Kolaborasi Lintas Sektor dalam Dekonstruksi Stigma Kesehatan Menta
1 jam lalu
Kesehatan mental kerap menjadi aspek yang terpinggirkan dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat, padahal ia merupakan bagian integral
***
Wacana ini ditulis oleh Zahra Aliyah Verisah, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Kesehatan mental kerap menjadi aspek yang terpinggirkan dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat, padahal ia merupakan bagian integral dari kesejahteraan manusia secara utuh. Realitas menunjukkan bahwa hingga kini banyak kalangan masih memandang gangguan mental sebagai sesuatu yang tabu, memalukan, atau bahkan ditafsirkan sebagai tanda kelemahan karakter dan kurangnya iman.
Persepsi yang keliru ini tidak hanya menumbuhkan rasa terasing dan salah dimengerti bagi mereka yang mengalaminya, tetapi juga membuat mereka enggan mencari pertolongan profesional. Pandangan semacam itu sejatinya berbahaya, karena memperberat penderitaan psikis dan mendorong individu untuk menutup-nutupi kondisinya, yang akhirnya dapat memperparah gangguan hingga mengganggu fungsi sosial, produktivitas, serta kualitas hidup. Tidak jarang, mereka yang sesungguhnya membutuhkan pertolongan justru tidak memperoleh dukungan, sebab lingkungannya gagal memahami bahwa depresi, kecemasan, stres berat, atau trauma adalah kondisi medis nyata yang memerlukan penanganan sebagaimana penyakit fisik lainnya.
Ketika kesehatan mental tidak diposisikan setara dengan kesehatan fisik, yang muncul adalah ketimpangan layanan, minimnya fasilitas, keterbatasan tenaga ahli, dan rendahnya literasi masyarakat, yang kesemuanya menegaskan betapa masih banyak pekerjaan besar yang harus diselesaikan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat lahir dan batin. Oleh karena itu, perubahan paradigma menjadi sangat mendesak, dengan membangun kesadaran bahwa setiap individu berhak memperoleh dukungan, perlindungan, dan akses terhadap layanan kesehatan mental yang aman, inklusif, serta mudah dijangkau. (Widiya A, 2019)
Stigma negatif yang melekat pada gangguan mental masih menjadi hambatan mendasar dalam upaya memperoleh layanan kesehatan jiwa. Dalam kehidupan sosial, penderita gangguan mental sering kali dikucilkan, dianggap tidak berdaya, atau bahkan dijauhi, sehingga mereka merasa takut, malu, dan enggan mengakui kondisi yang dialami. Padahal, depresi, kecemasan, maupun gangguan stres pascatrauma merupakan penyakit medis yang membutuhkan intervensi profesional sebagaimana halnya penyakit fisik. Selama stigma ini terus dilestarikan, beban penderita akan semakin berat, memperpanjang masa derita, dan menjauhkan mereka dari solusi yang semestinya. (Munira L dkk, 2023)
Selain stigma, akses terhadap layanan kesehatan mental di Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Ketersediaan tenaga profesional, baik psikolog maupun psikiater, sangat terbatas dan sebagian besar terkonsentrasi di kota-kota besar. Di wilayah terpencil, fasilitas layanan kesehatan mental hampir tidak tersedia, membuat warga setempat kesulitan menjangkau pertolongan. Layanan yang ada pun lebih banyak tersentralisasi di rumah sakit besar, sehingga bagi masyarakat pinggiran aksesnya sangat terbatas.
Kondisi ini diperburuk oleh biaya konsultasi yang relatif tinggi dan minimnya sosialisasi mengenai keberadaan layanan tersebut. Akibatnya, banyak penderita tidak mendapat penanganan sejak dini, padahal intervensi awal sangat menentukan keberhasilan proses pemulihan. (Mutiara S, 2025)
Untuk menjawab persoalan ini, edukasi kesehatan mental kepada masyarakat harus dipandang sebagai prioritas strategis. Kampanye penyadaran yang dilakukan secara konsisten dapat mengikis stigma, memperluas pemahaman bahwa gangguan mental dapat diatasi, sekaligus mendorong keberanian individu untuk mencari pertolongan. Media massa dan institusi pendidikan memegang peran besar dalam menyebarkan informasi yang akurat serta menghapus stereotip yang keliru. Literasi kesehatan mental sejak usia sekolah akan membekali generasi muda dengan kepekaan, empati, dan kepedulian terhadap kesehatan mental diri maupun orang lain.
Di samping itu, dukungan sosial dari keluarga, sahabat, dan komunitas memiliki peran yang sangat menentukan dalam proses pemulihan. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang memperoleh dukungan emosional lebih mampu menghadapi tekanan dan lebih terdorong untuk mengakses layanan kesehatan dibandingkan mereka yang terisolasi.
Oleh sebab itu, membangun lingkungan yang inklusif dan suportif menjadi langkah penting dalam mempercepat pemulihan sekaligus menurunkan risiko kekambuhan. Hal ini menuntut adanya edukasi bagi keluarga agar mampu memberikan dukungan yang tepat dan efektif kepada anggota yang mengalami gangguan mental. (Khoiriyah dkk, 2023)
Dalam konteks kebijakan, pemerintah memiliki tanggung jawab utama untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan mental di Indonesia. Upaya ini mencakup peningkatan jumlah tenaga ahli, perluasan akses layanan hingga ke puskesmas dan fasilitas kesehatan primer, serta integrasi layanan kesehatan mental ke dalam sistem pelayanan dasar agar masyarakat dapat memperoleh pertolongan tanpa harus bergantung pada rumah sakit besar. Regulasi yang kuat, dukungan anggaran, serta program pembiayaan yang berpihak pada kelompok rentan menjadi kunci agar layanan ini dapat diakses secara adil dan menyeluruh. (Mewani dkk, 2025)
Peran media dalam menghapus stigma kesehatan mental juga tidak boleh diabaikan. Dengan kekuatan membentuk opini publik, media dapat menjadi sarana untuk menghadirkan informasi yang mendidik dan menyingkirkan narasi sensasional yang memperburuk stigma. Penyajian yang berimbang dan edukatif akan menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa gangguan mental adalah bagian dari isu kesehatan yang sah dan perlu ditangani secara serius. Media juga dapat menjadi wadah strategis bagi kampanye kesehatan mental yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat. (Andi dkk, 2024)
Selain itu, lembaga pendidikan perlu didorong untuk memasukkan materi kesehatan mental ke dalam kurikulum formal. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya memahami pentingnya menjaga kesehatan jiwa, tetapi juga mampu mengembangkan pola hidup yang lebih sehat secara psikis. Sementara itu, pemerintah berkewajiban memperkuat kebijakan dan memastikan alokasi anggaran yang memadai agar layanan kesehatan mental tersedia secara merata dan terjangkau. Kombinasi antara pendidikan formal, dukungan keluarga, media yang berperan aktif, serta sistem layanan yang inklusif akan membentuk fondasi masyarakat yang lebih sehat, baik secara mental maupun fisik. (Fitriani dkk, 2025)
Corresponding Author: Zahra Aliyah Verisah (email: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler