Hati-hati, Minuman Manis adalah Rayuan penuh Resiko Kesehatan
6 jam lalu
Satu botol soda ukuran 350 ml saja bisa memuat 35–40 gram gula, setara delapan hingga sepuluh sendok teh.
***
Wacana ini ditulis oleh Adzra Muzhaffirah, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Corresponding Author: Adzra Muzhaffirah (email: [email protected])
Dalam sebuah percakapan singkat dengan seorang mahasiswa di kantin kampus, ia berkata dengan nada ringan, “Kalau haus, saya lebih pilih es teh manis daripada air putih. Rasanya lebih enak dan bikin segar cepat.” Ungkapan sederhana itu menggambarkan fenomena sosial yang jauh lebih luas: air putih, yang seharusnya menjadi pilihan utama, kian tersisih oleh minuman berpemanis yang kini membanjiri kehidupan sehari-hari.
Siang yang terik sering menjadi panggung bagi minuman manis dingin untuk tampil menggoda. Botol soda, kopi susu instan, teh dalam kemasan, minuman energi, hingga jus buah berlabel “sehat” dengan mudahnya menguasai rak minimarket dan kantin. Iklan-iklan menampilkan janji kebahagiaan, keakraban, bahkan citra gaya hidup sehat yang meyakinkan. Minuman berpemanis tidak lagi sekadar produk, melainkan simbol modernitas. Namun, di balik kesegaran sesaat, ada resiko kesehatan yang dapat menjadi penentu antara hidup sehat atau jalan menuju penyakit kronis.
Air putih, yang sering dianggap membosankan karena tanpa rasa dan aroma, justru menyimpan kekuatan yang mendasar. Tubuh manusia terdiri sekitar 60 persen dari air, dan hampir semua fungsi vital bergantung padanya. Dari pencernaan, peredaran darah, pengaturan suhu, hingga kerja otak, semua memerlukan kecukupan cairan. Tidak ada zat tambahan, tidak ada kalori tersembunyi, hanya kebutuhan murni yang dipenuhi. Kesederhanaan inilah yang membuat air putih menjadi benteng utama kesehatan.
Sebaliknya, minuman manis adalah jebakan halus yang penuh rayuan. Satu botol soda ukuran 350 ml saja bisa memuat 35–40 gram gula, setara delapan hingga sepuluh sendok teh. World Health Organization (2015) dengan tegas menyatakan konsumsi gula tambahan sebaiknya tidak melebihi 10 persen dari total energi harian, bahkan lebih ideal bila di bawah 5 persen. Dengan kata lain, hanya dengan satu botol saja, batas aman itu sudah terlampaui.
Bahaya minuman berpemanis tidak sekadar soal kalori. Gula cair bekerja berbeda dibanding gula dalam makanan padat. Ia tidak menimbulkan rasa kenyang, sehingga orang tetap makan seperti biasa. Akibatnya, kalori menumpuk tanpa disadari, yang dalam jangka panjang menuntun pada obesitas dan kelebihan berat badan. Penelitian Gorski & Roberto (2015) bahkan menegaskan bahwa minuman manis adalah penyumbang utama epidemi obesitas global, fenomena yang kini merambah negara-negara berkembang seperti Indonesia yang ironisnya menghadapi beban ganda: meningkatnya obesitas di satu sisi, dan stunting di sisi lain.
Mengapa masyarakat begitu sulit lepas dari jerat minuman berpemanis? Jawabannya ada pada strategi industri. Perusahaan sengaja meracik produk agar terasa adiktif, menggabungkan gula, asam, dan kafein untuk menciptakan sensasi yang memikat. Promosi mereka membungkus minuman ini dengan citra persahabatan, keceriaan, bahkan kesehatan semu. Air putih, karena kesederhanaannya, tidak pernah bisa bersaing dalam hal iklan yang glamor. Tidak mengherankan jika generasi muda lebih hafal merek soda internasional dibanding pesan sederhana tentang pentingnya minum air putih.
Data di Indonesia menegaskan kegelisahan ini. Kementerian Kesehatan RI (2019) mencatat bahwa konsumsi minuman berpemanis meningkat tajam dalam satu dekade terakhir. Minimarket dan kantin sekolah menjajakan minuman tinggi gula dengan harga murah, sementara akses pada air minum layak sering kali lebih sulit. Bahkan jus kemasan yang dianggap sehat pun kerap penuh dengan gula tambahan. Pengetahuan gizi masyarakat yang masih terbatas memperburuk keadaan, menciptakan ilusi pilihan sehat yang menyesatkan.
Solusi tentu tidak bisa hanya dibebankan pada individu. Pada tingkat personal, kebiasaan sederhana memilih air putih sebagai minuman utama adalah langkah awal yang esensial. Tetapi, regulasi publik mutlak diperlukan. Beberapa negara telah mengambil langkah progresif: Meksiko dan Inggris menerapkan pajak minuman manis, ada pula kebijakan melarang iklan minuman berpemanis untuk anak-anak, serta penyediaan air minum gratis di sekolah dan ruang publik. Indonesia bisa dan seharusnya belajar dari pengalaman itu.
Rencana penerapan pajak minuman manis di Indonesia patut mendapat dukungan, sebab manfaatnya ganda: konsumsi bisa ditekan dan pendapatan negara dapat dialokasikan untuk program kesehatan. Selain itu, regulasi yang sudah ada seperti Permenkes No. 30 Tahun 2013 tentang informasi kandungan gula, garam, dan lemak harus ditegakkan lebih serius. Label gizi hanya bermanfaat jika masyarakat mampu membacanya, dan di sinilah edukasi publik harus diperkuat, khususnya di sekolah-sekolah.
Dampak minuman berpemanis bukan hanya urusan kesehatan, tetapi juga beban ekonomi keluarga. Penyakit tidak menular seperti diabetes dan jantung memerlukan biaya pengobatan tinggi yang berulang. Bagi keluarga menengah ke bawah, kondisi ini dapat menghancurkan stabilitas ekonomi, menguras tabungan, bahkan memaksa mereka berutang. Dengan demikian, pilihan sederhana seperti segelas minuman manis setiap hari sejatinya adalah keputusan yang menyangkut kesehatan sekaligus kesejahteraan.
Pada akhirnya, minuman berpemanis tidak harus dihapuskan sama sekali. Bahayanya terletak pada kebiasaan menjadikannya konsumsi rutin. Sesekali menikmati soda di acara tertentu mungkin tidak berdampak langsung, tetapi kebiasaan harian selama bertahun-tahun adalah undangan bagi berbagai penyakit kronis.
Air putih, yang tampak biasa dan tidak memiliki daya tarik iklan, justru adalah investasi kesehatan jangka panjang. Ia tidak menjanjikan kebahagiaan instan, tetapi menyelamatkan generasi dari beban penyakit dan biaya kesehatan yang melumpuhkan. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita ingin minuman dengan rasa lebih enak, tetapi apakah kita ingin masa depan yang lebih sehat.
Seperti yang pernah diungkapkan seorang pakar kesehatan masyarakat dalam wawancara lapangan, “Segelas air putih hari ini adalah perlindungan paling sederhana, tetapi paling ampuh, bagi kesehatan kita di masa depan.” Kalimat itu mencerminkan pilihan kritis yang harus kita ambil: apakah kita rela menukar kesehatan dan kehidupan yang panjang hanya demi kesegaran sesaat.
Air putih mungkin tampak sederhana, tetapi kesederhanaan itu justru menyelamatkan.
---
Corresponding Author: Adzra Muzhaffirah ([email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Merawat Jiwa di Tengah Arus Modernitas
6 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler