Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Aspal Buton: Anugerah Alam yang Disia-siakan Oleh Negerinya Sendiri

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Buton
Iklan

Seharusnya pemimpin negeri ini menaruh keberanian pada Aspal Buton. Jadikan ia sebagai tonggak swasembada infrastruktur.

***

Indonesia sering berbangga diri sebagai negeri kaya sumber daya alam. Dari emas, nikel, batu bara, hingga minyak bumi, semuanya disebut sebagai berkah Allah. Namun ada satu anugerah besar yang seakan dilupakan: Aspal Buton. Dunia tahu, Indonesia memiliki cadangan aspal alam terbesar di dunia, tetapi ironisnya, Indonesia sendiri lebih suka mengimpor aspal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Inilah anomali paling nyata dalam sejarah pengelolaan sumber daya bangsa. Negara lain mati-matian menjaga setiap jengkal kekayaannya, sementara Indonesia rela membiarkan Buton tidur panjang. Seolah-olah cadangan aspal itu tidak pernah ada. Dan tragedi ini berlangsung puluhan tahun tanpa henti.

Bayangkan, aspal Buton adalah harta karun yang bisa menopang pembangunan infrastruktur nasional. Setiap jalan tol, setiap bandara, setiap pelabuhan bisa berdiri kokoh dengan aspal milik sendiri. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, jalan-jalan kita dilapisi aspal impor. Seakan kedaulatan ekonomi ini tidak pernah menjadi prioritas.

Apakah Indonesia satu-satunya negara di dunia yang rela mengabaikan kekayaan alamnya? Kemungkinan besar, iya. Negara lain tidak akan pernah mengizinkan hal semacam ini terjadi. Tetapi di Indonesia, seakan menjadi tradisi panjang: kekayaan besar dipersembahkan kepada kepentingan asing.

Pulau Buton bukan sekadar pulau kecil di Sulawesi Tenggara. Ia adalah simbol kedaulatan yang terlupakan. Cadangan aspalnya terbesar di dunia, tetapi rakyatnya tetap hidup sederhana. Inilah wajah ketimpangan yang sangat menyakitkan: kaya sumber daya, miskin kebijakan.

Ironi ini semakin kelam ketika kita menyadari betapa banyak uang yang mengalir deras keluar negeri. Triliunan rupiah setiap tahun dihabiskan hanya untuk impor aspal. Padahal uang itu bisa membiayai industri hilir di Buton, membuka lapangan kerja baru, dan menggerakkan ekonomi lokal. Tetapi pilihan itu tidak pernah diambil. Mengapa?

Pertanyaannya: mengapa Indonesia begitu malas memanfaatkan kekayaannya sendiri? Apakah benar ada mafia impor aspal yang lebih berkuasa dari negara? Apakah pemimpin kita terlalu nyaman dengan status quo? Semua pertanyaan ini hanya menambah luka kolektif bangsa.

Setiap kali pemerintah bicara hilirisasi, aspal Buton tidak pernah masuk dalam daftar prioritas. Nikel diagungkan, bauksit dibanggakan, tetapi aspal? Seolah-olah ia tidak punya nilai. Padahal, tanpa aspal, tidak ada jalan menuju pembangunan infrastruktur.

Aspal Buton bukan hanya material jalan, ia adalah simbol kemandirian. Dengan mengolahnya, Indonesia bisa berkata: infrastruktur kami berdiri di atas kaki sendiri. Namun kenyataannya, kita memilih berdiri di atas kaki asing. Bukankah ini bentuk penjajahan gaya baru?

Lebih ironis lagi, negara-negara lain mulai melirik Buton. Mereka tahu nilai strategisnya. Jika Indonesia terus diam, bukan tidak mungkin suatu saat asing yang menguasainya. Dan kita hanya jadi penonton di tanah sendiri.

Selama 50 tahun, tragedi ini berlangsung tanpa solusi. Pemerintah datang dan pergi, tetapi kebijakan tidak pernah berubah. Semua sibuk membanggakan pembangunan, tanpa peduli pondasi materialnya masih pinjaman dari luar negeri. Inilah wajah ketidakjujuran pembangunan.

Rakyat Buton pun hanya bisa menatap dengan getir. Mereka tahu, tanah tempat mereka berpijak menyimpan emas hitam yang luar biasa. Tetapi mereka tetap hidup dalam keterbatasan. Bagaimana mungkin anugerah sebesar itu hanya menjadi dongeng di tanah kelahirannya sendiri?

Ketika kita bicara kedaulatan, aspal Buton adalah ujian nyata. Jika bangsa ini tidak bisa mengelola kekayaannya sendiri, bagaimana bisa bicara tentang Indonesia Emas 2045? Semua hanya retorika kosong. Sebab emas tidak akan pernah tercapai jika pijakannya rapuh.

Seharusnya pemimpin negeri ini menaruh keberanian pada Aspal Buton. Jadikan ia sebagai tonggak swasembada infrastruktur. Tetapi yang kita saksikan hanyalah diam, ragu, dan kompromi dengan kepentingan asing. Apakah bangsa ini kehilangan nyali?

Dunia akan mencatat ironi ini sebagai salah satu tragedi besar abad ini. Negeri dengan cadangan aspal terbesar justru menjadi pengimpor. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, ini adalah pengkhianatan terhadap anugerah Allah. Dan pengkhianatan semacam ini harus segera dihentikan.

Swasembada aspal 2030 bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Tidak ada alasan untuk terus menunda. Setiap hari yang terbuang adalah kerugian besar bagi bangsa. Tragedi ini harus segera diakhiri dengan keberanian politik.

Aspal Buton adalah amanah yang dititipkan Allah untuk bangsa Indonesia. Menyia-nyiakannya berarti mengkhianati generasi mendatang. Rakyat tidak boleh diam selamanya, sebab diam hanya memperpanjang penderitaan. Inilah saatnya bangsa ini bangun dari tidur panjangnya dan menghentikan tragedi bangsa yang sangat memalukan ini.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler