x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

God is Not Great - Agama Meracuni Apa Saja?

Terorisme atas nama apapun, termasuk atas-nama agama, dikutuk oleh peradaban. Sebab melawan akal budi. Maka buku "God is Not Great" pantas dipikirkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Terorisme atas nama apapun, termasuk mengatas-namakan agama, dikutuk oleh peradaban.  Tapi sudah menjadi pengetahuan umum, perbuatan itu didukung dengan sikap dan cara di luar nalar sehat dan akal budi jernih, oleh kaum fanatik radikal di mana saja dan kapan saja.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itu salah satu tanda, agama apapun dan bagaimanapun argumen pendukung itu dinyatakan dan ditafsirkan untuk mendukung teror, amat  bermasalah. Artinya, menjadi pekerjaan rumah bagi peradaban. Karena itu, buku berjudul God is not Great pantas dipikirkan.

 

Buku tersebut terbit sudah sembilan tahun lalu. Namun karya  Hitchens (New York, 2007) itu  kiranya masih relevan sekarang, khususnya bagi bangsa Indonesia yang dikenal memeluk agama-agama. Christopher Eric Hitchens, lahir 13 April 1949 di  Portsmouth, Inggris dan meninggal  15 Desember di  Houston, AS, adalah pengarang dan jurnalis. Almarhum  mengisahkan pengalaman pribadinya menghadapi agama dan merumuskan dengan mendalam penelusuran intelektualnya berdasar nalar dan ilmu pengetahuan.

 

Dari 19 bab dalam buku 309 halaman itu, catatan kecil ini cuma fokus pada 7 bab yang cocok bagi situasi Indonesia. Yakni bab II, IX, XIII, XV, XVI, XVIII, dan bab XIX. 

Bab II adalah undangan bagi manusia yang serius dan konsekuen menggunakan akal budinya  untuk menelusuri bahwa agama itu bikinan manusia. Bab ini mengupas perjalanan rasio menelusuri banyak absurditas dalam agama. Atas dasar itu, Hitchens menyimpulkan: agama membunuh! Apa atau siapa dibunuh? Rasio atau akal sehat! Pendasar insan yang paling utama.

 

Bab IX menceritakan kelahiran Kitab Suci yang terikat sejarah dan sosial budaya zamannya. Berdasar sejumlah buku di antaranya Introducing Mohammed (Ziauddin Sardar dan Zafar Abbas Malik,1994) dan Islam: A Short History (Karen Amstrong 2000), sang penulis menunjukkan, iman itu, jika dihayati tanpa akal budi, bisa cenderung membungkam kemerdekaan bertanya dan segala ikutannya.

 

Bab XIII menelusuri fakta dan kejadian dalam jagat agama dan khususnya para pemukanya. Atas dasar itu, sang penulis menyimpulkan: agama tak selalu membuat orang menjadi lebih baik, bahkan bisa sebaliknya. Bab ini disusun dari banyak buku, di antaranya The Letters of William Lloyd Garrrison (Walter M Merril 1973), Freethinkers: A History of American Secularism (Susan Jacoby 2004), Stories from Rwanda (Philip Gourevitch 1998), dan Zen at War (Brian Victoria 1997).

 

Bab XV menunjukkan imoralitas tidak masuk akal dari agama dalam banyak ajaran aslinya secara apa adanya. Misalnya melukiskan gambaran keliru tentang dunia kepada anak-anak kecil, doktrin cucuran darah sebagai pengorbanan suci, dan banyak doktrin kejam yang lain.

 

Bab XVI melukiskan keyakinan sang penulis agama cenderung menyalahgunakan anak-anak yang polos. Keyakinan itu berdasar dari banyak sumber juga, di antaranya: Memories of a Catholic Girlhood (Mary McCarthy 1946), Capitalism, Socialism, and Democracy (Joseph Schumpeter 1976), dan Marked in Your Flesh: Circumcision from Ancient Judea to Modern America (Leonard B Glick 2005).  Bab XVIII melukiskan perjalanan berabad-abad kaum rasionalis. Konflik keraguan versus keyakinan tanpa dasar, secara hakiki tak berubah sejak berabad-abad silam sampai kini.

 

Dalam pada itu, tidak sulit menemukan agama sebagai sumber kebencian dan konflik di antara mereka yang mendasarkan sikapnya pada ketidaktahuan dan tahyul. Bab ini disusun dari banyak sumber, di antaranya: Doubt: A History (Jennifer Michaelís Hecht, 2003), The Philosophy of Spinoza: Selections from His Works (Joseph Ratner 1927), dan Atheism from the Reformation to the Enlightenment (Michael Hunter and David Wooton 1992).

 

Bab XIX menegaskan keyakinan Hitchens bahwa semua insan di bumi butuh pencerahan baru di luar agama. Masalahnya, di antara banyak penyebab, agama lebih cenderung bermegah-megah diri, lebih fokus menekuni ihwal perkara kiamat, hanya merindu-rindukan lenyapnya segala benda duniawi dan alami.

 

Agar mendapat gambaran utuh God is not Great, berikut ini 12 bab lainnya:

Bab I: Putting It Mildly, III: A Short Digression on the Pig; or, Why Heaven Hates Ham, IV: A Note on Health, to Which Religion Can Be Hazardous, V: The Methaphysical Claims of Religion Are False, VI: Arguments from Design, VII: Revelation: The Nightmare of the ”Old” Testament, VIII: The ”New” Testament Exceeds the Evil of the ”Old” One, X: The Tawridness of the Miraculous and the Decline of Hell, XI: The Lowly Stamp of Their Origin: Religions Corrupt Beginnings, XII: A Coda: How Religions End, XIV: There Is No ”Eastern” Solution, dan bab XVII: An Objection Anticipated: The Last-Ditch ”Case” Against Secularism.

 

Alhasil, kita bebas untuk setuju atau marah atas buku itu tetapi argumen-argumen di dalamnya  layak dan bernilai untuk dipikirkan. Kita mungkin berbeda sikap dalam banyak hal, namun God is Not Great adalah buku tentang kemerdekaan bertanya, terus terang, ditulis dengan semangat penggumulan gagasan demi gagasan itu sendiri. Karena itu, buku tersebut menuntut kehati-hatian dan kedewasaan berpikir bagi setiap pembacanya.

 

Gunung Merbabu, Mei 2016

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB