Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Cinta yang Disakiti
2 jam lalu
Cinta yang disakiti bukan sekadar luka, melainkan kematian rasa.
***
Persahabatan mereka dulu bagaikan cahaya yang menghangatkan malam panjang. Gelak tawa keduanya pernah menjadi irama paling indah yang memecah sunyi. Rahasia terjaga rapat, janji tak pernah dipertanyakan. Dunia seolah hanya berputar untuk mereka berdua saja.
Namun segalanya runtuh hanya oleh satu bisik fitnah yang singgah tanpa permisi. Racun kata itu menetes perlahan, tetapi cukup untuk memutus ikatan yang kokoh. Sang sahabat memilih percaya pada kabar burung, tanpa pernah mau mencari kebenaran. Ia lupa bahwa sebuah persahabatan mestinya berdiri di atas keyakinan, bukan prasangka.
Kata-katanya kini terasa seperti belati yang menusuk dada. Tatapan yang dulu penuh hangat berubah menjadi bara api yang menyakitkan. Mereka berhadapan, bukan lagi saudara jiwa, melainkan dua orang asing yang terpisah jurang. Padahal tidak pernah ada kesalahan yang sebenarnya dilakukan.
Luka itu terlalu dalam untuk disembuhkan dengan sekadar kata maaf. Bertahun-tahun kebersamaan seakan kalah telak oleh satu desas-desus murahan. Bukankah kepercayaan adalah fondasi yang tidak boleh retak? Namun justru fondasi itulah yang hancur lebur dalam sekejap.
Ia ingin berteriak, tetapi suaranya terperangkap dalam dada yang sesak. Ia ingin merangkul, tetapi hatinya sendiri tercabik-cabik. Kekecewaan berubah jadi pengkhianatan, dan pengkhianatan berubah jadi hening yang menyesakkan. Persahabatan itu karam dalam ombak emosi yang buta arah.
Seharusnya mereka duduk bersama, menatap mata, dan berbicara dari hati ke hati. Seharusnya ada ruang untuk bertanya, untuk mencari kebenaran yang hilang. Tetapi yang dipilih justru emosi kemarahan, bukan kejujuran. Pintu hati pun tertutup rapat sebelum sempat diketuk.
Takdir kemudian berbalik arah, sebuah musibah menimpa sang sahabat. Tubuhnya ringkih oleh kecelakaan, kabarnya baru sampai seminggu kemudian. Hati yang disakiti dilanda badai rindu bercampur dilema. Nurani berbisik, meski luka lama belum sempat kering.
Haruskah ia mengulurkan tangan, ketika tangannya sendiri masih berlumur luka? Haruskah ia peduli pada seseorang yang telah mencabik kepercayaannya? Ia bukan pendendam, tetapi rasa pahit itu tidak pernah benar-benar pergi. Di tengah amarah, ada kerinduan samar yang berusaha hidup.
Orang berkata, sahabat sejati diuji dalam duka. Tetapi bagaimana jika sahabat itu sendiri yang menoreh luka terdalam? Haruskah keretakan ini dipaksa untuk tetap berdiri? Ataukah biarlah ia runtuh, meski jiwa tetap merindukan yang hilang?
Ia memegang bukti bahwa semua tuduhan itu hanyalah kebohongan. Bukti yang mampu membersihkan namanya dan menghapus fitnah. Namun apa gunanya bukti, jika hati sudah menutup pintu? Kepercayaan yang hilang bukan sekadar robek, tetapi hilang nyawa.
Malam-malamnya kini dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban. Mengapa orang yang selalu ada di sisi justru memilih menjauh? Mengapa kabar asing lebih dipercaya daripada mata yang pernah berbagi air mata? Apakah persahabatan mereka hanya bayangan semu?
Sakit itu menjalar sendu, bukan hanya di hati, tetapi hingga ke seluruh jiwa. Seperti retakan halus di tulang yang tidak terlihat, tetapi menghantui setiap gerak. Amarah perlahan berubah jadi pahit getir. Dan cinta persahabatan itu disakiti hingga mati rasa.
Kenangan yang dulu indah kini menjelma duri. Senja yang pernah mereka rayakan bersama berubah jadi pisau dalam ingatan. Tawa lepas kini hanya gema yang menusuk batin. Setiap bayangan masa lalu membuat rindu yang menyakitkan.
Sahabat yang dulu dikenal kini hanyalah asing. Tidak ada lagi cahaya, hanya gelap yang dingin. Ia berusaha memaafkan, tetapi hati tetap menolak. Sebab kepercayaan bukan benang yang bisa dijahit setelah koyak.
Mungkin inilah akhir yang tidak bisa dielakkan lagi. Sebuah persahabatan gugur tanpa upacara perpisahan. Tidak ada salam terakhir, hanya diam yang memakan segalanya. Ia berdiri sendiri, di antara amarah dan kerinduan yang tidak tersampaikan.
Cinta yang disakiti bukan sekadar luka, melainkan kematian rasa. Persahabatan itu terkubur tanpa doa, tanpa pamit. Ia tidak lagi menunggu penjelasan yang tak akan pernah datang. Ia belajar bahwa beberapa luka memang abadi dalam senyap.
Kini ia berjalan sendiri, membawa serpihan kenangan yang patah. Ia tidak menyesal pernah mencintai seorang sahabat, hanya menyesal karena pernah percaya keabadian itu nyata. Biarlah waktu yang mengubur semua cerita. Sebab cinta yang disakiti hanya akan hidup sebagai rindu yang tak pernah bisa kembali.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut

Cinta yang Disakiti
2 jam lalu
Ketika Aspal Buton Menunggu Keberanian Presiden
2 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler