Sesat Pikir, Rokok dan Warisan Budaya

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rokok kretek disebut sebagai warisan budaya. Benarkah? Bayangkan betapa kebingungan yang muncul jika benar rokok kretek ditahbiskan sebagai warisan budaya.

Wahai, apakah yang disebut warisan budaya itu? Sungguh saya terbengong-bengong membaca salinan draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan, yang kini masuk di meja DPR. 

Pasal 36 dan 37 draf itu menyebutkan bahwa rokok kretek tradisional termasuk sebagai warisan budaya. Rokok kretek disetarakan posisinya dengan cagar budaya, naskah kuno, prasasti, kuliner nusantara, kesenian tradisional, dan upacara tradisional. Bahkan batik, yang jelas-jelas diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia, tidak disebut secara spesifik dalam draf RUU ini. 

Pasal 49 dalam draf ini menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan melindungi rokok kretek sebagai warisan budaya. Pemerintah harus memfasilitasi pembuatan kretek, melakukan publikasi, sosialisasi, dan promosi. Bahkan, pemerintah juga harus menyelenggarakan festival rokok kretek. Yayyyy....dahsyat, kan! 

Bagaimana kita bisa mencerna sesat pikir seperti ini? Budaya adalah hasil cipta, karsa, karya manusia yang menciptakan jati diri, yang meninggikan dan memuliakan martabat manusia. Definisi UNESCO jelas menegaskan bahwa warisan budaya adalah artefak fisik atau intangible aset yang dimiliki sebuah masyarakat, yang diwarisi dari generasi sebelumnya, dirawat dan dipraktikkan di masa kini, dan dilestarikan untuk kebaikan generasi masa depan. Silakan cek di sini: http://www.unesco.org/new/en/cairo/culture/tangible-cultural-heritage/. 

Nah, tak ada satu sisi pun dari rokok kretek yang membuat kemanusiaan kita semakin bermartabat dan semakin mulia. Bila rokok kretek ini diakui sebagai bagian dari warisan budaya, bukankah tuak, arak, rokok klembak menyan, ganja juga berhak masuk sebagai warisan budaya? 

Saya paham, pembuat draf ini berusaha keras mereduksi atau meredam imej rokok kretek, dengan menyebutnya sebagai 'kretek tradisional'. Tak ada satu pun kata 'rokok' di rancangan ini. Seolah-olah kretek tradisional itu sejenis gudeg atau soto yang mak nyusss, atau paling tidak seperti permen karet yang cuma bikin gas di perut. Buat saya, ini sekadar akal-akalan saja. Kampanye memuliakan rokok kretek ini pasti bertujuan lebih besar, mengamankan industri rokok secara keseluruhan.

Bayangkan kebingungan yang terjadi jika benar rokok kretek ditahbiskan sebagai warisan budaya. Kementerian Kesehatan dan praktisi medis berusaha menekan habit merokok, tapi di saat bersamaan, pemerintah --menurut draf RUU ini-- harus mempromosikan rokok kretek. Juga bakal ada pembenaran bagi industri rokok untuk lebih agresif menyasar perokok muda. Toh, ini produk budaya dan kita ingin generasi muda yang berbudaya. Ayo, anak-anak, jangan lupa merokok ya, muliakan budaya kita. Betapa kontradiksi, kebingungan, hipokrisi, semuanya muncul atas nama rokok kretek dan kepentingan industri rokok. 

Bukankah cukup bahwa industri rokok memproduksi 380 miliar batang setahun? Bukankah sudah cukup industri rokok menangguk untung besar dari sedikitnya 60 juta perokok di Indonesia? Dengan penetrasi pasar begitu luar biasa, 380 miliar rokok untuk 60 juta pecandu rokok, jelas bisnis besar. Regulasi apa pun yang didorong praktisi kesehatan publik, tidak akan bisa membikin 60 juta pecandu rokok berhenti merokok seketika. Karenanya, industri rokok tidak perlu paranoid menuding bahwa regulasi akan membunuh industri rokok besok pagi. Kalau ingin rokok kretek lestari, beranikah industri rokok berbondong-bondong mengubah sistem mekanisasi, menggusur mesin-mesin dan menggantinya dengan buruh linting manual? Sebagai catatan, satu mesin telah menggantikan tenaga 900 buruh linting. 

Sudah cukup bahwa industri rokok menikmati privilege beriklan secara masif, membujuk anak-anak (young adult) menjadi perokok semuda mungkin, yang nggak dibolehkan di negara-negara yang pemerintahnya serius melindungi kesehatan publik. Masak iya sekarang mereka masih merasa perlu merendahkan akal sehat publik, yang ingin lebih sehat, dengan mengklaim bahwa kretek adalah warisan budaya? 

****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mardiyah Chamim

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Surat dari Bang Buyung Nasution

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Topan Badai Bernama Rizal Ramli

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler