Desa Sait Buttu Asri Menuju Destinasi Digital
2 jam lalu
Desa Sait Buttu Asri punya potensi wisata besar, namun butuh digitalisasi agar dikenal luas dan berdaya saing global.
***
Terletak di ketinggian 700-800 mdpl di Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Desa Sait Buttu Asri menyimpan potensi luar biasa yang selama ini terpendam. Hamparan kebun teh hijau yang memesona, aroma kopi Sidamanik yang khas, madu hutan murni dari penangkaran lebah, hingga udara pegunungan yang menyegarkan semua itu tersaji di desa dengan populasi hampir 5.000 jiwa ini. Namun, seperti banyak desa wisata lain di Indonesia, potensi besar ini masih terhalang oleh keterbatasan promosi dan sistem pengelolaan yang konvensional.
Era digital telah mengubah wajah pariwisata global. Wisatawan modern tidak lagi mencari informasi melalui brosur atau agen perjalanan konvensional, melainkan mengandalkan internet, media sosial, dan aplikasi untuk merencanakan perjalanan mereka. Jika sebuah destinasi tidak hadir secara digital, maka destinasi itu hampir tidak ada di mata calon wisatawan.
Kenyataan ini seharusnya menjadi cambuk bagi pengelola desa wisata, termasuk Desa Sait Buttu Asri. Meskipun memiliki keunikan berupa terapi sengat lebah sesuatu yang jarang ditemukan di desa wisata lain informasi tentang layanan ini masih sulit diakses secara online. Belum ada platform terpadu yang memungkinkan wisatawan memesan paket wisata, homestay, atau bahkan membeli produk lokal seperti kopi dan madu secara daring.
Tidak perlu melihat jauh ke luar negeri untuk menemukan contoh keberhasilan digitalisasi desa wisata. Desa Gunungsari di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, telah membuktikan bahwa teknologi digital dapat mengangkat martabat desa. Sejak menjadi pilot project Desa Wisata Digital pada 2020, Gunungsari berhasil mengintegrasikan kearifan lokal dengan teknologi modern melalui website resmi yang informatif, media sosial yang aktif, aplikasi reservasi homestay yang user-friendly, hingga pelatihan live selling bagi pedagang pasar tradisional.
Semua itu dilakukan tanpa menghilangkan jiwa tradisional desa. Bahkan pedagang di Pasar Pundensari tetap mengenakan pakaian adat sambil melakukan siaran langsung untuk menjual produk UMKM mereka. Inilah contoh nyata bagaimana digitalisasi bisa berjalan harmonis dengan pelestarian budaya.
Mengembangkan smart village dan smart tourism di Desa Sait Buttu Asri bukan berarti harus langsung membangun sistem yang rumit dan mahal. Pendekatan bertahap dan realistis justru lebih sustainable. Langkah pertama bisa dimulai dengan membangun website desa wisata yang sederhana namun informatif, berisi informasi lengkap tentang atraksi wisata, tarif, dan kontak yang mudah dihubungi.
Media sosial seperti Instagram dan TikTok juga harus dikelola secara konsisten dengan konten visual yang menarik. Bayangkan video singkat yang menampilkan proses pembuatan kopi Sidamanik dari petik hingga seduh, atau dokumentasi sesi terapi lebah yang aman dan menenangkan. Konten semacam ini memiliki potensi viral yang tinggi dan bisa menarik perhatian ribuan bahkan jutaan orang tanpa biaya iklan yang mahal. Untuk transaksi, sistem pembayaran digital seperti QRIS sudah sangat memadai sebagai langkah awal, memberikan kenyamanan bagi wisatawan sekaligus menciptakan jejak digital yang memudahkan pembukuan.
Tentu saja, jalan menuju digitalisasi tidak tanpa hambatan. Literasi digital masyarakat dan pelaku UMKM di Desa Sait Buttu Asri masih rendah, sebuah tantangan serius yang membutuhkan program pelatihan berkelanjutan. Tidak cukup hanya mengadakan workshop sekali atau dua kali, tetapi harus ada pendampingan intensif hingga masyarakat benar-benar mahir menggunakan teknologi. Infrastruktur juga masih menjadi kendala.
Meskipun akses internet 4G sudah tersedia, stabilitas jaringan masih perlu ditingkatkan, terutama di area-area terpencil desa. Kerja sama dengan pemerintah daerah dan penyedia layanan telekomunikasi menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini. Tantangan lain adalah standardisasi protokol keselamatan untuk terapi sengat lebah yang menyangkut keamanan wisatawan. Perlu ada SOP yang jelas, terapis yang tersertifikasi, serta sistem screening alergi sebelum terapi dilakukan, dan semua prosedur ini harus terdokumentasi secara digital untuk menjaga kredibilitas dan menghindari risiko hukum.
Namun di balik semua tantangan itu, peluang yang terbuka jauh lebih besar. Posisi Desa Sait Buttu Asri yang strategis sebagai destinasi penyangga Danau Toba destinasi super prioritas nasional memberikan keuntungan kompetitif yang luar biasa. Wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba bisa dijadikan target pasar utama dengan menawarkan paket wisata terintegrasi. Tren wellness tourism dan agrowisata juga sedang naik daun, dimana wisatawan tidak lagi hanya mencari keindahan alam tetapi juga pengalaman yang menyehatkan dan edukatif. Terapi lebah, tur kebun kopi, dan proses pembuatan madu adalah produk wisata yang sangat sesuai dengan tren ini.
Kebun teh yang luas juga dapat dikembangkan menjadi track untuk wisata olahraga seperti gowes atau trekking yang sedang digemari wisatawan milenial. Dukungan dari berbagai stakeholder seperti Bank Indonesia, PTPN IV, dan Starbucks menunjukkan bahwa Desa Sait Buttu Asri tidak berjuang sendirian. Kolaborasi ini harus dimaksimalkan, terutama dalam hal pendanaan untuk pengembangan infrastruktur digital dan pelatihan SDM.
Smart village dan smart tourism bukanlah konsep utopis yang tidak mungkin dicapai. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah desa, partisipasi aktif masyarakat, dan dukungan dari berbagai pihak, transformasi digital Desa Sait Buttu Asri sangat mungkin terwujud dalam beberapa tahun ke depan.
Yang dibutuhkan sekarang adalah roadmap yang jelas dan realistis, mulai dari pembangunan platform digital dasar dan pelatihan literasi digital untuk pemuda desa, kemudian pengembangan sistem e-commerce untuk produk UMKM dan sistem reservasi online, hingga integrasi penuh dengan ekosistem pariwisata Danau Toba dan pengembangan aplikasi wisata yang lebih canggih. Kunci keberhasilan terletak pada konsistensi dan kesabaran, karena digitalisasi adalah proses yang membutuhkan waktu untuk mengubah perilaku masyarakat dari konvensional ke digital. Namun jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat, hasilnya akan sangat transformatif.
Desa Sait Buttu Asri memiliki semua modal dasar untuk menjadi desa wisata digital yang sukses: keindahan alam, keunikan atraksi, produk lokal berkualitas, dan dukungan stakeholder yang solid. Yang masih kurang adalah optimalisasi teknologi digital untuk memaksimalkan semua potensi itu.
Saatnya Desa Sait Buttu Asri bertransformasi dari sekadar desa yang dilewati menjadi destinasi yang dituju, dari desa yang potensial menjadi desa yang produktif, dari desa konvensional menjadi smart village yang berdaya saing global. Digitalisasi adalah jalan menuju transformasi itu, dan perjalanan ini harus dimulai sekarang

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler