Di hadapan orang-orang yang tengah berkuasa, sungguh tidak mudah menyampaikan kritik secara benar. Salah-salah, malah dianggap menghina. Sudah cukup banyak contoh warga yang diperkarakan karena dianggap menghina pejabat negara dan mencemarkan nama baiknya. Ada yang dimaafkan, tapi banyak yang diteruskan perkaranya ke polisi dan pengadilan.
Saya bertanya-tanya: bagaimana sebaliknya, jika pejabat negara menghina rakyat? Sepengetahuan saya, pasal tentang urusan ini tidak ada—tidak seperti pasal penghinaan terhadap presiden yang lagi diupayakan untuk dihidupkan kembali. Padahal, penghinaan terhadap rakyat relatif sering dilakukan. Memang tidak selalu dalam kata-kata yang gamblang, seperti dulu ada menteri yang bilang “rakyat tidak jelas”, tapi bukan berarti penghinaan itu tidak ada.
Penghinaan itu rupa-rupa ragamnya, sebagian di antaranya adalah ini. Pertama, menghina kepercayaan yang diberikan rakyat. Setelah jadi pejabat negara, orang-orang ini menyalahgunakan kekuasan yang diamanahkan rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Alih-alih memikirkan kehidupan rakyat yang sudah memberi kepercayaan, orang-orang ini malah sibuk melobi sana-sini dan memburu rente untuk keuntungan pribadi dan teman-temannya.
Kedua, menghina akal sehat rakyat. Sering terjadi pejabat negara (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) berbicara berbelit-belit atau bersilat lidah tentang sebuah perkara yang terang-benderang. Mereka menganggap rakyat tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka berasumsi akal sehat rakyat tidak berfungsi, sehingga dapat dikadali dengan permainan kata-kata dan logika yang sama sekali tidak canggih.
Ketiga, menghina kesusahan rakyat. Ada pejabat yang membawa mobil Jaguar untuk urusan dinas, ada yang pamer jam tangan mewah, dan menggelar pesta mewah di tengah kehidupan rakyat yang masih dibelit kesukaran ekonomi. Mereka tidak berempati dan tidak peka terhadap ketimpangan sosial-ekonomi. Bila mereka bilang bahwa hak mereka untuk hidup mewah, perlukah itu dipertontonkan?
Keempat, menghina kesadaran rakyat. Banyak pejabat yang bersikap dan berkata seolah tidak terjadi apa-apa. “Ah, itu kan cuma omongan sambil lalu, tak usah dibesar-besarkan.” Contohnya, ketika ada pasal siluman tentang rokok kretek yang dimasukkan ke dalam RUU Kebudayaan, yang kemudian dihapus begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa dan tanpa diusut kenapa bisa masuk. Begitu pula dengan masuknya anggaran pembangunan gedung DPR di APBN 2016 padahal rakyat memprotes keras. Protes ini dianggap angin lalu.
Kelima, menghina rasa keadilan rakyat. Sudah terlampau sering kepentingan politik dan kepentingan ekonomi berada di tangan yang sama dan mengalahkan kepentingan rakyat banyak. Dengan berbagai cara, orang-orang yang punya kekuatan politik dan ekonomi dibela dengan mengabaikan rasa keadilan rakyat. Kekuasaan di tangan yang salah, pada akhirnya, selalu berujung kepada penghinaan terhadap rakyat.
Itulah ragam penghinaan terhadap rakyat, tapi sayangnya tidak ada pasal yang menampung urusan ini. Padahal, penghinaan terhadap rakyat seperti itu lebih mengenaskan ketimbang membakar foto pejabat. Bener loh! (ilustrasi foto: tempo) **
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.