Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.

Membaca László Krasznahorkai,  Membaca Karya Pemenang Nobel Sastra 2025

7 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
L\xe1szl\xf3 Krasznahorkai
Iklan

Menyelami dunia gelap dan indah sastra László Krasznahorkai.

 

***

Ketika Akademi Swedia mengumumkan bahwa László Krasznahorkai menjadi penerima Hadiah Nobel Sastra 2025, banyak pembaca di seluruh dunia bertanya-tanya dari mana sebaiknya memulai membaca karya penulis asal Hungaria yang terkenal sulit dan padat itu. Untuk menjawab rasa ingin tahu tersebut, situs resmi Nobel Prize menerbitkan panduan berjudul What to Read: László Krasznahorkai, berisi beberapa rekomendasi karya yang dianggap paling mewakili kekuatan dan keunikan gaya penulis tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Panduan itu menyoroti empat novel penting—Satantango, The Melancholy of Resistance, Seiobo There Below, dan Herscht 07769—yang masing-masing menampilkan wajah berbeda dari semesta sastra Krasznahorkai. Melalui keempat karya itu, pembaca diajak menyusuri dunia yang penuh kekacauan, keindahan, dan renungan filosofis yang menantang.

Novel debutnya, Satantango, terbit pada tahun 1985, adalah pintu masuk yang tak terlupakan. Berlatar di sebuah desa terpencil di dataran rendah Hungaria, kisah ini memperlihatkan masyarakat yang hancur oleh kemiskinan dan keputusasaan. Dua orang asing, Irimiás dan Petrina, tiba di tengah desa itu dan disambut seolah mereka penyelamat. Padahal kedatangan mereka justru membuka jalan menuju kehancuran yang lebih dalam.

Narasi bergerak lambat, terperangkap dalam kabut dan lumpur yang seolah tak berujung, sementara kalimat-kalimat panjang tanpa jeda memaksa pembaca untuk tenggelam dalam suasana yang sesak dan suram. Bagi banyak pembaca, Satantango bukan sekadar novel, melainkan pengalaman eksistensial: perjalanan menembus absurditas hidup dalam dunia yang kehilangan makna. Adaptasi film epik karya Béla Tarr bahkan memperkuat reputasi novel ini sebagai salah satu karya paling kelam dalam sastra Eropa modern.

Empat tahun kemudian, Krasznahorkai menulis The Melancholy of Resistance, yang sering disebut sebagai saudaranya Satantango. Dalam kisah ini, sebuah kota kecil di Hungaria diguncang oleh kedatangan sirkus keliling yang membawa seekor paus raksasa di dalam gerbong kaca.

Kehadiran makhluk aneh itu memicu kekacauan, histeria, dan kerusuhan politik yang tak terkendali. Tokoh-tokohnya berputar dalam kepanikan dan kebingungan. Sementara bayangan kekerasan semakin menelan kota. Novel ini seperti alegori tentang keruntuhan tatanan sosial dan rapuhnya nalar manusia di tengah ketakutan kolektif.

Akademi Swedia menyebut novel ini penuh kekuatan apokaliptik, tapi juga menyiratkan keindahan dalam kehancuran. Kalimat-kalimat panjang dan ritme repetitif menghadirkan rasa tak berdaya yang memikat. Dalam dunia Krasznahorkai, tindakan sering kali diperlukan meski tak ada jaminan arti; manusia bergerak hanya untuk menegaskan keberadaannya di tengah absurditas.

Sementara dua novel awalnya berakar kuat dalam realitas sosial pasca-komunis, Seiobo There Below (2008) membawa pembaca ke wilayah yang sama sekali berbeda. Buku ini bukan lagi kisah tunggal, melainkan serangkaian 17 episode yang terhubung oleh pencarian akan keindahan dan kesempurnaan.

Salah satu episode paling terkenal menggambarkan seekor bangau putih berdiri di sungai di Kyoto, menunggu mangsa dalam diam yang abadi. Gambar itu menjadi metafora dari seluruh buku: tentang kesunyian, waktu, dan kesetiaan seorang seniman terhadap keindahan.

Di sini, Krasznahorkai meninggalkan suasana muram Hungaria dan memandang ke Timur: Jepang, Tiongkok, dan Eropa bertemu dalam perenungan spiritual yang mengingatkan pada estetika Zen. Gaya khasnya tetap hadir: kalimat panjang berliku, kesadaran akan kehancuran, dan pencarian abadi terhadap sesuatu yang tak dapat dijangkau. Banyak kritikus menyebut karya ini sebagai salah satu novel paling menakjubkan tentang seni dalam sastra modern.

Karya berikutnya yang direkomendasikan Nobel Prize adalah Herscht 07769, terbit pada 2021. Novel ini berlatar di sebuah kota kecil di Jerman timur dan berkisah tentang Florian Herscht. Seorang pria raksasa yang baik hati dan polos, yang hidupnya perlahan diseret ke pusaran kekerasan dan radikalisme.

Hal yang luar biasa, seluruh novel ini ditulis hanya dalam satu kalimat panjang sepanjang lebih dari empat ratus halaman. Tidak ada titik sampai akhir buku. Seolah pembaca dipaksa untuk menarik napas dalam satu tarikan panjang yang tak berkesudahan.

Dengan struktur ekstrem ini, Krasznahorkai menciptakan pengalaman membaca yang intens dan menegangkan. Sebuah upaya untuk meniru ritme batin manusia yang terus berjalan tanpa jeda. Tema-temanya tetap sama: kejatuhan, kebaikan yang tak berdaya, dan dunia yang perlahan kehilangan keseimbangan moral.

Keempat karya tersebut memperlihatkan garis besar estetika dan filosofi Krasznahorkai. Ia menulis dengan kesadaran penuh akan kehancuran modernitas dan absurditas hidup manusia. Dunia dalam novelnya selalu berada di ambang kiamat: baik sosial, moral, maupun spiritual. Namun di tengah kegelapan itu, selalu ada sesuatu yang menolak padam: seni, bahasa, dan kesetiaan terhadap keindahan.

Ia tidak menulis untuk memberi hiburan, melainkan untuk mengajak pembaca menatap jurang dan menemukan cahaya kecil di dalamnya. Kalimat-kalimat panjangnya sering disamakan dengan aliran kesadaran, tetapi sesungguhnya lebih menyerupai doa panjang—penuh ketegangan, kadang melelahkan, namun diakhiri dengan pencerahan yang halus.

Krasznahorkai bukan penulis yang mudah diikuti. Bahasa Inggris bahkan bukan bahasa asli karyanya, dan banyak penerjemah mengaku menghadapi tantangan luar biasa untuk mempertahankan ritme kalimat dan kompleksitas maknanya. Namun, pembaca yang bersedia bertahan akan menemukan keindahan langka dalam kesulitan itu.

Membacanya memerlukan kesabaran dan keheningan. Tidak ada jalan pintas untuk memahaminya. Setiap halaman menuntut perhatian penuh dan penghayatan mendalam. Banyak pembaca memilih untuk berhenti di tengah jalan. Akan tetapi, mereka yang bertahan sering merasa telah melewati semacam ritual: perjalanan batin menembus kekosongan.

Salah satu alasan mengapa Krasznahorkai begitu berpengaruh adalah kemampuannya menyatukan dua tradisi besar sastra dunia. Dari Eropa Tengah ia mewarisi kesuraman dan absurditas Kafka, juga kesadaran sejarah yang penuh luka seperti pada Imre Kertész. Dari Timur ia menyerap keheningan dan kontemplasi Zen, seperti terlihat jelas dalam Seiobo There Below.

Hasilnya adalah gaya yang sangat khas: perpaduan antara intensitas apokaliptik dan ketenangan spiritual. Dalam karyanya, kehancuran tidak selalu berarti akhir, melainkan kesempatan untuk melihat dunia dengan mata baru: mata yang mampu menatap kekosongan tanpa putus asa.

Bagi pembaca yang baru mengenal Krasznahorkai, banyak kritikus menyarankan untuk memulai dengan Seiobo There Below. Buku itu dianggap paling mudah diakses, karena tidak menuntut pembacaan linier dan memberikan ruang bagi jeda dan refleksi.

Setelah itu, pembaca bisa melangkah ke Satantango atau The Melancholy of Resistance untuk merasakan kekuatan destruktif dan humor gelap yang menjadi ciri khas awal penulis. Terakhir, Herscht 07769 bisa menjadi ujian kesabaran dan konsentrasi tingkat tinggi—sebuah pengalaman yang hampir mistik dalam membaca.

Membaca karya-karya Krasznahorkai bukan sekadar mengikuti cerita, melainkan latihan batin untuk menghadapi kekacauan zaman. Ia menulis bukan untuk menjelaskan, tetapi untuk menunjukkan betapa sulitnya menjelaskan apa pun di dunia yang penuh keretakan.

Dalam setiap kalimatnya terselip kesadaran bahwa bahasa manusia selalu tidak cukup untuk memeluk realitas. Namun, justru di sanalah letak kekuatan seni: dalam kegagalan yang indah, dalam upaya tanpa akhir untuk menamai yang tak terkatakan. Itulah sebabnya, sebagaimana dicatat dalam laman Nobel Prize, karya-karyanya disebut mendebarkan dan visioner, menegaskan kembali kekuatan seni di tengah teror apokaliptik.

Pada akhirnya, panduan What to Read: László Krasznahorkai bukan hanya daftar bacaan, melainkan undangan untuk memasuki dunia seorang penulis yang menulis di antara kehancuran dan keabadian. Setiap novel adalah lanskap batin.

Kekacauan dan keteraturan berdansa dalam kalimat tanpa henti. Membacanya adalah menapaki labirin kata-kata yang menolak menyerah pada kejelasan, tetapi justru menemukan makna di dalam ketidakpastian. Dari desa yang tenggelam dalam lumpur Satantango hingga keheningan bangau di Kyoto dalam Seiobo There Below, dari kekacauan politik di The Melancholy of Resistance hingga napas tunggal yang tak berujung di Herscht 07769, semua itu membentuk sebuah kesaksian yang sama: bahwa sastra masih mampu berbicara ketika dunia kehilangan suara. ***

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler