna. Ia tidak sampai pada titik terdalam dari agama yang secara detail terumus secara teologis. Misalnya, kutipan motivasi keagamaan melalui pelbagai platform media sosial yang dibagikan di beranda-beranda sering kali lebih viral dibandingkan kajian panjang tentang tafsir Kitab Suci. Konten semacam ini dirancang agar sesuai dengan logika platform (singkat, emosional, dan mudah dibagikan). Bukan tidak mungkin jika yang terjadi lahir selanjutnya adalah ‘kesalehan yang performatif’. Ya…kesalehan yang hanya diukur dari jumlah likes dan views, bukan dari praktik nyata atau pemahaman mendalam.
Perubahan ini juga berdampak pada otoritas keagamaan. Dahulu, tokoh agama memperoleh legitimasi melalui pendidikan formal, pengalaman, dan pengakuan komunitas. Kini, algoritma menentukan siapa yang dianggap sebagai “tokoh agama” atau “guru spiritual.”
Situs Filosofis.id mengurai fenomena ini dalam judul “Dari Mimbar ke Layar: Otoritas Keagamaan dalam Bayang-Bayang Algoritma”. Karya yang tak eksplisit mencantumkan nama penulisnya ini hendak menunjukkan bagaimana popularitas digital dapat menggeser otoritas tradisional. Seorang influencer dengan jutaan pengikut bisa lebih dipercaya daripada seorang tokoh agama yang telah bertahun-tahun mengajar di komunitas-komunitas keagamaan, hanya karena algoritma lebih sering menampilkan kontennya.
Di sisi lain, hadir pula fenomena bahwa generasi muda, khususnya Gen Z dan Alpha, semakin mengandalkan media sosial sebagai sumber utama informasi keagamaan. Soleh Hasan Wahid dalam esai berjudul "Ketika Otoritas Keagamaan Bergantung pada Algoritma" dalam situs Kumparan.com mencatat bahwa mereka lebih percaya pada konten yang muncul di beranda TikTok atau Instagram daripada pada kitab klasik atau ceramah langsung. Ini menunjukkan pergeseran dari otoritas berbasis ilmu ke otoritas berbasis algoritma. Contohnya, video pendek tentang “cara salat yang benar” bisa viral meskipun tidak merujuk pada sumber yang sahih, karena tampilannya menarik dan mudah dipahami.
Fenomena ini menimbulkan tantangan serius. Bagaimana menjaga otentisitas spiritual di tengah arus algoritmik? Apakah kesalehan digital bisa menjadi pintu masuk menuju pemahaman yang lebih dalam, atau justru menjauhkan umat dari esensi agama? Di satu sisi, teknologi membuka akses yang luas terhadap ajaran agama. Namun, di sisi lain, ia juga berisiko mereduksi agama menjadi sekadar konten yang dikonsumsi secara instan dan dangkal.
Berhenti dan berpuaskah kita pada fenomena ini? Tentu tidak ! Bagi saya, pertama nian kita membutuhkan refleksi kritis dari para pemuka agama, akademisi, dan komunitas keagamaan. Etika digital keagamaan perlu dikembangkan agar konten religius tidak hanya mengejar viralitas, tetapi juga menjaga kedalaman, akurasi, dan kejujuran spiritual. Teknologi seharusnya menjadi alat pemberdayaan rohani, bukan sekadar hiburan spiritual. Jika tidak, kita berisiko menjadikan agama sebagai tontonan, bukan tuntunan.
Refleksi kritis dari para pemuka agama tidak akan cukup jika umat sendiri tidak dibekali dengan kemampuan untuk memilah dan memahami konten keagamaan secara bijak. Karena itu, langkah kedua yang perlu diinisiasi adalah membangun literasi digital spiritual yakni kemampuan umat untuk mengenali konten religius yang kredibel, memahami konteksnya, dan tidak terjebak pada narasi instan yang viral tapi dangkal.
Contohnya, seorang remaja yang terbiasa mendapatkan ajaran agama dari TikTok perlu diajak untuk memahami bahwa video berdurasi 30 detik tidak bisa menggantikan kajian mendalam tentang akidah atau fiqh dan dogma atau Kitab Hukum Kanon. Literasi ini bisa dibangun melalui pelatihan di sekolah, komunitas, bahkan khutbah Jumat dan homili di hari Minggu yang mengangkat tema-tema digital. Dengan begitu, umat tidak hanya menjadi konsumen pasif algoritma, tetapi juga pelaku aktif yang kritis dan sadar.
Langkah ketiga adalah membangun kolaborasi lintas disiplin dan platform. Pemuka agama, akademisi, kreator konten, dan pengembang teknologi perlu duduk bersama untuk merancang ekosistem digital yang sehat secara spiritual. Ini bisa berupa platform dakwah dan pewartaan iman yang mengutamakan kedalaman konten, algoritma yang memprioritaskan edukasi daripada sensasi, atau kampanye digital yang mengangkat nilai-nilai keagamaan secara kontekstual. Ini memang ‘kerja besar’ tapi tentu bisa diinisiasi oleh para pihak yang lebih ‘berwewenang’ serentak ‘bertanggung jawab’ untuknya.
Sebagai contoh, sebuah kanal YouTube yang dikelola oleh tim gabungan tokoh-tokoh agama, editor konten, dan psikolog bisa menghasilkan video yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga mendalam secara spiritual dan relevan secara sosial. Kolaborasi semacam ini akan menjembatani kesenjangan antara dunia agama dan dunia digital, serta memastikan bahwa teknologi benar-benar menjadi alat pemberdayaan rohani.
Akhirnya, mesti dikatakan bahwa kesalehan digital yang dibentuk oleh algoritma menuntut kita untuk tidak sekadar pasrah pada arus viralitas. Refleksi kritis, literasi spiritual, dan kolaborasi lintas disiplin adalah jalan menuju keberagamaan yang bermakna di era digital. Seperti yang ditegaskan oleh filsuf teknologi Neil Postman, “Teknologi tidak netral. Ia memberi dan mengambil dalam ukuran yang sama.” Karena itu, jika kita membiarkan algoritma menjadi penentu arah spiritualitas, kita berisiko kehilangan kedalaman demi keterlihatan. Sudah saatnya agama kembali menjadi tuntunan, bukan sekadar tontonan.***

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Dari Rumah Iman ke Jalan Publik, Misi Spiritual Hari Anak Nasional
Rabu, 23 Juli 2025 16:00 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler