Komunikasi Profetik di Era Digital: Etika Verifikasi dan Tanggung Jawab Bermedia

8 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
etika berkomunikasi
Iklan

Nilai humanisasi menekankan pentingnya komunikasi yang mendorong kebaikan sosial.

Oleh: Hannida Firdaussiyah 2340210045

Di zaman digital seperti sekarang, informasi bergerak lebih cepat daripada kemampuan kita untuk menanggapinya. Siapapun, tanpa memandang usia atau latar belakang pendidikan, bisa menjadi penyebar berita, baik yang benar maupun yang salah, hanya dengan satu klik. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam: bagaimana menjaga komunikasi agar tetap selaras dengan prinsip Islam sekaligus relevan dengan dinamika media modern?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Komunikasi profetik hadir sebagai solusi. Konsep ini menekankan tiga nilai utama sebagai dasar interaksi manusia, yaitu humanisasi (amar ma‘rūf), liberasi (nahy al-munkar), dan transendensi (tu’minūna billāh) (Kuntowijoyo, 1991). Nilai-nilai ini dapat diterapkan dalam praktik komunikasi yang etis, mendidik, dan spiritual, termasuk di media sosial. Dengan kata lain, komunikasi profetik menjadi panduan agar umat Islam bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi sekaligus membangun masyarakat digital yang cerdas dan beradab.

Fenomena hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah di media sosial Indonesia menunjukkan betapa pentingnya prinsip komunikasi profetik. Menurut data dari Masyarakat Anti Fitnah Digital (MAFD, 2022), lebih dari 60% konten viral di media sosial belum terverifikasi. Jika tidak ditangani, hal ini berpotensi memperparah polarisasi sosial, merusak keharmonisan umat, dan memicu konflik horizontal.

Tabayyun: Dasar Etika Bermedia

Tabayyun, atau memverifikasi informasi, bukan hanya prinsip akademik, tetapi juga perintah agama. Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum karena kebodohan...”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6)

Ayat ini menekankan bahwa sebelum menyebarkan informasi, seorang Muslim wajib memastikan kebenarannya. Dalam dunia digital, tabayyun berperan sebagai filter awal agar berita yang dibagikan tidak merugikan pihak lain. Misalnya, menyebarkan kabar tentang kebijakan pemerintah yang belum jelas sumbernya dapat menimbulkan kepanikan masyarakat.

Penelitian Wardani & Suharsono (2022) menunjukkan bahwa 63% pengguna media sosial di Indonesia pernah membagikan berita tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Praktik seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip komunikasi profetik karena bisa merusak keharmonisan sosial (amar ma‘rūf) dan membuka celah bagi fitnah.

Humanisasi: Menjaga Amar Ma‘rūf

Nilai humanisasi menekankan pentingnya komunikasi yang mendorong kebaikan sosial. Di dunia digital, ini berarti menahan diri dari menyebarkan konten yang menyinggung, merendahkan, atau memprovokasi orang lain. Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Prinsip sederhana ini sangat relevan di media sosial. Setiap unggahan, komentar, atau repost sebaiknya dipertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Dengan menekankan amar ma‘rūf, komunikasi profetik menciptakan ruang digital yang aman dan edukatif.

Liberasi: Menegakkan Nahy al-Munkar

Selain menekankan kebaikan, komunikasi profetik juga mengajak umat Islam melawan keburukan. Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan; jika tidak mampu, dengan lisan; jika tidak mampu, dengan hati, dan itulah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim, No. 49)

Dalam konteks digital, ini berarti menjadi agen perubahan: menolak hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda yang merugikan masyarakat. Misalnya, seorang Muslim dapat menanggapi berita palsu dengan mengutip sumber resmi, memberikan klarifikasi di akun pribadinya, atau mendorong kampanye literasi media. Menurut Mudzhar (2021), dakwah digital profetik tidak hanya menyampaikan pesan agama, tetapi juga memberdayakan masyarakat agar tidak menjadi korban disinformasi. Dengan kata lain, liberasi digital adalah memperkuat kapasitas masyarakat untuk berpikir kritis dan bertindak etis.

Transendensi: Kesadaran Spiritual dalam Bermedia

Nilai tu’minūna billāh mengingatkan bahwa setiap komunikasi harus disertai kesadaran bahwa Allah Maha Mengetahui semua tindakan kita. Dalam dunia digital, kesadaran ini mendorong umat Islam untuk bertanggung jawab atas setiap kata dan tindakan online.

Fenomena algoritma media sosial yang menciptakan echo chamber atau filter bubble bisa memperkuat bias dan intoleransi. Tanpa kesadaran spiritual, seseorang bisa kehilangan kontrol terhadap dampak sosial dari konten yang dikonsumsi dan disebarkannya. Dalam perspektif Ilmu Sosial Profetik (ISP), Kuntowijoyo (2001) menekankan bahwa setiap ilmu dan praktik sosial harus dikaitkan dengan nilai ilahiah. Di dunia digital, ISP mendorong agar interaksi bermedia tidak hanya bersifat praktis, tetapi juga membangun akhlak dan spiritualitas. Menghindari penyebaran hoaks adalah contoh nyata transendensi digital.

Praktik Komunikasi Profetik dalam Kehidupan Digital

Berikut beberapa langkah praktis untuk menerapkan komunikasi profetik:

  1. Cek Fakta (Tabayyun): Verifikasi informasi dari sumber resmi sebelum dibagikan, misalnya melalui TurnBackHoax.id.
  2. Gunakan Bahasa Santun: Hindari kata-kata provokatif atau menyinggung pihak lain. Utamakan penyampaian yang edukatif.
  3. Sadari Efek Algoritma: Jangan hanya melihat feed yang sesuai pandangan, tetapi aktif mencari perspektif berbeda.
  4. Kolaborasi dengan Media Profetik: Bergabung dalam komunitas digital yang mempromosikan dakwah damai dan literasi media.
  5. Edukasi Literasi Digital: Ajarkan nilai tabayyun dan komunikasi profetik pada generasi muda melalui workshop, webinar, atau konten kreatif di media sosial.

Langkah-langkah ini tidak hanya mencegah penyebaran hoaks, tetapi juga membangun budaya digital yang etis, inklusif, dan sesuai nilai Islam moderat.

Komunikasi profetik di era digital bukan sekadar konsep, tetapi kebutuhan nyata. Dengan menerapkan tabayyun, umat Islam dapat menghindari fitnah dan informasi menyesatkan. Dengan semangat nahy al-munkar, kita ikut aktif menolak keburukan dan disinformasi. Melalui tu’minūna billāh, setiap unggahan, komentar, dan klik menjadi wujud tanggung jawab spiritual.

Sudah saatnya media sosial menjadi ruang dakwah profetik: tempat menyebarkan ilmu, kasih, dan kebenaran, bukan kebencian. Dengan literasi digital yang menekankan nilai Islam moderat, kita tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga agen perubahan sosial. Prinsip Rasulullah saw., “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim), tetap relevan sebagai pedoman komunikasi di era modern.

 

Daftar Pustaka

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Anchor Books.

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (2001). Ilmu Sosial Profetik: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mudzhar, M. A. (2021). Dakwah Digital dan Tantangan Etika Komunikasi Islam. Jurnal Komunikasi Islam, 11(2), 155–168. https://doi.org/10.15642/jki.2021.11.2.155-168

Wardani, D. P., & Suharsono, R. (2022). Literasi Digital dan Etika Tabayyun di Kalangan Mahasiswa Muslim. Jurnal Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, 10(1), 22–34.

Masyarakat Anti Fitnah Digital (MAFD). (2022). Laporan Hoaks dan Disinformasi di Media Sosial Indonesia. Jakarta: MAFD.

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler