Pemula yang menyulam hal-hal sepele menjadi jalinan kisah, cerita, tuturan, dan narasi, agar lahir pencerahan di setiap simpulnya.

Opa dan Rindu Tanah Air

9 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Pemuda Indonesia - Gambar oleh AI
Iklan

Kerinduan seorang Opa pada tanah airnya, tersisa dalam kenangan dan doa, diwariskan pada cucunya.

Udara musim gugur menyusup dari celah jendela. Di luar, dedaunan berwarna kuning kecokelatan berjatuhan, berputar sebentar lalu diam di tanah basah. Cahaya sore menembus tirai, memberi warna jingga pucat di dinding kamar. 

Seorang lelaki tua duduk di kursi goyang kayu, tubuhnya berselimut wol yang warnanya telah pudar. Di atas meja kecil terdapat sebuah pin merah putih yang sudah kusam, dan selembar piagam yang kertasnya menguning dimakan usia. Ia memandang lama, ingin memastikan bahwa semua itu bukanlah mimpi. Bahwa ia pernah muda, pernah berdiri di hadapan dunia, mewakili tanah air yang kini hanya bisa ia ingat lewat cerita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Entah sudah berapa dekade waktu berlalu sejak hari ia berangkat dengan dada membara. Saat itu ia adalah pemuda dua puluh tahunan. Seorang mahasiswa yang dipercaya untuk menimba ilmu ke luar negeri. Betapa bangganya ia, menenteng koper cokelat, menyalami ayah dan ibunya di pelabuhan. Di kejauhan, kapal besar berasap hitam sudah menunggu. Suara peluit panjang terdengar, bercampur dengan tangis lirih ibu yang berusaha disembunyikan.

“Belajarlah yang sungguh-sungguh, Nak. Pulanglah membawa ilmu,” pesan ayah dengan suara bergetar.

Ia mengangguk mantap. Masa depan terbentang luas di hadapannya dan ia percaya tanah air akan selalu menyambut kepulangannya.

Namun sejarah tak selalu ramah.

Di negeri orang, berita tanah air datang seperti petir. Peralihan kekuasaan, tuduhan, penangkapan, daftar nama orang-orang yang dianggap musuh negara. Ia, bahkan tak tahu menahu, tiba-tiba dianggap tak layak pulang. Paspor tak lagi berlaku. Surat menyurat terhenti. Jalan pulang tertutup rapat. Ia masih ingat saat ia menangis di asrama, tak percaya bahwa sebuah garis politik bisa merenggut hak seorang anak untuk kembali ke pangkuan ibunya. 

Tahun berganti tahun. 

Kemarahan lama-lama membeku, berubah menjadi luka yang tak berdarah. Ia bekerja seadanya, menikah dengan sesama perantau, punya anak, lalu cucu.

Namun ada kenangan yang tak pernah pudar: kerinduan akan bau tanah basah selepas hujan, suara adzan di langgar dekat sawah, aroma teh yang diseduh ibu disuguhkan bersama singkong goreng panas. Semua itu ia simpan rapat di dada, takut kalau diceritakan malah terasa semakin jauh.

Senja itu, si lelaki tua menuangkan teh dari teko kecil. Uapnya naik perlahan, membawa aroma samar yang membuat dada bergetar. Teh celup di negeri ini tak pernah benar-benar sama. Yang ia rindukan adalah teh tubruk dalam poci tanah liat, dengan gula batu yang beruap wangi, diminum di beranda rumah selepas magrib, diselingi bunyi jangkrik di pematang sawah. Ia meneguk pelan, seolah ingin menemukan kembali rasa itu di dasar cangkir.

“Seperti ada kampung di dalam airnya,” gumamnya lirih.

Dari jendela, ia memandang deretan gedung apartemen tua berwarna abu-abu pucat. Dindingnya retak halus, peninggalan masa lampau ketika kota ini masih di bawah satu bendera lain. 

Jalanan tampak sepi, hanya beberapa orang berjaket tebal berjalan cepat, langkah mereka terpantul di trotoar batu yang dingin. Dikejauhan, menara kuno gereja berdiri diam, sementara udara membawa aroma samar batu bata basah yang baru saja diguyur gerimis. Lelaki tua itu tahu, ia sudah menjadi bagian dari kota ini. Tapi jauh di sanubarinya tetap tertambat akan sawah dan jalan desa tanah kelahirannya.

Cucunya yang berusia sepuluh tahun datang mendekat, duduk di karpet sambil menggambar. Ia lebih lancar berbicara bahasa Jerman daripada bahasa Indonesia yang sering ia dengar dari kakeknya. Dengan polos dia bertanya.

“Opa, warum vermisst du noch deine Heimat? Bukannya Opa sudah tinggal di sini… kan?”

(Opa, kenapa masih rindu tanah air Opa? Bukannya Opa sudah tinggal di sini...kan?)

Senyum tipis memgembang di wajah kakek. Ia menjawab dengan bahasa Indonesia yang masih setia ia ucapkan.

"Rindu itu tidak bisa hilang, Mein Enkelchen . Tanah air itu seperti rumah pertama. Walau Opa tinggal di sini sekarang, rumah lama tetap Opa rindukan. Di sanalah Opa lahir, besar, dan belajar menyebut nama Tuhan. Itu tak pernah hilang dari hati."

Anak itu membayangkannya. Ia memang tidak lagi fasih berbahasa Indonesia, namun ia mengerti makna jawaban kakeknya. Merespon dengan bahasa campuran, seperti sedang merenda jembatan di antara dua dunia.

“Juga…ich habe zwei Heimatländer, Opa.Dua, ja?”

(Juga… aku punya dua tanah air, Opa? Dua ya?)

Sang kakek terkekeh, matanya berkaca-kaca.

"Ya, Mein Enkelchen . Kau beruntung punya dua. Tapi kau harus ingat, yang satu ini pernah jadi tempat Opa dilahirkan. Jangan sampai hilang dari ingatanmu."

Mendengar itu, si cucu tersenyum kecil dan kembali menggambar. Kali ini ia menulis kata rindu dengan huruf besar di sudut kertasnya, meski ejaannya masih terbata-bata.

Kini, di usia yang melewati delapan puluh tahun, lelaki tua itu sudah bisa tersenyum ketika mengenang masa lalunya.

“Hidup memang begini, Nak,” katanya pelan. “Dulu Opa ingin pulang, tapi tidak bisa. Sekarang Opa sudah boleh pulang, tapi badan Opa tidak kuat lagi.”

Ia telah memaafkan semuanya. Tak ada lagi kemarahan pada sejarah, pada pemerintah, bahkan pada orang-orang yang menutup pintu untuknya. Ia sadar, setiap bangsa punya luka. Dan ia memilih berdamai dengan luka itu. Yang tersisa hanyalah kerinduan, sebuah rasa rindu yang tak lagi menuntut, hanya ingin dikenang.

Sementara sayup-sayup, terdengar alunan musik. Seorang tetangga muda, orang Indonesia generasi baru, tengah berlatih paduan suara di apartemen seberang, dengan jendela yang terbuka. Lagu itu, meski samar, jelas tak asing.

“Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya...”

Suaranya mengalun masuk ke kamar opa yang sepi, terbawa angin sore di antara gedung-gedung tua. Tubuh rapuh itu bergetar. Air matanya jatuh tanpa disadari.

Setiap bait lagu bagai membuka jendela kenangan. Tercium kembali aroma sawah di musim panen. Terdengar suara riang teman-teman masa kecil di sungai desa. Dan ia pun serasa berlari lagi di lapangan tanah, bermain bola tanpa alas kaki.

Begitu lantunan lagu sampai ke bait 

“Disana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda...”

Dadanya terasa sesak. Bayangan wajah ibunya yang dulu tersenyum melepasnya seolah hadir kembali di pelupuk mata. Tempat kelahiran muncul sebagai kenangan samar. Kampung halaman yang mungkin takkan pernah lagi ia injak dengan kakinya, kecuali dalam ingatan yang terus berdenyut di hatinya. Namun ia tidak larut dalam duka. 

“...tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata.”

Air matanya kembali menetes, kali ini bersama senyum yang tulus. Ia sadar, pulang mungkin hanya akan jadi impian yang tersisa di kepala. Namun tanah air tidak pernah benar-benar hilang. Tanah air itu ada di dada. Dalam doa, dalam langkah, dan dalam setiap cerita yang ia titipkan pada cucunya.

Dengan tangan gemetar, kakek meraih pin kecil dan piagam tua di meja. Dari laci, ia juga mengeluarkan sebuah paspor tua yang sampulnya sudah usang, sudutnya mengelupas. Halamannya tertera cap tunggal, namun tanda berlakunya sudah lama mati. Ia melihatnya sebentar, seolah berbicara dengan dirinya yang dulu. Seorang pemuda penuh harapan yang berangkat dari tanah air.

Perlahan-lahan, ia memasukkan pin, piagam, dan paspor itu ke dalam sebuah kotak kayu, lalu memanggil cucunya yang sedang bermain.

“Nak, simpan ini baik-baik,” katanya lembut. "Pin dan piagam ini dulu opa dapat ketika masih muda. Dan paspor ini... meski sudah mati, ia pernah menjadi tanda bahwa opa bagian dari negeri kita. Kalau kelak kau dewasa, bawa ini ke tanah air. Katakan pada mereka, meski opa tak pulang, hatinya tak pernah pergi."

Malam turun perlahan. Lampu jalan temaram jatuh di antara pepohonan meranggas. Kota kecil ini telah banyak berubah dari saat pertama kali lelaki tua itu menetap, namun kesunyian malamnya masih sama. Hanya suara angin menyapu dedaunan kering, bercampur derak kereta api yang sesekali terdengar dari kejauhan.

Lagu Indonesia Pusaka masih terngiang di kepalanya, bahkan setelah suara paduan suara tetangga berhenti. Ia bersandar, menutup mata. Senyum tetap terukir di wajahnya.

Kursi goyang itu berderit pelan, sementara daun-daun terakhir jatuh satu per satu. Dan dalam musim gugur yang tenang ini, ia tahu: meski raga mungkin berakhir di tanah asing, hatinya akan selalu pulang ke negeri tempat ia pertama kali melihat dunia.

Tanah air itu, meski jauh, tetap berdegup di dalam dirinya.

(ZA'25)

 

Ket:

Mein Enkelchen = cucu kecilku. Biasanya merupakan panggilan sayang kepada cucu laki-laki. 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rini Elwani

Pemula

0 Pengikut

img-content

Saudara Satu Jangkar

Minggu, 14 September 2025 08:08 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler