peminat kajian budaya dan perubahan masyarakat di era digital.
Javier Milei: Presiden, Rock, Gejolak Argentina
8 jam lalu
Konser rock Javier Milei ialah produk logis gejolak di Argentina. Spektakel menawarkan pelarian yang emosional dan simbolis
***
LAMPU menyorot tajam. Asap panggung bergulung pekat. Di tengah riuh rendah Movistar Arena, suara shofar menggelegar. Sangkakala kuno itu menandai hadirnya superstar. Sosok itu pun muncul, bukan dalam balutan jas kenegaraan, melainkan jaket kulit hitam. Dialah Javier Milei, Presiden Argentina. Ia tampil bukan sebagai negarawan, tapi sebagai bintang rock. Tangannya terangkat, menyerap energi lima belas ribu pemujanya, sebelum menggeramkan lagu rock klasik.
Ini pertunjukan dramatik dari jagat politik. Apa maknanya ketika seorang presiden menanggalkan jubah kekuasaan demi persona ikon rock? Ini strategi. Konser Milei ialah mahakarya dalam teater populis kontemporer. Ia sedang menggelar perang di medan budaya. Konser ini jadi senjatanya.
Jaket kulit hitam itu bukanlah adi busana. Ini seragam perlawanan. Sebuah penanda visual yang memisahkannya dari elite politik yang ia sebut "la casta", sang kasta. Jaket itu menunjukkan sumpahnya untuk menjadi orang luar, seorang pria otentik dari jalanan, bukan dari istana. Pakaiannya menjadi bukti dari klaim anti-politiknya.
Lalu, ada sang singa. "El León". Julukan yang lahir dari amarah masa muda, kini menjadi mitos. Para pendukungnya datang memakai kostum singa. Singa ialah simbol kekuatan primal. Liar. Berdaulat. Ia bukan birokrat yang bernegosiasi. Ia adalah predator yang siap menerkam. Simbol ini menerjemahkan ideologi anarko-kapitalis yang rumit menjadi citra kekuatan yang sederhana dan membakar emosi. Negara adalah mangsa, dan ia adalah pemangsanya.
Gergaji mesin melengkapi trilogi itu, ikon destruksi. Simbol brutal dari janjinya untuk memotong anggaran negara sampai ke akarnya. Gergaji itu menerjemahkan kebijakan ekonomi yang menyakitkan menjadi sebuah tontonan yang agresif dan mudah dicerna. Jaket membangun persona. Singa mendefinisikan kuasanya. Gergaji menentukan tindakannya. Semua itu menciptakan sebuah mitos yang kebal dari kritik. Mitos tentang anti-politik.
Masyarakat Tontonan, Realitas Negara
Konser Milei ialah manifestasi sempurna dari masyarakat tontonan (the society of the spectacle). Di sini, relasi sosial yang otentik telah digantikan oleh citranya. Acara ini berdalih peluncuran buku, tapi sebenarnya seberapa banyak orang yang bersedia hadir membahas buku? Orang datang bukan untuk gagasan, melainkan untuk pertunjukan. Diskusi intelektual telah digantikan konser rock. Relasi yang terjadi bukan antara warga negara dan ide, tapi antara penonton dan citra pemimpin.
Di layar raksasa, gambar-gambar apokaliptik berkelebat. Ledakan. Gedung-gedung runtuh. Ini bukan sekadar visual, ini narasi. Ledakan itu adalah "terapi kejut" ekonominya. Bangunan yang hancur adalah tatanan lama yang harus dimusnahkan. Bahasa visual ini melompati nalar dan menyentuh langsung sanubari. Ia membingkai kebijakannya yang menyakitkan bukan sebagai pilihan politik, tetapi sebagai takdir sinematik menuju kelahiran kembali bangsa.
Spektakel ini memacu adrenalin. Digelar saat pemerintahannya goyah, saat skandal merebak. Pertunjukan ini mengalihkan fokus dari realitas politik yang pahit. Milei membenamkan pengikutnya dalam hiper-realitas panggung yang gegap gempita. Tontonan menjadi alat untuk mengendalikan narasi, untuk melupakan krisis.
Di atas panggung, ia menyanyikan lagu-lagu perlawanan. Ia mengumandangkan Demoliendo Hoteles, sebuah lagu tentang trauma di bawah rezim fasis. Ia menjadikan Panic Show sebagai lagu kebangsaannya. Ia bahkan mengubah liriknya, mengganti musuh dalam lagu dengan "kasta" politik.
Inilah perang merebut makna. Ia mencabut lagu-lagu itu dari akarnya, dari konteks perlawanan terhadap otoritarianisme sayap kanan. Lalu, ia menempelkannya pada narasinya sendiri. "Kebebasan" bukan lagi bebas dari penindasan militer, tapi bebas dari campur tangan negara. Milei menyerap simbol perlawanan lawannya untuk menetralkannya. Dengan menyanyikan lagu protes, ia berusaha menampilkan proyeknya sebagai pemberontakan sejati, sekaligus menyembunyikan sisi otoriter dalam politiknya sendiri.
Seluruh karier Milei ibarat sebuah pertunjukan. Identitasnya terabaikan sebelum ia naik ke panggung. Identitas itu diciptakan melalui tindakan yang berulang: memakai jaket, mengaum, bernyanyi. Pertunjukan inilah yang melahirkan "presiden sekaligus bintang rock".
Paradoksnya, politisi paling teatrikal ini dianggap paling otentik. Di dunia di mana politisi tradisional terasa kaku dan palsu, Milei menampilkan "keaslian" dengan cara melanggar aturan. Ia berkata kasar. Ia bernyanyi serak. Ia berperilaku tak terduga. Pelanggaran inilah yang menjadi bukti otentisitasnya. Pertunjukan ini menempa ikatan emosional yang luar biasa kuat dengan para pendukungnya. Mereka merasa ia adalah "salah satu dari kita".
Panggung itu menciptakan lingkaran afektif. Milei memerankan perlawanan. Penonton, yang merasa terasing, merespons dengan pemujaan. Pemujaan penonton, pada gilirannya, mengesahkan pertunjukan sang pemimpin. Ikatan ini membuat gerakan mereka tahan banting terhadap fakta dan kritik.
Gema dari Argentina ke Indonesia
Konser rock Javier Milei ialah produk logis dari sebuah zaman. Di Argentina, krisis ekonomi dan korupsi selama puluhan tahun telah menghancurkan kepercayaan pada politik. Spektakel mengisi kekosongan itu, menawarkan pelarian yang emosional dan simbolis.
Gema itu sampai di sini, di Indonesia. Kekecewaan terhadap elite politik juga telah menciptakan lahan subur bagi populisme. Politik sebagai pertunjukan bukanlah hal asing. Budaya populer telah menjadi jantung politik kita. Kampanye semakin mirip festival musik. Persona "orang biasa" yang ditampilkan di media sosial menjadi kunci merebut simpati, terutama dari pemilih muda.
Suara yang menggema dari Buenos Aires bukan hanya musik. Itu adalah gema dari demokrasi yang sedang krisis. Gema yang mengingatkan kita bahwa pertarungan politik kini sering dimenangkan bukan di ruang debat, melainkan di atas panggung. Singa di atas panggung adalah tanda zaman, di mana batas antara hiburan dan kekuasaan telah mengabur, di mana pertunjukan otentisitas terasa lebih penting daripada diskursus kebijakan.

Berpetualang, menulis, kulineran
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler