x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Layakkah Mati untuk Klub Sepakbola?

Permusuhan antar pendukung klub sepakbola merenggut dua nyawa. Belum cukupkah untuk menghentikan permusuhan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Football is about joy. It’s about dribbling. I favour every idea that makes the game beautiful. Every good idea has to last.”
--Ronaldinho

 

Di sebuah stasiun pompa bensin di Sragen, para pendukung klub sepakbola Arema Cronus diserang. Saya tidak tahu persis seburuk apa serangan itu, tapi kematian dua pendukung Arema dalam dua peristiwa di Sragen itu sudah cukup menggambarkan kengerian yang terjadi saat itu. Sungguh tragis, hanya karena mendukung klub sepakbola yang berlainan, sesama warga Indonesia bisa bersikap ganas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apapun klubnya, dalam hemat saya, sikap fanatik para pendukung kepada klub sepakbola sudah berlebihan. Emosi mereka mudah meletup begitu bertemu pendukung klub lain. Hati mereka terkuasai oleh hasrat untuk menghancurkan pendukung klub lain—yang mereka pandang sebagai lawan. Masing-masing fans menarik garis tegas ‘kita’ dan ‘mereka’.

Loyalitas kepada identitas klub ini sudah sampai pada tingkat memprihatinkan: mereka lupa bahwa kita sama-sama manusia, warga Indonesia, mungkin pula masih sepupu, teman sekolah di waktu kecil. Identitas klub melampaui identitas-identitas yang lain. Ironis bahwa di masa lampau para pemuda berjuang dengan darah dan air mata untuk bisa bersatu, kini para pemudanya malah berkelahi dan saling menyerang hingga menjemput maut karena sepakbola.

Kendati pertandingan sepak bola kerap berlangsung keras, tapi jika aturan ditegakkan dengan baik oleh wasit, tim kedua kesebelasan akan patuh. Para pemain berusaha menjunjung tinggi sportivitas. Di lapangan hijau, kita—yang menonton langsung di stadion maupun melalui layar televisi—melihat kepiawaian pesepakbola dalam menunjukkan kecerdasan kinetisnya: menggocek bola, mengoper secara akurat, menendang dengan kekuatan terukur.

Bahwa ada pemain yang nakal, sejauh tidak berbahaya, ini dapat dianggap sebagai hiburan. Jika pemain terkena sanksi, sepanjang itu fair, pemain akan menerimanya. Sayangnya, penonton—yang kebanyakan pendukung setia klub—kerap tidak mau menerima keputusan yang mereka anggap merugikan klub kesayangan mereka. Anggapan yang terkadang emosional ini dapat memicu kemarahan, dan jika sifatnya sudah masif, bisa berubah jadi kerusuhan.

Letupan semacam itu dapat dimaklumi untuk sesaat. Namun, jika kemudian terbawa hingga menjadi ‘permusuhan abadi’ hingga di luar lapangan, rasanya malah bertentangan dengan semangat sportivitas yang diusung olahraga sepakbola. Menyedihkan memang, para pendukung klub seolah-olah menyimpan dendam kesumat yang tidak mudah dihapus kepada pendukung klub lain. Sungguh mengherankan bahwa para fans ini sanggup melakukan aksi kekerasan satu sama lain seakan-akan fans klub lain sebagai musuh bebuyutan.

Di dalam sepakbola ada seni yang dipertontonkan pemainnya, yang membuat kita terhibur dan merasa senang, terpukau, berdecak kagum. Mestikah semua ini rusak hanya karena kita membela klub kesayangan dengan membabi-buta? Bukankah aksi kekerasan bertentangan dengan semangat sportivitas di lapangan hijau? Bukankah permusuhan bertentangan dengan semangat persaudaraan dalam pertandingan sepakbola? Bukankah kekerasan berlawanan dengan tujuan mulia olahraga untuk membangun karakter positif?

Apakah yang dicari dari agresivitas masal ini? Kepuasan melihat pendukung klub lain ‘kalah dalam perkelahian’, bahkan hingga mati? Demikian murahkah harga nyawa manusia hanya untuk menunjukkan kecintaan kepada klub, sementara para pesepakbola tanpa beban berpindah ke klub lain—bahkan ke klub yang dianggap ‘lawan bebuyutan’? Begitu pula dengan pelatih dan manajer. Bukankah Bonek, Suted, Aremania, Jakmania, Bobotoh, apapun nama fans club ini, sama-sama warga yang ingin sepak bola kita maju? Mestikah ketertinggalan dalam sepak bola masih ditambah dengan aksi kekerasan?

Aksi kekerasan antar pendukung klub sepakbola sudah pada tahap kronis. Sayangnya, perkara ini dibicarakan sambil lalu, seolah-olah hal yang biasa. Haruskah kita menunggu jatuhnya lebih banyak korban agar kita sadar betapa gawat situasinya? Dua nyawa melayang sudah teramat banyak. (foto: tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler