x

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apa yang Diketahui dan Tidak Diketahui tentang Perth

Diam-diam saya membatin, untuk menumbuhkan sedikit semangat dalam hati, bahwa ini hanya sedikit bagian dari Perth. Bukan simpulan keseluruhan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selamat datang di Perth, demikian batin saya tatkala memasuki kota metropolitan ini, di suatu hari musim gugur yang dilimpahi cahaya matahari. Hati terasa bungah, tentu saja. Saya bahagia akhirnya tiba di sini, di sore ini, setelah empat jam perjalanan dari Jakarta dengan penerbangan langsung tanpa pindah pesawat. Saya gembira menatap pemandangan sepanjang lintasan menuju pusat kota, sampai tersadar akan suatu hal yang membuat saya tak henti bertanya-tanya: ke mana semua orang, mengapa pedestrian dan taman yang menyisir Sungai Swan—yang alirannya membelah Kota Perth—sepi pejalan kaki?

Bayangan citraan saya akan Perth yang riuh boleh dikata seketika runtuh. Kami, tiga belas pelancong dari Tanah Air yang tergabung dalam program TravelMate dari National Geographic Traveler dan Western Tourism Australia ini, turun di satu bagian kota yang terbilang lengang. Sebelumnya, sopir yang menjemput kami, menyampaikan bahwa kami harus bersegera memindahkan barang bawaan menuju lobby Perth Ambassador Hotel, tempat kami menginap. “Kita berada di pusat distrik. Kendaraan tidak boleh berhenti lama di tepi jalan,” ujar Christine seraya mengemudikan mobil jemputan.

Himbauannya kami penuhi dalam tempo singkat saja. Berada di Adelaide Terrace Rd, saya berdiri sambil tercenung. Jadi, seperti inikah Ibukota Australia Barat? Burung-burung gagak beterbangan dan berseru gaduh dari dahan ke dahan. Angin dingin menghembus dedaunan. Satu dua mobil melintas menuju kejauhan. Saya memandangi gedung-gedung perkantoran di seberang sana: menjulang tanpa cahaya, seakan tengah diliputi rasa murung dan muram. Namun, diam-diam saya membatin sekali lagi, untuk menumbuhkan sedikit semangat dalam hati, bahwa ini hanya sedikit bagian dari Perth. Bukan simpulan keseluruhan atas kondisi kota yang sesungguhnya terjadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Katanya Perth memang begini di sore hari,” ujar Muthia, salah seorang dari rombongan kami ketika bersama-sama berjalan memasuki hotel. “Penduduk lokalnya cukup ketat soal jadwal. Pukul 09.00 sampai 17.00 benar-benar untuk kerja. Setelah itu pulang ke rumah, kemudian beristirahat atau sekadar bersantai di taman. Baru pada 19.00 mereka makan malam,” imbuhnya.

Saya yang tidak tahu terlalu banyak tentang laku kebiasaan orang setempat hanya mengangguk mengiyakan. Sekali-kalinya saya berinteraksi dengan warga Australia ialah tatkala mereka berlibur ke kampung halaman saya, Bali, sebuah destinasi yang memang akrab bagi penduduk benua ini. Betapa anehnya, kendati mereka kerap berwisata ke Bali, pun belakangan mulai menjelajah beberapa daerah lain di Indonesia, ternyata saya tidak terlalu memahami ragam budaya mereka. Pun bisa jadi, mereka ternyata jauh lebih mengerti perihal adat kultural kami.

Tidak jarang saya jumpai warga Australia yang piawi bermain gamelan Bali. Bahkan suatu ketika saya pernah bertemu seorang peneliti etnomusikologi dari Monash University yang menari topeng secara indah sekali. Beberapa kampus menjadikan gamelan sebagai matakuliah seni yang perlu dipelajari, yang penampilan mereka pernah saya saksikan pada sebuah pagelaran budaya di Denpasar. Kenyataan itu, pun penjelasan dari teman seperjalanan tadi, mengingatkan saya—berdasar pada pengalaman pribadi ini—pada suatu keadaan budaya yang seolah dekat namun mungkin tak seutuhnya saling memahami satu sama lain.

Lima menit cukup untuk menempatkan barang bawaan ke kamar masing-masing. Tepat pukul enam sore kami kembali bertemu di lobby hotel, dikenalkan dengan Emily, sukarelawan dari Western Tourism Australia, dan Ryan, owner operator komunitas jelajah kota Perth, Two Feet and A Heartbeat. “Kita akan tur sebentar,” kata Ryan mengawali pertemuan, “Dan kalaupun Anda tidak dapat memahami Perth seutuhnya, setidaknya, Anda telah bersentuhan dengan suasana kota ini, berikut sekian pengalaman baru yang berkesan.”

Ryan sama sekali tidak mengingkari janjinya. Kendati hanya berdurasi kurang lebih dua jam, perjalanan itu memberikan kesan lain tentang Perth.

Menempuh sekitar 2,5 kilometer ke jantung kota, saya menemukan betapa kota ini terus menerus berupaya berbenah. Kawasan Elizabeth Quay dengan pemandangan elok sungai Swan dan gedung distrik utama Perth, misalnya, bahkan baru usai ditata pada paruh awal 2016. Iklan apartemen yang baru dibangun tersebar di beberapa titik pandang strategis, masing-masing menawarkan ekslusivitas dan suasana mukim yang bersahabat. Begitu pun lajur-lajur transportasi sekitar stasiun kereta utama, semua dalam proses pengerjaan yang diperkirakan akan selesai dalam tempo yang tidak lama lagi.

Saya pun mendapati suasana malam yang sangat berbeda. Keheningan dan keriaan berbaur dalam napas malam kota. Pertokoan sepanjang jalan yang tutup, gelap dan seolah mati, bersisian dengan riuhnya anak-anak muda yang bersuka di kafe ataupun piazza terbuka. Saat bus umum yang memuat penumpang lelah terkantuk-kantuk berangkat pergi dari halte kawasan Northbridge, kami menjumpai sekelompok anak remaja yang baru saja memintas arah dari restoran terdekat.

Suara tawa mereka yang nyaring tertelan angin musim gugur, malam itu, begitu membekas dalam pikiran saya.

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu