Media Sosial dan Kecemasan Remaja di Era Digital
6 jam lalu
Dalam sebuah wawancara dengan sekelompok remaja di kota metropolitan, mereka mengaku tidak mampu melepaskan diri dari layar ponsel
***
Wacana ini ditulis oleh Jalwa Azna Sitompul, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Nadia Saphira, Amanda Aulia Putri, Naysila Prasetio, Winda Yulia Gitania Br Sembiring, dan Annisa Br Bangun dari IKM 5 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Dalam sebuah wawancara dengan sekelompok remaja di kota metropolitan, mereka mengaku tidak mampu melepaskan diri dari layar ponsel bahkan untuk beberapa menit. Aktivitas harian mereka selalu disertai dengan scroll feed media sosial, mengunggah cerita, dan menelusuri konten teman-teman. Cerita ini menunjukkan fenomena yang semakin jamak. Media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup remaja modern. Platform digital menyediakan ruang untuk interaksi sosial, hiburan, dan pembentukan identitas online, tetapi juga menghadirkan tantangan psikologis yang signifikan.
Remaja menghadapi tekanan yang kompleks di lingkungan digital. Platform seperti Facebook, Instagram, dan Snapchat memungkinkan mereka membangun jejaring sosial. Di sisi lain, platform ini menampilkan standar sosial yang sering tidak realistis. Foto dan video yang menampilkan kehidupan glamor, tubuh ideal, atau keberhasilan akademik dapat membuat remaja merasa tidak memadai. Tekanan ini memicu kecemasan dan rasa rendah diri. Perasaan takut tertinggal atau tidak mengikuti tren, yang dikenal sebagai FOMO, memperkuat tekanan psikologis. Ketika melihat teman-teman mereka berpartisipasi dalam kegiatan populer, remaja merasa tersisih, sehingga meningkatkan rasa cemas dan isolasi sosial.
Ancaman lain dari penggunaan media sosial adalah cyberbullying, yaitu intimidasi melalui platform digital. Remaja yang menjadi korban mengalami tekanan psikologis yang berat, termasuk kecemasan, depresi, dan keinginan untuk menarik diri dari interaksi sosial. Intensitas dampak ini diperkuat oleh sifat anonim dan permanen konten yang dibagikan secara online sehingga efek traumatisnya sering lebih lama daripada bullying konvensional.
Penggunaan media sosial juga berdampak pada pola tidur remaja. Banyak yang menunda waktu tidur demi aktivitas online, yang berhubungan langsung dengan peningkatan kecemasan dan stres. Kondisi ini diperparah oleh kecanduan media sosial. Ketergantungan pada validasi sosial melalui jumlah like, komentar, atau pengikut memicu perasaan cemas ketika ekspektasi tidak terpenuhi. Waktu yang dihabiskan untuk media sosial juga mengurangi kesempatan melakukan kegiatan fisik atau interaksi sosial tatap muka yang sehat.
Solusi untuk mengurangi dampak negatif media sosial harus bersifat multidimensional. Remaja perlu dibekali kesadaran akan penggunaan media sosial yang sehat, memahami bahwa konten yang mereka lihat tidak selalu mencerminkan realitas, serta mampu menetapkan batasan waktu untuk aktivitas online. Interaksi sosial di dunia nyata harus didorong, dengan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga atau teman. Ketergantungan pada media sosial dapat diminimalisir dengan cara ini. Regulasi platform digital juga penting, misalnya melalui kebijakan yang lebih ketat terhadap cyberbullying dan penyebaran konten yang berbahaya bagi kesehatan mental remaja.
Remaja berada dalam fase transisi yang penuh sensitivitas secara fisik, psikologis, dan sosial. Mereka bukan anak-anak, tetapi juga belum sepenuhnya dewasa, sehingga rentan terhadap pengaruh eksternal termasuk tekanan dari media sosial. Kecemasan sosial muncul ketika individu merasa takut dievaluasi negatif oleh lingkungan. Privasi memainkan peran penting dalam intensitas kecemasan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang menghabiskan waktu tinggi di media sosial memiliki hubungan yang kuat dengan gejala kecemasan. FOMO diperkuat oleh kebiasaan penggunaan yang berlebihan.
Media sosial memiliki dua sisi yang saling bertentangan. Platform ini memperluas jaringan sosial dan menyediakan hiburan. Di sisi lain, tanpa pengelolaan yang bijak, media sosial dapat meningkatkan kecemasan, mengganggu tidur, dan memengaruhi kesejahteraan psikologis remaja. Oleh karena itu, remaja harus belajar menetapkan batasan waktu, mengevaluasi daftar teman dan pengikut, serta menghapus koneksi yang memberi dampak negatif terhadap kesejahteraan mereka. Kesadaran, pendidikan, dan intervensi dari keluarga, sekolah, maupun platform digital menjadi kunci untuk menyeimbangkan manfaat dan risiko media sosial.
Pada akhirnya, membangun keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata bukan hanya soal disiplin individu tetapi juga investasi jangka panjang terhadap kesehatan mental generasi muda. Tanpa kesadaran ini, media sosial berpotensi menjadi sumber kecemasan yang terus menerus. Sebaliknya, dengan pendekatan yang tepat, platform digital dapat memperkaya interaksi sosial dan pengalaman hidup. Bijaklah dalam menjelajahi dunia maya, karena kesehatan mental remaja adalah modal fundamental bagi kualitas hidup mereka di masa depan.
Corresponding Author: Jalwa Azna Sitompul
([email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler