x

Iklan

indri permatasari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Ngalian ke Sendowo, Menyelami Kehidupan Lansia Mandiri

Buku yang menyodorkan cerita perjuangan lansia mandiri di panti jompo dengan warna-warni kehidupan yang harus dijalani.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemarin pas jalan kaki sepulang kerja, saya melihat seorang simbah yang tentu saja sudah sepuh sedang mendorong gerobak bakso dagangannya di jalan yang sedikit menanjak. Dengan sisa tenaga yang masih dipunya, kakek itu tetap semangat bekerja mencari nafkah. Sempat terbersit di kepala saya, koq kakek setua ini masih harus berjibaku di jalanan demi sesuap nasi, koq anak-anaknya tega benar membiarkan bapaknya bekerja berat seperti itu, seharusnya kan beliau sudah waktunya untuk bisa bersantai di rumah. Tapi mendadak saya sadar, apalah hak saya untuk menghakimi dan berasumsi sedemikian rupa, jangan-jangan toh kakek itu memang senang berjualan dan justru menikmati pekerjaannya.

Saya jadi ingat buku yang beberapa waktu lalu selesai saya baca, judulnya Dari Ngalian ke Sendowo. Sebuah cerita seri kenangan yang di tulis oleh NH. Dini. Tentu nama pengarang yang satu ini sudah tidak asing lagi apalagi untuk para generasi setengah muda. Karya-karya klasiknya seperti Padang Ilalang Di Belakang Rumah, Sekayu atau Pada Sebuah Kapal seolah menjadi bacaan wajib para siswa kelas menengah di zaman abad pertengahan.

Lalu apa hubungan kakek penjual bakso dengan NH. Dini. Nah, kebetulan di buku Dari Ngaliyan ke Sendowo, NH Dini menceritakan tentang kehidupan di usia senjanya di kisaran tahun 2000-2006, ketika akhirnya  memutusan boyongan dari rumah beliau di perumahan Bringin Indah, Ngaliyan Semarang menuju ke rumah jompo Yayasan Wredha Mulya (YWM) di Sendowo, Sleman, DIY.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu banyak hal yang harus Nh. Dini lalui untuk mengambil keputusan besar itu, tinggal sendiri setelah ditinggal oleh anak asuhnya yang baik, rumah yang terlalu besar dan mahal untuk biaya perawatannya, sulitnya menemukan kecocokan dengan anak asuh-anak asuh yang baru.   Bersyukurlah Nh. Dini karena memiliki banyak kerabat dan karib yang selalu ada disaat beliau membutuhkan pertolongan. Seperti saat harus operasi gigi karena impaksi ataupun kala berbaring di meja operasi akibat batu empedu. Sungguh sebuah kisah yang manusia lanjut usia yang penuh warna.

Mungkin ada yang menyimpan Tanya, apakah NH. Dini tidak memilki anak sehingga harus menghabiskan masa tuanya di panti jompo, maka jawabannya tidak, karena Nh. Dini memiliki dua orang anak. Tentu akan ada banyak komentar, wah tega sekali anak-anaknya ya. Untuk pemikiran sebagian orang di Indonesia, hal seperti ini memang tidak biasa Hal itu pulalah yang sempat terbersit di benak saya dulu ketika masih tinggal di Sendowo. Prasangka saya yang kejam dan cara berpikir saya yang sempit langsung menghakimi sanak saudara maupun keturunan dari para sepuh yang tinggal di YWM. Apa alasan mereka hingga membuang orang yang dulunya berjuang mati-matian demi kelangsungan kehidupan anak-anaknya dimasa depan.

Namun seiring umur yang semakin kurang muda ditambah setelah membaca buku ini sayapun semakin mengerti bahwa tinggal di Rumah Jompo YWM adalah sebuah pilihan sadar dari Nh. Dini sebagai seorang Lansia Mandiri. Ya, beliau memang punya anak, tapi semuanya tinggal di luar negeri dan beliau memang tidak mau merepotkan anak-anaknya untuk merawatnya di masa tua. Beliau juga memiliki tanggung jawab terhadap kemajuan pondok baca yang digagasnya, beiau juga masih ingin produktif sebagai seorang sastrawan dan menghasilkan bacaan-bacaan berkualitas sebagai ladang ilmu yang tak akan pernah habis dimakan waktu.

Dari buku ini pula saya menyadari banyak sekali konflik dalam hati sebelum seseorang memutuskan untuk menjadi lansia mandiri, Berjuang hidup sendiri di saat usia sudah tidak muda lagi ditambah dengan kemampuan anggota gerak yang semakin terbatas, serta organ lain yang kerjanya semakin melambat. Tapi semua hal itu bisa diatasi dengan menyelaraskan antara jiwa dan raga, karena pikiran yang sehat akan memberi pengaruh positif terhadap kesehatan tubuh secara umum.  

Tiba-tiba saya teringat sebuah obrolan masa lampau yang berakhir dengan sebuah konklusi yang membuat saya geli. Kawan bicara saya berkesimpulan bahwa saya bisa berkata begitu  karena saya seorang lajang dan tidak memiliki anak. Padahal saya hanya mengatakan bahwa anak bukanlah sebuah aset ataupun komoditi bisnis yang kelak ketika orang tuanya mulai menua, maka merekalah yang bertanggung jawab atas kehidupannya sebagai sebuah ganti karena orang tua lah yang sudah berjasa lebih dulu terhadap kehidupan sang anak.  

Saya pikir pasti banyak juga yang berbeda pendapat dan saya sangat menghargai itu, tapi setidaknya buku ini telah menuntun ruang kecil dalam otak saya yang sedikit koplak untuk bisa merenung, bahwa yang namanya orang tua pasti ingin anaknya bahagia kelak dan anakpun juga pasti ingin membahagiakan orang tuanya selagi bisa. Tapi membahagiakan orang tua juga tidak harus dilakukan dengan membuat mereka tinggal bersama ketika sudah menjadi lansia, walaupun sebagian besar banyak yang melakukannya.

Bagi beberapa orang tua, menjadi Lansia mandiri adalah sebuah pilihan yang sengaja mereka ambil agar tidak menjadi beban bagi anak-anaknya. Lha tulisan saya koq mendadak jadi sentimental begini. Eh tapi saya lha malah jadi ingat ibu di rumah, beliau pernah bilang pada saya bahwa dimanapun kamu nantinya akan tinggal, jauh atau dekat, ibu akan selalu bahagia kalau anak-anaknya juga bahagia. Hmm saya juga mau seperti ibu kalau sudah punya anak nantinya, hueheheh tentu saja hal itu harus dimulai dengan mencari bapaknya anak-anak dulu. Lha itu peer nya, ahh ingat pe er jadi ingin ngglundhung saja.

Ikuti tulisan menarik indri permatasari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu