Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Aspal Buton Korban Feodalisme Politik yang Belum Terpecahkan

17 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Suara Utama Budaya Feodalisme dan Kelas Sosial - Suara Utama ID
Iklan

Feodalisme politik juga mengikat birokrasi. Kreativitas dan keberanian kalah oleh perintah atasan yang setia pada kepentingan patron.

***

Aspal Buton adalah anugerah alam yang tidak dimiliki negara lain, tetapi di Indonesia ia tetap menjadi harta karun terpinggirkan. Di balik cadangan ratusan jutaan ton, kekayaan ini terbelenggu oleh kepentingan elite yang lebih suka bermain impor. Feodalisme politik mengakar seperti akar beringin tua, menahan potensi aspal Buton agar tetap tergantung pada pusat kekuasaan. Di sini, alam berteriak, tetapi politik menutup telinga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Feodalisme politik lahir dari tradisi patron-klien, di mana pemimpin lokal tunduk pada restu Jakarta. Para kepala daerah terjebak dalam mata rantai janji jabatan dan dukungan dana kampanye. Dalam permainan ini, keputusan ekonomi bukan soal logika, melainkan soal siapa yang paling dekat dengan lingkar kekuasaan. Aspal Buton menjadi pion kecil di papan catur kekuasaan nasional.

Setiap pergantian rezim selalu membawa jargon kedaulatan, tetapi praktiknya tidak pernah menyentuh akar persoalan. Impor aspal terus berjalan, meski data cadangan aspal Buton cukup untuk menopang kebutuhan aspal nasional. Di meja rapat kementerian, kepentingan kontraktor besar lebih lantang daripada suara masyarakat Buton. Feodalisme politik memastikan status quo ini terus hidup.

Di Buton sendiri, politik lokal pun tidak kalah feodal. Para pemimpin daerah sibuk menjaga dinasti, menukar kebijakan dengan loyalitas. Proyek infrastruktur dijadikan komoditas politik untuk mengamankan kursi, bukan untuk menghidupkan pabrik ekstraksi aspal Buton. Akhirnya, aspirasi rakyat hanya menjadi hiasan pidato.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa sumber daya alam bukan sekadar soal tambang, tetapi juga kekuasaan. Elite pusat mengendalikan regulasi, sementara elite daerah menunggu limpahan dana. Tanpa keberanian memutus mata rantai ini, aspirasi swasembada aspal 2030 hanya akan menjadi slogan. Feodalisme politik adalah tembok tidak kasat mata yang lebih keras dari beton.

Ironisnya, banyak pejabat bangga berbicara tentang “hilirisasi” di forum internasional. Namun, ketika bicara aspal Buton, mereka memilih diam atau memutar kata. Mereka takut merusak hubungan patronase yang memberi mereka kenyamanan politik. Kepentingan nasional pun dikorbankan di altar feodalisme.

Perusahaan swasta yang mencoba membangun pabrik di Buton sering menemui jalan buntu. Perizinan berbelit dan lobi yang mahal menjadi saringan yang hanya bisa ditembus oleh kroni kekuasaan. Feodalisme menjadikan akses ekonomi sebagai hadiah politik, bukan hak publik. Inilah sebabnya para investor serius lebih suka mundur daripada terbakar di permainan kotor.

Rakyat Buton merasakan dampak langsung dari kebuntuan ini. Lapangan kerja tidak kunjung terbuka, sementara jalan-jalan desa tetap berlubang meski pulau mereka menyimpan aspal terbaik dunia. Ketimpangan ini adalah bukti nyata bagaimana feodalisme meminggirkan rakyat kecil. Mereka hanya menjadi penonton dari drama politik yang tidak berkesudahan.

Di sisi lain, para kontraktor jalan nasional tetap mengandalkan aspal impor. Mereka memiliki jaringan yang telah lama berakar di kementerian dan BUMN. Dengan demikian, setiap kebijakan impor aspal menjadi ladang bisnis yang sulit disentuh. Buton pun tetap menjadi “tambang tidur panjang” yang sengaja terus dibiarkan.

Feodalisme politik juga mengikat birokrasi. Pegawai negeri yang berani menawarkan terobosan sering disingkirkan atau dirotasi. Kreativitas dan keberanian kalah oleh perintah atasan yang setia pada kepentingan patron. Sistem ini menutup pintu bagi ide-ide segar yang bisa mengubah nasib aspal Buton.

Media nasional kerap hanya menyoroti isu ini secara sepintas. Liputan mendalam jarang muncul karena pemilik media pun memiliki kepentingan politik. Narasi yang seharusnya menggugah publik tenggelam oleh hiruk-pikuk berita populer. Feodalisme politik tidak hanya menguasai birokrasi, tetapi juga ruang informasi.

Akademisi dan peneliti seringkali terjebak dalam pendanaan riset yang bergantung pada pemerintah. Kajian kritis tentang aspal Buton tidak jarang berhenti di seminar, tanpa tindak lanjut kebijakan. Ketika ilmu pengetahuan dibelenggu oleh patronase, maka data hanyalah dekorasi. Inilah tragedi intelektual yang menambah panjang daftar kegagalan.

Rakyat Buton bukannya pasrah, tetapi suara mereka kerap teredam oleh janji-janji pemilu. Tiap lima tahun, para kandidat datang membawa visi swasembada aspal, lalu menghilang setelah kursi diraih. Feodalisme membuat ingkar janji terasa wajar karena sanksi politik nyaris tidak ada. Siklus ini menjerat generasi demi generasi.

Padahal, potensi ekonomi dari pemanfaatan aspal Buton sangat besar. Selain memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia bisa menjadi eksportir regional. Namun, kebijakan yang seharusnya mendukung malah terhambat oleh kompromi politik. Feodalisme menukar kemakmuran rakyat dengan keamanan kekuasaan.

Harapan perubahan sebenarnya masih ada. Generasi muda Buton semakin berani bersuara dan menuntut transparansi. Namun, tanpa dukungan kebijakan yang tegas dari pusat, gerakan ini rawan dikooptasi. Feodalisme politik pandai memelihara status quo dengan menawarkan iming-iming posisi dan proyek.

Untuk memutus mata rantai ini, diperlukan kepemimpinan nasional yang berani menabrak kepentingan lama. Kebijakan yang berpihak pada sumber daya lokal harus ditegakkan tanpa kompromi. Transparansi dan desentralisasi nyata menjadi kunci. Tanpa itu, aspal Buton akan tetap menjadi korban abadi.

Aspal Buton bukan hanya soal jalan, tetapi simbol kedaulatan yang dirampas. Feodalisme politik menjadikannya cermin kegagalan kita memerdekakan ekonomi dari belenggu kolonialisme internal. Selama patronase masih menjadi mata uang politik, potensi Buton akan terus dipasung. Pertanyaannya, sampai kapan bangsa ini rela terus diperbudak oleh sistem yang kita terus pelihara sendiri?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indrato Sumantoro

Pemerhati Aspal Buton

6 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler