x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari A Sampai H, Katanya

ACEH itu A-nya adalah Arab, C-nya Cina, E-nya Eropa, H-nya Hindustan, katanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jaman Kesultanan Aceh Darussalam, seorang Aceh mewakafkan tanah beserta bangunan di Mekah, Arab Saudi, untuk tempat tinggal jamaah haji Aceh, pelajar-pelajar Aceh di Mekah, dan orang Aceh yang tengah bertandang kesana. Suatu masa, seiring perluasan komplek Masjidil Haram, pernah tanah ini lama menjadi tempat jatuh air hujan dari atap masjid. Seperti halaman depan yang selalu tertimpa air cucuran atap maka predikat serambi itu disematkan, jadilah Aceh serambi Mekah. Itu komponen Arab, diwakili huruf A, dalam Aceh, katanya.

Masa berikutnya, perluasan komplek Masjidil Haram terpaksa menggusur tanah dan bangunan wakaf tadi, sehingga sesuai hukum Islam pemerintah Saudi memberikan ganti rugi. Arab mendirikan bangunan pengganti, telah berupa hotel hari ini, dan keuntungannya dibagikan kepada jamaah haji asal Aceh. Jumlahnya berbeda tiap tahun karena perhitungan didapat dari membagi sekian persen laba sesuai sistem bagi hasil dalam ekonomi syariat Islam.

Setiap musim haji, utusan pemerintah Arab akan khusus mendatangi jamaah Aceh untuk membagikan persen keuntungan usaha hotel dari wakaf. Pengelola wakaf otomatis pemerintah dengan peruntukan wakaf sesuai mandat pemberi wakaf, sehingga Arab Saudi menolak ketika pernah Indonesia, masa pemerintahan Pak Harto, meminta menyerahkan pengelolaan hotel. Ada perjalanan panjang kedekatan karena kesamaan kultur Islam kental yang menjadikan Aceh ‘berbau’ Arab.   

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jajanan paling populer di Aceh itu mie. Hampir di tiap kedai kopi atau warung makan, menu itu ada. Kepopuleran mie di Aceh mirip bakso di Jawa, menurut saya, adalah jajanan rakyat yang banyak sekali tersedia. Mungkin itu cara paling gampang membuktikan warna Cina dalam Aceh, karena C dalam Aceh adalah Cina, katanya.

Lonceng Cakra Donya, yang hari ini digantung di pelataran Museum Aceh, bisa jadi bukti tambahan. Yang ini bukti besar. Itu lonceng hadiah Kaisar Cina pada Kesultanan Samudera Pasai, yang dibawa Laksamana Cheng Ho sebagai utusan pada suatu kunjungan abad ke-15. Ketika Samudera Pasai dihancurkan Portugis, Kesultanan Aceh Darussalam, tetangga Samudera Pasai, merebut wilayahnya di Lhokseumawe-Aceh, dan menjadikannya bagian kesultanan setelah Portugis berhasil diusir.

Lonceng kemudian diboyong ke Bandar Aceh, ibukota Kesultanan Aceh Darussalam, atau Kota Banda Aceh sekarang. Pada tiap peperangan Kesultanan Aceh Darussalam setelahnya, lonceng selalu digantung di Kapal Cakra Donya, kapal terbesar armada Aceh masa itu sekaligus kapal yang selalu dinaiki  Sultan memimpin pertempuran. Orang menyebut Lonceng Cakra Donya akhirnya, hingga sekarang. Ada aksara Cina dan Arab di lonceng tadi membuktikan bahwa kedekatan Cina dan kerajaan-kerajaan Aceh, dulu, karena kesamaan warna Islam.

Di sebuah gereja di Middleburg, Belanda, ada makam seorang Aceh. Tertulis dalam plakat marmer tidak jauh dari makam ‘Ter nagedachtenis aan Abdul Hamid, hoofd van acehse gezantschap door Sultan Alaudin, afgevaardigd naar prins Maurits met de Zeeuwse schepen, de 'Zeelandia' en de 'Lanche Barcke', hij was oud een-en-zeventig jaar, overleed en 1602 in werd bugezet in de Oude Kerk te Middelburg’ artinya ‘Mengenang Abdul Hamid, ketua delegasi Aceh yang dikirim Sultan Alaudin menemui Pangeran Maurice dengan kapal 'Zeelandia' dan 'Lanche Barcke". Tuan Abdul Hamid berusia tujuh puluh tahun, meninggal pada tahun 1602, dan disemayamkan di sebuah gereja tua di Middelburg’.

Dulu, Aceh adalah penghasil utama lada ketika komoditi itu menjadi rebutan dunia mulai abad ke-14. Jadilah utusan-utusan asing berdatangan ke Aceh, dari yang berniat baik menjalankan perdagangan murni sampai bangsa-bangsa penjajah. Belanda salah satu yang mencatat sejarah berliku mendekati Aceh.

Beberapa kali berakhir peperangan, sampai Paulus Van Carden, seorang komandan pelayaran, dituntut 50 ribu gulden oleh pengadilan Belanda, karena merompak muatan lada sebuah kapal Aceh. Setelah itu, Belanda serius memperbaiki hubungan dengan mengirim delegasi bersama surat resmi Pangeran Maurits. Barulah Sultan Aceh mengirim utusan balasan menanggapi maksud baik Belanda, yang delegasinya diketuai Tuan Abdul Hamid tadi, yang kemudian meninggal dunia di sana. 

Ada kedekatan Eropa dan Aceh berupa hubungan dagang sampai episode penjajahan sehingga E adalah warna  Eropa dalam Aceh. Populasi Aceh mata biru, yaitu sekumpulan penduduk di Lamno, yang berpostur jangkung, berkulit putih, berambut pirang, berhidung mancung, dan bermata biru, termasuk bukti. Mereka keturunan Portugis, yang uniknya, terjaga kekhasan mereka karena jarang terjadi pernikahan dengan penduduk luar.

Terakhir H, adalah Hindustan dalam Aceh, katanya. Yang ini paling gampang dilihat dari kuatnya bumbu dalam masakan Aceh persis masakan-masakan India. Andalan Aceh itu kari, dari kari ayam, kari daging, kari kambing, yang jarang absen dalam jamuan-jamuan besar. Soal ini masih menyiksa saya sampai hari ini karena lidah Jawa saya belum juga mau kompromi. Awal tinggal di Aceh saya perlu mencatat bumbu-bumbu masakan, karena, percaya tidak percaya, sekedar sup saja, orang Aceh menambahkan kapulaga, bunga lawang, pala, cengkeh, adas manis, dan kayu manis selain bumbu utama bawang merah, bawang putih, dan lada. Berlimpah rempah.

Peninggalan arkeologis membuktikan masyarakat Aceh bermula di pesisir Timur, daerah Langsa dan Tamiang berupa komunitas pesisir berciri Australomelanesid. Berikutnya berdatangan suku Mantir, Lhan, Champa, dan Minang dari Melayu. Aceh di jalur pelayaran dunia adalah daerah strategis yang kemudian ramai menjadi singgahan karena kekayaan hasil bumi. Islam masuk ke Aceh, salah satunya, terbawa pedagang-pedagang Gujarat, India (Hindustan). Jika mengamati postur orang-orang Aceh hari ini, kita akan menemukan ciri sama dengan bangsa-bangsa Hindustan, pada beberapa kumpulan.

Itu tadi Aceh dari A sampai H, katanya. Kata sejarah. A-nya adalah Arab, C mewakili Cina, E itu Eropa, dan H dari Hindustan. Dr. Muhammad Gade Ismail, sejarawan Aceh, lulusan Rijks University of Leiden, berteori begitu.

 

Sumber foto : habaget.com

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu