x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Alangkah Sukar Menemukan Soekarno-Hatta Saat Ini

Di era perjuangan kemerdekaan, Bung Karno dkk adalah manusia pemikir dan sekaligus manusia aksi. Sekarang?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Seorang politikus memikirkan soal pemilu yang akan datang, seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang.”
--James Freeman Clarke (1810-1888)

 

Sejak Indonesia merdeka hingga kini sudah membentang jarak waktu sepanjang 70 tahun. Zaman memang telah berubah, tapi kita tak bisa melupakan pertautan diri kita yang hidup di masa kini dengan mereka yang hidup menjelang dan di seputar kemerdekaan 1945. Mereka telah membuka jalan bagi lahirnya Republik yang kita hidup di dalamnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu pertanyaan yang sangat mengusik ialah “adakah perbedaan yang menyolok antara sosok-sosk yang memerjuangkan kemerdekaan bangsa kita dengan mereka yang kini tengah berkecimpung di dunia politik”? Bila ada, apakah perbedaan itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat melakukan kilas balik ke tahun 1930. Di Bandung ketika itu, di hadapan pengadilan kolonial Belanda, Bung Karno menyampaikan pidato pembelaannya yang terkenal, Indonesia Menggugat. “Kapitalisme adalah suatu pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi,” kata Bung Karno. “Kapitalisme mengarah kepada pemiskinan.”

Dalam pikiran Bung Karno, kolonialisme dan kapitalisme menyengsarakan kehidupan rakyat banyak. Dalam ikhtiarnya menemukan gagasan yang tepat bagi manusia Indonesia, Bung Karno muda memelajari gagasan-gagasan besar dunia. Tidak heran bila ia begitu fasih mengutip Ernest Renan, Karl Marx, Adam Smith, hingga Jamaluddin al-Afghani. Hingga kemudian, Bung Karno muda mengonstruksi gagasannya sendiri yang ia anggap cocok untuk manusia Indonesia.

Bung Hatta juga telah menuangkan pikirannya sejak usia muda. Saat berumur 21 tahun, Bung Hatta menulis tentang Indonesia di Tengah-tengah Revousi Asia. Ia katakan bahwa revolusi yang berlangsung di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pergolakan bangsa-bangsa Asia yang sedang berusaha membebaskan diri dari kolonialisme.

Di depan pengadilan Belanda, di Den Haag, tahun 1928 atau dua tahun sebelum pengadilan Bung Karno, Bung Hatta menyampaikan pidato pembelaannya, Indonesia Merdeka. Bung Hatta mengritik keras sistem kolonialisme dan imperialisme dengan mengatakan: “Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.”

Di usia muda, sosok-sosok perintis dan pendiri Republik ini telah memperlihatkan kejelasan tujuan perjuangan mereka, pendirian mereka, dan keteguhan integritas mereka. Sebagai seorang sosialis, Sutan Sjahrir selalu mengumandangkan ide-ide tentang demokrasi yang bermartabat. Meskipun beberapa kali masuk dan keluar penjara kolonial, namun keyakinan Sjahrir kepada demokrasi tidak luntur sebagaimana ia tuangkan dalam buku Pikiran dan Perjuangan maupun Renungan Indonesia.

Di seputar masa kemerdekaan, Sjahrir mengingatkan rekan-rekan seperjuangannya agar tetap teguh pendirian. Melalui manifestonya yang dipublikasi pada 1945, Perdjoeangan Kita, Sjahrir mengritik para pemuda yang tidak memiliki pendirian yang tegas, baik terhadap Belanda maupun Jepang. Ia mengecam partai-partai politik yang bersikap plin-plan—kritik yang niscaya tetap relevan hingga hari ini.

Meskipun banyak bergerak di bawah tanah semasa revolusi, Tan Malaka menerbitkan berbagai pandangannya tentang Indonesia. Ia menulis karya-karya yang strategis dan praktis terkait perjuangan dalam Gerilya Politik dan Ekonomi, Massa Actie, maupun catatan hariannya, Dari Penjara ke Penjara. Namun Tan Malaka juga mewariskan buku Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang menunjukkan keluasan wawasan dan pikirannya.

Dalam bukunya, Massa Actie, Tan Malaka berbicara tengan dua tombak Revolusi Indonesia, yaitu mengusir imperialisme Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Yang satu datang dari luar dan yang satu lagi berasal dari dalam negeri sendiri. Revolusi ini, kata Tan Malaka, bila berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politik, ekonomi, sosial, dan bahkan mental—Tan Malaka sudah berbicara perihal revolusi mental puluhan tahun yang lampau.

Dalam usia 27 tahun, pada 1924, Tan Malaka menerbitkan risalah Menuju Republik Indonesia yang memuat konsep tentang negara Indonesia yang tengah diperjuangkan. Karya ini mendahului pledoi Bung Hatta di Den Haag maupun Bung Karno di Bandung. Karya-karya mereka, bersama buah pikir H.O.S. Tjokroaminoto, Tirto Adhi Soerjo—yang menerbitkan beberapa suratkabar dan mendirikan Sarikat Dagang Islam, Moh. Yamin, dan banyak lagi, telah memberi warna pada fondasi Indonesia merdeka.

Dari sepak terjang dan buah pikir mereka yang tertuang dalam berbagai tulisan, yang niscaya masih relevan hingga sekarang, tampak bahwa mereka sosok-sosok yang memiliki tujuan perjuangan yang jelas dan berjuang dengan integritas yang mereka jaga sekuat mungkin. Di antara sekian perbedaan antara sosok perintis dan pendiri Indonesia merdeka dengan generasi politikus yang saat ini berada di jajaran elite politik, setidaknya ada empat yang dapat disebutkan saat ini.

Pertama, Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, dan lain-lain terjun ke dunia politik untuk memperjuang kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak berhenti di situ, melainkan memikirkan gambaran tentang Indonesia Merdeka yang mereka cita-citakan dan berjuang untuk mewujudkannya. Adakah politikus masa kini yang punya gagasan jelas mengenai Indonesia masa depan dan isu-isu global?

Kedua, gagasan mereka tentang Indonesia Merdeka itu sangat jelas dan dituangkan dalam tulisan, sehingga siapapun dapat membaca dan memahaminya. Mereka ‘men of ideas’ yang sekaligus terjun dalam aksi. Mereka berpikir besar. Mereka punya cita-cita untuk beberapa generasi Indonesia mendatang dan berusaha memberi landasannya. Mereka betul-betul berpikir dan bertindak untuk rakyat banyak.

Ketiga, mereka tidak berusaha mengambil keuntungan ekonomis pada saat berjuang maupun pada saat berkuasa setelah kemerdekaan. Tan Malaka terus-menerus hidup dalam kemiskinan. Bung Hatta dan Bung Sjahrir hidup pas-pasan, bahkan Bung Hatta pensiun dalam keterbatasan ekonomi dan menolak jabatan komisaris perusahaan. Bandingkan dengan elite politik sekarang yang berlomba-lomba menguasai ekonomi, mereka berusaha menyatukan kekuatan politik dan ekonomi di satu tangan.

Keempat, mereka teguh pendirian dan menegakkan integritas. Mereka tidak akan menggoyahkan integritas sendiri untuk dipertukarkan dengan jabatan maupun kue bisnis. Mereka teguh pendirian bila tawaran jabatan maupun kue-kue ekonomi itu melanggar prinsip-prinsipnya.

Sekalipun terjun ke gelanggang politik, para perintis dan pendiri Republik itu bukanlah politikus seperti yang digambarkan oleh James Freeman Clarke: “Seorang politikus memikirkan soal pemilu yang akan datang, seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang.” Mereka lebih menampilkan sosok negarawan ketimbang sosok politikus. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu